Mengikhlaskan



Ibu merespons dengan pelukan hangatnya, sembari berkata, "Tenang, ya, Kak, istigfar ... maafkanlah orang yang telah melukai kita. Apalagi ini Papa kamu sendiri, Azara. Maafkanlah Papa ... Allah saja Maha Pemaaf, masa kita sebagai hamba gak bisa memaafkan hamba yang lain. Biarlah yang lalu telah berlalu, dan semoga menjadi pelajaran di kemudian hari. Yuk, kita sama sama belajar untuk ikhlas atas masa lalu yang telah ditetapkan oleh Allah. Yakinlah sama Allah, Kak." Ibu berupaya menenangkanku.

CERPEN


Oleh Rasyalia

(Aktivis Dakwah Remaja)


MKM,Cerpen_Pada suatu malam sunyi nan sepi kami berjalan menyusuri persawahan, entah ke mana aku, adik, dan ibuku akan pergi. Usiaku saat itu 6 tahun dan baru akan memasuki Sekolah Dasar. 

Belum aku ketahui, kami akan pergi ke mana, sampai di persimpangan aku memberanikan diri bertanya pada Ibu, "Ibu ... kita mau ke mana? Aku takut, Bu, jalanan ini gelap."

Mataku memanas hampir menangis, karena saking takutnya. Ibu menjawab sambil memeluk aku dan adikku, "Kita pulang ke rumah Nenek, ya, sayang ... untuk sementara kita tinggal di sana, ya." 

"Tapi Bu, kenapa harus malam-malam begini, kan gelap ... aku takut," rengekku pada Ibu. 

"Karena Papa kamu sudah mengusir kita, Nak," jawab Ibu singkat.

Deg! Langsung aku kaget dan tak menyangka, kenapa Papa bisa mengusir aku, Adik dan Ibu?

Setelahnya aku kembali terbayang akan masa lalu. Ketika Ibu dan Papa bertengkar di hadapanku, aku menangis di kamar, dan ketakutan. Aku tidak tahu Ibu dan Papa bertengkar karena apa, tetapi yang jelas aku ketakutan dan mengurung diri di kamar.

Drrrt ... drrttt ... drrttt ... kring kring ... kring ... kring!

Alarm berbunyi, aku pun langsung terbangun dari tempat tidur. Keringat dingin membasahi wajahku. Saat kulihat jam di ponsel  ternyata masih pukul 01.30 dini hari. Nafasku masih tak beraturan, mengingat mimpi buruk yang baru saja kualami.

Mimpi buruk tadi pagi cukup membuatku mengingat bayang-bayang yang sering kali menghantuiku.

Namaku Azara Nabila. Aku anak sulung dengan satu saudara perempuan, yakni adikku yang kini berusia 14 tahun. Sedangkan usiaku 17 tahun. Selisih usia kami memang cukup dekat.

Aku seorang anak broken home, korban perpisahan orang tua. Sering kali aku teringat bayang-bayang masa lalu. Memori buruk selalu terngiang di kepalaku saat aku masih SMP, yakni tentang perselisihan antara Ibu dan Papa. 

Mereka bertengkar entah karena apa. Setelah aku menginjak usia 16 tahun, aku telah mengetahui alasan mengapa Papa menceraikan Ibu. Pertama, karena Papa punya kekasih baru. Kedua karena kondisi ekonomi keluarga kami sedang kekurangan. 

Mungkin Papa mencari orang yang lebih kaya dan cantik dari Ibu. Demi uang, Papa tega meninggalkan kami. 

"Aku benci Papa!" desisku dengan gigi gemeretuk. Ya, semenjak pertengkaran itu terjadi, aku mulai membenci Papa. Papa tega sekali, ia meninggalkan aku, adik, dan Ibu hanya demi harta kekayaan, yang ia dapatkan dari kekasih barunya itu. Dan kini telah menjadi istri sahnya.

Dari tahun ke tahun, musim silih berganti. Saat hatiku sedang ambyar mengingat masa lalu yang begitu kelam.

Ibu ingin berbicara empat mata denganku. Entah bagaimana Ibu bisa merasakan bahwa aku sedang sedih. Ibu mulai bertanya kepadaku.

"Kak ... Kakak kenapa? Kok sepanjang hari ini Kakak terlihat murung, tidak seperti biasanya?" 

Aku menjawab dengan lirih, hampir berlinang airmata. "Ibu, mmm ... tadi malam pukul setengah dua, Kakak bermimpi buruk tentang Papa." 

Ternyata Ibu sudah menduganya. Sempat aku berpikir untuk tidak memberitahu, karena takut Ibu menjadi sedih. Namun, dugaanku salah. Ternyata Ibu lebih kuat dariku. 

Ibu merespons dengan pelukan hangatnya, sembari berkata, "Tenang, ya, Kak, istigfar ... maafkanlah orang yang telah melukai kita. Apalagi ini Papa kamu sendiri, Azara. Maafkanlah Papa ... Allah saja Maha Pemaaf, masa kita sebagai hamba gak bisa memaafkan hamba yang lain. Biarlah yang lalu telah berlalu, dan semoga menjadi pelajaran di kemudian hari. Yuk, kita sama sama belajar untuk ikhlas atas masa lalu yang telah ditetapkan oleh Allah. Yakinlah sama Allah, Kak." Ibu berupaya menenangkanku.

"Kamu pasti bisa untuk bangkit dan melupakan hal buruk yang menimpa kita di masa lalu. Yakinlah pada Allah bahwa hari kemudian pasti lebih baik," nasihat Ibu ketika kami baru selesai menunaikan salat Isya.

Setelahnya aku merenung dan mulai sadar bahwa meskipun orang lain memperlakukan kita buruk, hendaklah kita jangan membalasnya dengan keburukan pula.

Meskipun Papa meninggalkan kami, beliau tetaplah papaku, bagaimanapun sikap kasarnya kepada kami dulu. 

Papa sekarang entah ada di mana, hilang kabar setelah meninggalkan kami dan menikah lagi dengan orang baru.

Aku heran sama Ibu, mengapa Ibu sebegitu ikhlas. Bagaimana cara beliau ikhlas dan merelakan apa yang telah menimpa kami. Juga bisa memaafkan Papa yang dulu telah menyakiti Ibu. Sedangkan aku masih belum bisa ikhlas. Aku masih sakit hati atas perlakuannya dulu terhadap kami. Mungkin karena pemahamanku yang belum lurus.

Hatiku mulai lega rasanya. Sudah tak ada rasa yang mengganjal, kebencian pada Papa semakin lama mulai meghilang. Meskipun sebelumnya untuk ikhlas terasa berat bagiku, akhirnya aku bisa menaklukan ego. Pun perlahan aku mulai sembuh, tidak takut lagi akan kegelapan, juga tidak terbayang lagi mimpi buruk yang sering menghantui.

Kini kami hidup bahagia bersama Adik, Ibu, dan Nenek meskipun hidup kami sederhana. Semenjak Mama diusir Papa, kami bertiga tinggal di rumah Nenek.

Kami tetap mensyukuri apa yang telah dikehendaki-Nya, pasti itu yang terbaik, dan alhamdulillah aku masih bisa melihat senyum Ibu dan adikku. Bagiku, yang utama adalah kebahagian keluarga.


Sumedang, 24 juni 2023

Komentar

  1. Masya Allah tabarakallah,, bisa tayang di MKM... Semoga Resti dan teman-teman member AMK bisa istiqomah belajar menulis... Aamiin Ya Rabb🤲

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan