Puluhan Infrastruktur di Akhir Kepemimpinan Kapitalisme Terancam Mangkrak, Wajarkah?
![]() |
๐ Admin MKM |
Perencanaan pembangunan dalam Islam dilakukan menurut kebutuhan masyarakat, bukan sekadar reputasi maupun modernisasi sebuah negara kepada rakyatnya yang ternyata berbuah kezaliman. Sebagaimana berideologi negara kapitalisme
Oleh Siti Mukaromah
Pegiat Literasi
MKM, Opini_Puluhan perencanaan proyek pembangunan awalnya tampak dramatis hingga terdengar bombastis tetapi tidak realistis. Bahkan terancam mangkrak. Jika infrastruktur tersebut adalah proyek strategis nasional adakah bermanfaat untuk masyarakat?
Dikutip dari (kompas.com,14/7/2023), kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) segera berakhir, bagaimana nasib puluhan proyek strategis nasional yang belum dimulai. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan, terdapat 58 proyek strategis nasional (PSN) yang belum dimulai hingga saat ini. Padahal, masa kepemimpinan Presiden Jokowi tahun depan akan berakhir. Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) Wahyu Utomo mengatakan, pihaknya akan membahas nasib proyek strategis yang belum dibangun pada pekan depan.
Meskipun demikian, pemerintah masih berupaya untuk memulai seluruh proyek pembangunan yang tergabung dalam PSN. Oleh karenanya, progres pembangunan PSN akan dipercepat, khususnya terkait perizinan tanah, pengadaan dan pelaksanaan pembiayaan. Wahyu meyakini, pembangunan PSN akan berlanjut apabila ketiga aspek tersebut dijalankan. Pembangunan PSN akan berlanjut pada pemerintahan selanjutnya, dan diharapkan tidak ada proyek yang mangkrak.
Mencermati hal tersebut, mahalnya biaya pembangunan proyek PSN yang dibutuhkan tidak pelak, kerap memunculkan polemik. Sebab, sudah menjadi rahasia umum dana yang digunakan seringkali berasal dari utang pemerintah atau BUMN. Demi menutupi utang tersebut, mau tidak mau proyek yang sudah selesai dibangun berkonsekuensi untuk dijual atau diinvestasikan ke swasta. Rakyat tidak dapat apa-apa dari proyek nasional ini dan hanya sekadar tumbal demi bisa memalak.
Mengutip dari (Tirto, 11/1/2019), polemik penjualan terkait jalan ruas jalan tol dari BUMN Kepala BPTJ, Herry Trisaputra Zuna. Menurutnya, bisnis tol merupakan usaha jangka panjang, maka wajar saja keuntungannya baru bisa kembali balik modal sekitar lima tahun mendatang. Bagi BUMN sistem "bangun jual" bukan sesuatu yang baru untuk mencari sumber pendanaan dan meminimalkan penggunaan APBN. PT Jasa Marga TBK misalnya, menjual saham PT Citra Marga Nusaphala Persada TBK 1,6 juta unit saham yang didirikan oleh Presiden Soeharto pada April 1987, karena hendak mengakuisisi beberapa tol lain.
Konsep dengan sistem "bangun-jual" ini juga biasa diterapkan di Cina. Kesuksesan "Negeri Tirai Bambu" (Cina) sukses membangun 131.000 km jalan tol. Pencapaian dan kesuksesan Cina tersebut coba diadopsi pada proyek Tol Trans Sumatera pada masa Dahlan Iskan melalui konsorsium Hutama Karya. Melepas aset perseroan (divestasi) mengurangi rasio pinjaman terhadap modal yang dimiliki. Dengan demikian, kedepannya perusahaan dapat tetap sehat dalam menjalankan proyek-proyek lain yang dijalankan.
Masyarakat dalam perihal ini, harus kritis. Perlu melihat dari reputasi bombastis akan sebuah perencanaan pembangunan. Masyarakat juga harus melihat konsep ekses kerja BUMN yang seperti jelas-jelas menggunakan skema bisnis. Selain itu, adanya fasilitas komersial umum yang semestinya hak publik. Potensi korupsi di sektor pembangunan infrastruktur begitu lezat dan menggiurkan. Wajar, bagi pejabat melakukan bancakan terhadap uang rakyat dengan mengatasnamakan "pembangunan infrastruktur".
Dalam kacamata kapitalisme, menjadi hal yang biasa bila capaian pembangunan untuk rakyat, profit tertinggi dengan modal yang serendah-rendahnya. Suatu negara penganut kapitalisme, pelaksanaan pembangunan menggunakan format perputaran berdasarkan roda bisnis. Akibatnya, amanah untuk kepentingan berjalannya pembangunan infrastruktur sebagai kebutuhan publik kosong dari spirit amanah. Justru publik menganggap wajar ketika harus membayar tol, tiket masuk terminal, dan transportasi umum. Sejatinya semua tarif itu dalam rangka bisnis.
Belum lagi kenaikan harga BBM dan tarif listrik, fluktuasi perdagangan minyak yang diargumentasikan untuk menghalalkan segala cara. Padahal, bagi kepentingan publik keduanya sangat vital. Makin nyata, relasi penguasa sebagai penjual dan pembeli dengan rakyatnya. Jelas relasi dalam sistem kapitalisme ini zalim.
Berdasarkan hal ini, jelas umat berkepentingan meninggalkan sistem kapitalisme dengan beragam kepentingan dan kezalimannya. Untuk mengelola urusan publik, umat membutuhkan sebuah kacamata ideologi lain untuk pengelolaannya. Tidak terkecuali berbagai perencanaan perihal pembangunan fasilitas umum. Kacamata lain ini yakni ideologi melalui penerapan Islam secara kafah atau menyeluruh.
Perencanaan pembangunan dalam Islam dilakukan menurut kebutuhan masyarakat, bukan sekadar reputasi maupun modernisasi sebuah negara kepada rakyatnya yang ternyata berbuah kezaliman. Sebagaimana berideologi negara kapitalisme.
Sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan mengatur skala prioritas pembangunan tersebut. Pembangunannya bisa ditunda, jika suatu infrastruktur tidak urgen bagi masyarakat dan mendahulukan infrastruktur yang benar-benar segera dibutuhkan oleh rakyatnya. Negara dalam Islam akan membangun infrastruktur untuk memudahkan transportasi masyarakat didaerah pedesaan/terpencil. Membangun jalan ataupun jembatan berkualitas prima. Negara juga menyediakan transportasi umum yang memadai sehingga memudahkan mobilitas masyarakat serta meminimalkan bahaya masyarakat yang menggunakan fasilitas umum tersebut.
Penguasaan dalam Islam sangat menjiwai Rasulullah Saw. beliau bersabda, "Imam atau khalifah adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap urusan umatnya". (HR. Muslim dan Ahmad). Rasulullah juga bersabda, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Berdasarkan kedua hadis ini menjelaskan bahwasanya segala infrastruktur berikut yang menyertainya adalah bagian wujud pelayanan penguasa kepada rakyatnya. Sehingga, keberadaan kepemilikan berstatus umum, haram penguasa untuk memungut tarif di dalamnya.
Penguasa tidak boleh membiarkan swasta atau individu membangun infrastruktur sehingga mereka merasa berkepentingan menarik tarif. Penguasa harus mengambil alih material pembangunannya dari swasta/individu dengan membelinya atau menggantikan untuk kemudian memosisikan infrastruktur tersebut bagi kepentingan publik secara gratis.
Negara dalam sistem Islam yakni Khilafah, mengurusi urusan umat dengan menutup celah berbagai bisnis terhadap pelayanan publik. Perencanaan pembangunan beserta mekanismenya. Para penguasa dan pejabat dalam Khilafah sangat memahami amanah dibalik jabatannya, bukanlah aji mumpung yang kelak di akhirat mengandung pertanggungjawaban besar.
Rasulullah saw. bersabda, "Ya Allah, barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas ia mengasihi mereka, maka kasihanilah dia, akan tetapi apabila mereka menyulitkan umatku, maka persulitlah dia." (HR. Muslim)
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar