Retak yang Masih Mengikat
Cerpen
Oleh Nia Rahmat
Pendidik Generasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Malam itu, ruang kontrakan mereka terasa pengap. Iyam duduk di lantai, menghitung uang recehan hasil dagangannya. Hanya lima puluh tujuh ribu lima ratus rupiah. Besok, uang sewa kontrakan jatuh tempo.
Jenal, suaminya baru pulang dari mengojek. Helm bututnya ia lempar begitu saja ke sudut ruangan. Wajahnya lelah, tapi lebih dari itu, ada kecewa yang mendidih di matanya.
“Berapa dapat hari ini?” tanya Iyam menatap suaminya datar.
“Empat puluh ribu. Penumpang makin sedikit, bensin makin mahal,” jawab Jenal, sama datar tapi penuh amarah tertahan.
Iyam menunduk. Jumlah itu bahkan tak cukup untuk bayar listrik. Perutnya kosong, tapi ia memilih diam. Berbicara di saat seperti ini sama dengan menyulut petasan sumbu pendek.
Jenal mendengus, ”Kamu diam terus, Iyam, marah sama aku? Suami pulang tak disuguhi air minum”.
“Aku nggak marah, Kang Jenal. Aku cuma… lelah. Kita kerja siang malam, banting tulang, tapi tetap nggak cukup. Hidup kayak begini terus… apa kita salah lahir di negeri ini?” suara Iyam akhirnya pecah. Ia tak hendak menyalahkan suaminya. Mungkin lebih pada mengeluhkan kehidupan pahit di negeri ini. Negeri yang konon Zamrud Khatulistiwa. Kenapa sebagai rakyat mereka tak kebagian secuil permata atau emas?? Jangankan itu. Pembagian dana BLT saja tak semua mendapatkannya.
Jenal berdiri, menghentakkan kakinya. “Benar apa kata seorang ustaz tempo hari itu. Negeri ini bukan salah tempat lahir! Tapi penguasanya yang bikin rakyat sengsara! Sumber daya alam dijual murah ke asing, sementara kita yang punya tanah malah kelaparan. Pajak dinaikkan, harga kebutuhan melonjak, tapi gaji rakyat kecil nggak pernah naik. Katanya negeri kaya, tapi kita cuma kebagian debu!”
Iyam menatap suaminya dengan mata berkaca. “Itulah, Kang Jenal. Akang tau sendiri. Ini semua karena aturan yang dipakai bukan aturan Allah. Kalau Islam yang diterapkan, hasil bumi dikelola untuk rakyat, bukan untuk korporasi. Pendidikan, kesehatan, pangan, semua jadi tanggung jawab negara. Lihat sejarah, di masa khilafah, rakyat hidup dalam jaminan. Bahkan khalifah rela lapar demi rakyatnya kenyang. Bandingkan dengan hari ini, pejabat tidur di hotel bintang lima, sementara rakyat antre beras murah. Antre sembako sampai ada yang meninggal karena kelelahan.”
"Kita mulai ikut kajian yuk, Kang...!" Iyam mencoba merajuk manja.
"Meski aku sibuk, jika sudah ikut kajian rasanya hati adem, Kang. Coba sama akang. Dari rumah cape kerjain ini itu...datang ke kajian Islam kan duduk, luruskan niat karena Allah... Dengarkan penjelasan ustaz dengan akal dan hati... yah sudah deh berasa di cas. Semangat lagi menghadapi hidup." Lanjut Iyam, panjang.
"Iya, sebenarnya aku sudah niat dari dulu. Cuma kadang aku cape... Aku juga malu jadi orang bodoh membuat aku berat datang, tapi setelah datang, lalu dipikir, kapan juga jadi pinter dan ngerti Islam kalau aku ga hadir terus. Beberapa kali aku ikuti tabligh akbar kajian Islam ideologis ini, membuat aku bercita-cita ingin menjadi salah satu pejuangnya. Alhamdulillah aku sudah menghubungi ustaznya.,,Beliau bersedia kutemui setiap Ahad bakda isya..." jawab Jenal panjang.
Iyam seketika menatap lekat suaminya. Tak menyangka akan mendapat jawaban 'seindah itu' di telinganya.
Iyam memeluk suaminya erat. Tak ada bau keringat kerja keras suaminya. Yang ada hanyalah rasa cinta yang membuncah.
Jenal pun demikian. Tak menyangka akan dapat pelukan hangat dan erat dari istrinya. Padahal hari itu ia hanya membawa empat lembar uang ungu. Jawaban tulus dari hatinya mampu meluluhkan istrinya. ”Istri salihah kau, Iyam...,” batinnya berbisik.
Rasanya kalah adegan romantis drama korea "Crash Landing On You" dibandingkan kebahagiaan mereka saat itu.
Ya, bahagia memang seringkali sederhana... sejauh besarnya kita bersyukur atas nikmat apapun yang Allah berikan.
Setelah Iyam melonggarkan pelukannya, Jenal lalu, menyibakkan rambut Iyam penuh kelembutan seraya berucap lirih, “Kadang aku malu, Iyam. Malu karena tak bisa memberimu lebih. Jangankan lebih, bahkan mencukupi istri dan anak masih sangat jauh. Hatiku perih melihat Akbar hanya dibekali uang 3000 perak sementara ia belajar di sekolah pulang sore. Hatiku perih melihat kau bergulat setiap dini hari dengan olahan daganganmu. Kau sebenarnya tak perlu secape itu andai kucukupi...” Ada bulir bening di mata Jenal yang tak mampu ia bendung.
“Akang, yang sebenarnya harus malu itu para pemimpin. Mereka berdiri di atas penderitaan rakyat, tapi tetap memamerkan senyum seolah semua baik-baik saja. Aku rida melakukan itu demi bantu suamiku sendiri. Semoga itu semua menjadi ladang amalku kelak.”
Iyam menggenggam tangan suaminya penuh cinta. “Akang jangan salahkan diri sendiri. Kita korban. Yang salah itu sistem. Kita hanya bisa bertahan, sambil berharap suatu saat ada perubahan. Perubahan yang bukan tambal sulam, tapi perubahan mendasar. Mengganti aturan zalim dengan aturan Allah.”
Jenal menatap istrinya, kini ia yang memeluknya erat. Pelukan penuh cinta yang getir, tapi mengandung tekad. Di luar, hujan turun dengan derasnya. Suara dan kilatan petir seakan marah dengan apa yang dialami rakyat kecil. Gemuruh hujan seakan ratapan bumi yang dieksploitasi.
Di kontrakan sempit itu, mereka berdua sadar, lapar bisa ditahan, letih bisa dipendam. Namun yang paling menyakitkan adalah hidup di bawah penguasa yang tak peduli. Sayangnya, masih banyak rakyat yang tidak peduli masalah ini. Yang penting bisa makan. Iya masih ada yang bisa makan. Tempo hari ada berita, ditemukan 2 orang meninggal sudah berbau busuk. Ternyata setelah diperiksa tim forensik, disinyalir mereka kelaparan. Mereka adalah seorang ibu berusia 67 tahun dan anak laki-lakinya yang difabel berusia 30 tahun. Astaghfirullah... Sungguh sebuah kenyataan getir.
Padahal Nabi Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya imam/khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim).
Kini di hati mereka berdua tumbuh keyakinan, meski getir ini panjang, suatu saat sistem Islam akan kembali, menutup luka rakyat, dan membawa kesejahteraan yang dijanjikan. Karena itu adalah janji Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Perkasa. Dan sebagai seorang hamba, mereka bertekad untuk menjadi salah satu yang menjadi wasilah terwujudnya janji itu. Mereka tak akan menyerah dengan kemiskinan ini.

Komentar
Posting Komentar