Masa Jabatan Bukan Sebab Korupsi Dana Desa

♥️ Admin MKM


Merupakan kedangkalan berpikir jika menjadikan tambahan dana desa maupun masa jabatan sebagai akar persoalan korupsi yang marak di negeri ini. Mirisnya, pemerintah tidak melakukan tindakan yang tegas untuk memberantas korupsi. Namun demikian, tidak menyentuh masalah. Selain itu, kebijakan yang dibuat justru memfasilitasi para pejabat untuk melakukan korupsi dan menumpuk kekayaan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya


OPINI


Oleh Luluk Afiva, S.T.

Praktisi Pendidikan


MKM,Opini_Semakin lama seseorang melamar sebagai kepala desa, pasti semakin lama masa untuk melakukan korupsi. Akan tetapi yang menjadi persoalan bukan persoalan sebentar atau lamanya mereka melakukan korupsi, melainkan mengapa mereka melakukan korupsi. Korupsi itu, bukan hanya dana desa, bahkan hampir di setiap instansi atau lembaga pemerintah, terjadi di mana-mana. Lalu bagaimana solusi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang sudah menjamur di negeri ini?

Sebagaimana dilansir dari katadata.co.id (8/4/2023). Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi di sektor desa paling banyak ditangani oleh aparat penegak hukum pada tahun 2022. ICW juga mencatat sejak terbitnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, ada kenaikan korupsi di desa yang konsisten. Dari 155 kasus korupsi desa, 133 kasus berkaitan dengan dana desa. Sementara 22 kasus terkait dengan penerimaan desa. 

Fakta di atas juga dipertegas oleh pakar politik UNAIR terkait akan adanya revisi UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa yang akan berpengaruh pada masa jabatan kepala desa.

Pada awalnya, masa jabatan satu periode 6 tahun akan berubah menjadi 9 tahun. Kondisi ini akan mengakibatkan terbentuknya dinasti politik, sehingga petahana memiliki kesempatan lebih lama untuk membangun reputasi dan mengumpulkan sumber daya pada putaran pemilihan selanjutnya. (Republika.co.id, 30/6/2023)

Merupakan kedangkalan berpikir jika menjadikan tambahan dana desa maupun masa jabatan sebagai akar persoalan korupsi yang marak di negeri ini. Mirisnya, pemerintah tidak melakukan tindakan yang tegas untuk memberantas korupsi. Namun demikian, tidak menyentuh masalah. Selain itu, kebijakan yang dibuat justru memfasilitasi para pejabat untuk melakukan korupsi dan menumpuk kekayaan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Di sisi lain, kita dapat menyaksikan secara gamblang membuat banyak kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan menghalangi pemanfaatan kekayaan negeri untuk kemaslahatan rakyat, respon semakin menjamur, kemiskinan semakin melambung, banyak yang mengalami kelaparan dan gizi buruk akibat harga-harga yang melambung tinggi.

Di saat pejabat menikmati harta korupsinya, rakyat menuntut meminta perutnya diisi. Inilah gambaran kehidupan dari penerapan demokrasi di bawah cengkeraman sistem kapitalis sekuler yang menghasilkan pemimpin-pemimpin tidak amanah.

Demokrasi mensyaratkan modal/kapital menuju kekuasaan dan inilah yang menjadi penyebab terjadinya korupsi di negeri ini. Siapapun pemimpinnya, pasti hanya disibukkan mengumpulkan pundi-pundi rupiah, bagaimana mengembalikan modal yang mereka gunakan untuk mendapatkan jabatan, karena demokrasi meniscayakan modal yang besar untuk menduduki jabatan. Maka wajar, aturan yang dibuat akan dikreasikan demi kepentingan pribadi, dan para kapitalis yang mendukung mereka demi kekuasaan langgengnya. Demokrasilah yang menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini.  


Bagaimana Memberantas Korupsi di Kalangan Penguasa?

Dalam sistem demokrasi kapitalistik, menduduki jabatan tertentu memang menggiurkan. Akibatnya, banyak orang yang dikenakan akibat harta, karena di alam kapitalis, orientasi hidup adalah bahan dan menghalalkan segala cara. Masalahnya, dari mana sumber kekayaan yang diperoleh para pejabat negeri ini, sehingga harus diselesaikan?

Dalam Islam, ada beberapa langkah agar pejabat tidak gila harta dan tahta. Pertama, mengaudit harta kekayaan para pejabat secara berkala. Hal ini dilakukan sebagai pengontrolan dan pengawasan negara agar mereka tidak menyalahgunakan kekuatan untuk meraup pundi-pundi uang ke kantong pribadinya.

Kedua, membina keimanan dan ketakwaan para pejabatnya. Mereka harus menyadari bahwa harta dan amanah yang diberikan pasti dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Swt..

Mereka hidup sederhana meski kaya. Kekayaan justru disedekahkan, bukan disimpan. Mereka tak segan menggunakan harta kekayaannya untuk membantu rakyat.

Ketiga, pengawasan dan kontrol masyarakat akan berjalan dengan efektif. Pada sistem kekhalifahan, ada Majelis Umat yang bertugas melakukan koreksi dan memberi masukan kepada Khalifah dan struktur di bawahnya. 

Majelis umat beranggotakan orang-orang yang dipercaya umat untuk menyampaikan keluhan, pendapat, kritik dan saran kepada penguasa. Mereka dipilih berdasarkan integritas dan kepercayaan, bukan pencitraan sebagaimana dilakukan wakil rakyat dalam sistem Demokrasi. Semua itu tidak akan berjalan tanpa penerapan sistem politik Islam yang mengurus urusan rakyat. 

Sistem politik ini juga tidak akan bisa dijalankan tanpa sistem pemerintahan Islam. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafah, pejabat tidak gila harta, tidak pula memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Jabatan kelak akan menjadi surga atau neraka baginya.

Sebutkan wahai penguasa dan pejabat! Harta itu hanya titipan dan ujian bukan kebanggaan. Harta kelak akan dimintai pertanggungjawaban di pengadilan akhirat. Maka belanjakanlah harta di jalan Allah jika ingin selamat dunia dan akhirat.

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan