Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?



 Dengan menerapkan seluruh aturan Islam secara kafah (menyeluruh), maka tidak ada celah masuk untuk oligarki apalagi merudapaksa ibu pertiwi. 

OPINI 

Oleh Nur Fitriyah Asri

Aktivis Muslimat Peduli Umat


Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI -Negeri yang konon kaya raya dengan kekayaan sumber daya alamnya yang melimpah-ruah. Seperti migas (minyak dan gas), tambang (emas, perak, batubara, nekel, dll), kekayaan alam hutan dan lautnya ibarat jamrud katulistiwa. Kini, 75 persen lahan dikuasai oleh satu persen rakyat Indonesia (oligarki). Sisanya, 99 persen rakyat berebut 25 persen lahan yang tersisa, kata Mahfud MD dalam acara dialog Andalas Lawyers Club di Universitas Andalas, (18/12/2023)


Apa oligarki itu? Oligarki berasal dari  Bahasa Yunani, terdiri dari oligoi (sedikit) dan arkhein (menguasai). Menurut Aritoteles, oligarki artinya pelaksanaan pemerintahan oleh segelintir warga negara terkaya. Mereka mengendalikan kekayaan yang sangat besar, yang dengan mudah digunakan untuk tujuan politik. Jadi,  oligarki adalah aktor yang diberdayakan oleh kekayaan, sehingga dapat membeli jabatan, menentukan hasil politik, keputusan hukum, hingga dapat mempekerjakan massa dan pihak bersenjata. (Winters & Page, 2009)


Gelar Karpet Merah untuk Oligarki


Oligarki nyata-nyata merudapaksa ibu pertiwi. Karut-marutnya persoalan lahan dan penguasaan laut (pagar laut) hanyalah gambaran kecil dari rusaknya negeri. Anehnya, Presiden Prabowo berturut-turut pada tanggal 6 dan 7 Maret 2025 malah memanggil para Taipan dan oligarki ke Istana Kepresidenan. Mereka adalah Sugianto Kusuma (Aguan) bos PIK 1&2, Andi Syamsuddin Arsyad (Haji Isam), Anthony Salim, Boy Thohir, Anindya Bakrie, Chairul Tanjung (CT), James Riady, Hilmi Panigoro, Franky Oesman Wijaya, Prajoho Pangestu, dan Tomy Winata. Selain itu hadir pula Menkeu Sri Mulyani, Ketua Dewan Pengawas Danantara Erick Thohir, dan Kepala Dewan Pengawas Danantara Rosan Perkasa Roeslani.


Dalam sambutannya, Presiden Prabowo mengatakan bahwa, "Kami mengundang semua pihak untuk memberikan pandangan kritis dan pengalaman melakukan investasi. Agar pengelolaan aset-aset Indonesia dapat dilakukan sebaik-baiknya dan sehati-hatinya."


Sementara itu, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya melalui instagram@sekretaris kabinet, mengungkapkan Presiden Prabowo menyinggung soal situasi global dan tanah air. Selain itu juga perihal pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan, infrastruktur, industrialisasi, dan energi hingga Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Presiden memberikan apresiasi kepada para pengusaha (oligarkhi) atas dukungan yang diberikan terhadap kebijakan dan program pemerintah, terutama tentang kepentingan dan kesejahteraan rakyat. (KompasTV.com, 7/3/2025)

 

Muncul pertanyaan, benarkah semua program pemerintah untuk kepentingan rakyat?  


Sudah bisa diprediksi bahwa pertemuan tersebut akan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan bisnis antara penguasa dengan oligarki. Pemerintah berupaya meyakinkan para investor agar tetap mengucurkan dana di berbagai proyek pemerintah. Sebab, untuk merealisasikannya dibutuhkan dana jumbo. Sedangkan APBN 2025 defisit Rp31,2 triliun, ungkap Sri Mulyani. (KompasTV.com, 16/3/2025)


Kesepakatan itu, paling tidak ada tukar guling, atau para oligarki dapat konsesi (izin) dalam proyek-proyek yang dikerjakan atau dapat masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), atau dibantu untuk mengelola lahan pemerintah. Contohnya, Sugianto Kusuma (Aguan) yang diminta Jokowi berinvestasi di IKN, lalu mendapatkan kemudahan dalam sejumlah pembangunan PSN pemerintah, seperti Swissotel Nusantara dan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.


Pada akhirnya terbongkarlah PIK 2, sungguh menzalimi nelayan, tidak hanya kesulitan mencari ikan, juga ada intimidasi terkait pembebasan tanah. Ironisnya, Aguan yang tersandung kasus pagar laut malah diundang Presiden Prabowo ke istana. Bukannya mengusut sampai tuntas hingga ke akarnya. Justru yang terjadi penguasa terkesan melindungi oligarki. Terbukti, pengadilan telah memutuskan bahwa Aguan tidak bersalah. 


Wajar, jika menimbulkan kemarahan rakyat. Apalagi kondisi PIK 1 & 2 berbeda dengan kota Jakarta dan Banten yang bertetangga. Aromanya persis di negara Cina karena dihuni oleh orang-orang Cina. Bahkan, ketika HUT RI pun tidak terlihat bendera merah putih berkibar. Keberadaannya  mengisolasi diri baik sosial dan ekonomi. Lumrah, jika banyak tokoh, pengamat politik, dan publik menyebutnya negara di dalam negara. Harusnya pemerintah peka dan ada kekhawatiran jangan-jangan nanti melepaskan diri dari Indonesia, sebagaimana Singapura melepaskan diri dari Malaysia. 


Padahal, PIK 1 dan 2 sudah nyata melanggar undang-undang dan kedaulatan negara. Namun, penguasa negeri ini tidak berani menindak tegas. Sebab, bisa jadi  keseret dalam pusaran kasus oligarki. 


Pun demikian dengan BPI Danantara, dalam UU Badan Usaha milik negara, (4/2/2025) telah disahkan. Disebutkan Danantara menguasai 99 persen saham perusahaan negara. Sisanya satu persen dipegang oleh Kementerian BUMN. Jadi, semua aset BUMN termasuk deviden (pembagian laba) yang selama ini menjadi sumber pemasukan APBN dikelola oleh Danantara. Dana yang dialihkan ini menjadi investasi pemerintah. Padahal, APBN seharusnya diperuntukkan rakyat.


Selain itu, Danantara akan mendapat penambahan modal dari hasil kebijakan efisiensi APBN sekitar Rp556 triliun. Dengan adanya efisiensi APBN berdampak langsung pada kinerja layanan publik, yakni layanan kesehatan dan pendidikan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tentu layanan publik ini akan semakin sulit diakses. 


Lebih mirisnya, jika investasi ke Danantara gagal, uang rakyat (APBN) akan hilang dan tidak mungkin kembali. Kalau pun berhasil, akankah hasilnya untuk kesejahteraan rakyat? Apalagi orang-orang yang mengelola Danantara bermasalah dan merupakan kumpulan oligarki yang tamak dan rakus. Sejatinya merekalah penyebab kesengsaraan, kasus Rempang, PIK 2, IKN, dan lainnya. Oleh sebab itu, muncul aksi demo "Indonesia Gelap".


Demokrasi Pintu Masuk Oligarki


Pemilu dalam sistem demokrasi membutuhkan dana besar. Karena itu para kontestan bermain mata, menjadikan para pemilik modal (oligarki) sebagai sumber dana biaya politiknya guna memenangkan pemilu, lalu mereka bersekutu. Dengan falsafah kedaulatan di tangan rakyat, akhirnya para oligarki berhasil menguasai di bidang politik (pemerintahan) dan  ekonomi negara. Akibatnya, fungsi dan peran negara seharusnya melayani dan melindungi rakyat terabaikan, lebih mengutamakan kepentingan oligarki. Inilah yang mendasari pemerintah dan DPR dengan mudahnya membuat UU dan meloloskan UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, dan lainnya meskipun ditentang oleh publik.


Sistem Islam Menghentikan Oligarki


Sistem Islam (Khilafah) memiliki seperangkat aturan untuk memberantas oligarki, di antaranya:


Pertama, menjadikan akidah Islam sebagai asas negara. Dengan demikian akan mendorong semua individu memiliki akidah yang kuat dan menjadi insan bertakwa.


Kedua, kedaulatan dalam Khilafah di tangan syarak (QS. Al-An'am: 57). Artinya UUD, UU, dan peraturan turunannya digali dari Al-Qur'an, as-Sunnah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas. Secara otomatis sistem ini akan menutup peran manusia untuk memengaruhi kebijakan yang bias pada kepentingan mereka. Pada hakikatnya, fungsi khalifah dan para pejabat menjalankan syariat Islam. 


Ketiga, model  pemilihan khalifah berdasarkan masukan Majelis Umat, otomatis terseleksi. Adapun pejabat daerah, seperti wali (gubernur) langsung ditunjuk khalifah. Dengan demikian tidak membutuhkan biaya besar, seperti pada sistem demokrasi sehingga menjadi pintu masuknya oligarki dan korupsi.


Keempat, partai politik dan Majelis Umat berfungsi sebagai pengontrol untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar kebijakannya tidak melanggar syarak.


Kelima, sistem ekonomi Islam mengatur kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Negara wajib mengelola kepemilikan umum (tambang, minyak, gas, emas, perak, batubara, dll; hutan, dan laut) hasilnya untuk kemaslahatan umat. Haram hukumnya dikelola oleh individu apalagi diserahkan kepada swasta (oligarki).


Rasulullah saw. bersabda, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)


Islam juga mengharamkan  transaksi apa pun berbasis riba seperti, investasi, Bank konvensional, dan lainnya.


Keenam, sistem sanksi hukum Islam bersifat tegas dan adil. Sehingga menimbulkan efek jera (zawajir) untuk mencegah tindak pidana dan jawabir (penghapus dosa) artinya, di akhirat tidak dihisab. Inilah keagungan sanksi hukum Islam yang tidak dimiliki oleh sistem pemerintahan mana pun termasuk demokrasi.


Dengan menerapkan seluruh aturan Islam secara kafah (menyeluruh), maka tidak ada celah masuk untuk oligarki apalagi merudapaksa ibu pertiwi. Oleh sebab itu, saatnya kita  kembali ke sistem Islam yang menyejahterakan.

Wallahualam bissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan