Tradisi Nyeleneh, Potret Buram Sistem Sekuler
![]() |
🖤 Admin MKM |
Hal ini mengindikasikan potret kemiskinan yang parah di tengah masyarakat. Peternak tidak mau rugi serta rakyat tidak mau membuang kesempatan mendapat daging gratis atau berbiaya murah. Selain itu, tradisi brandu mengindikasikan rendahnya literasi rakyat sehingga abai ketika mengonsumsi hewan sakit atau mati mendadak.
OPINI
Oleh Khaulah
Aktivis Dakwah
MKM, OPINI_Budaya merupakan satu dari sekian banyak kekayaan yang dimiliki negeri ini. Nyatanya, tak semua budaya itu memberikan dampak positif untuk rakyat karena ada juga budaya yang membahayakan, salah satunya budaya brandu.
Brandu merupakan sebuah tradisi di mana sapi dan kambing yang sakit atau mati mendadak dipotong paksa. Setelah itu, dagingnya dijual ke tetangga dengan harga di bawah standar. Tujuannya sih agar peternak tidak rugi besar. Pada faktanya, warga justru terkena dampak membahayakan. (www.cnnindonesia.com, 08/07/2023)
Peternak Untung, Rakyat Buntung
Penularan antraks terhadap puluhan warga Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta jadi buah bibir. Kementerian Pertanian menyebut tradisi brandu atau purak jadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko penularan antraks di sana, disebabkan bakteri Bacillus anthracis yang menyerang hewan herbivora.
Bila berkontak dengan udara, bakteri ini akan membentuk spora yang dapat bertahan selama puluhan tahun di dalam tanah. Spora antraks dapat masuk ke dalam kulit melalui sayatan atau luka, dapat masuk ke saluran pencernaan melalui daging dari hewan yang tertular, ke paru-paru bila terhisap (kasus paling mematikan), dan lewat injeksi.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementan Syamsul Ma'arif menyebut, ternak yang terkena antraks hanya bisa dibakar atau dikubur, tidak bisa dibedah. Tetapi karena adanya budaya brandu yang berusaha menghibur peternak, hewan ini kemudian dipotong dan dijual dengan harga murah.
Potret Rakyat yang Sakit
Masalah untung rugi hari ini erat kaitannya dengan ekonomi. Peternak yang telah bersusah payah mengeluarkan tenaga dan biaya merawat hewan ternak tetapi hewannya justru mati maka akan rugi. Untuk setidaknya meraih untung, hewan tadi dipotong lalu dijual. Penjualan dengan harga murah (atau gratis) tentu akan menarik minat rakyat, walau mereka berdalih "menghibur" peternak.
Hal ini mengindikasikan potret kemiskinan yang parah di tengah masyarakat. Peternak tidak mau rugi serta rakyat tidak mau membuang kesempatan mendapat daging gratis atau berbiaya murah. Selain itu, tradisi brandu mengindikasikan rendahnya literasi rakyat sehingga abai ketika mengonsumsi hewan sakit atau mati mendadak.
Penguasa, di Mana?
Dalam laman www.bbc.com (07/07/2023), disebutkan bahwa sudah lima kali terjadi wabah di wilayah Kabupaten Gunung Kidul yaitu pada Mei 2019, Desember 2019, Januari 2020, Januari 2022, dan yang terbaru Mei-Juni 2023. Untuk kasus terbaru dikatakan kematian hewan ternak sudah terjadi pada November 2022, lalu pada April dan Mei 2023, namun baru dilaporkan pada dinas terkait pada awal Juni.
Mencermati fakta ini tentu membuat kening mengerut. Mengapa kejadian yang sudah merenggut nyawa berulang bahkan mewabah berulang, tidak ada penyelesaiannya hingga hari ini? Pun mengapa kejadian yang terjadi berbulan-bulan lalu namun baru dilaporkan? Di mana sebetulnya penguasa yang harusnya mengurus rakyat?
Potret ini menggambarkan lalainya penguasa dalam mengurus dan menjaga rakyat. Jika penguasa bertindak tegas, tentu tradisi yang membahayakan ini akan berhenti di awal mula kemunculannya. Mulai dari memenuhi kebutuhan pokok rakyat, membantu peternak untuk urusan peternakannya, hingga berkala memeriksa ternak dan meneliti obatnya.
Namun pada faktanya, penguasa di sistem sekuler hari ini juga amat memedulikan untung. Tidak akan bisa memenuhi kebutuhan pokok rakyat, membantu peternak dalam urusan peternakannya, atau memeriksa hewan dan meneliti obatnya tanpa embel-embel "balasan". Apalagi untuk tradisi brandu yang selain membahayakan kesehatan juga melanggar aturan agama yang melarang bangkai. Penguasa pasti abai.
Hanya dalam Islam
Sebagai muslim mestinya kita taat dan patuh akan larangan Allah karena Allah Maha Tahu atas segala sesuatu di luar pengetahuan kita. Dalam kitab suci Al-Qur'an, dengan jelas Allah mengharamkan memakan bangkai.
"Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Tetapi barang siapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 173)
Selain itu, penguasa dalam sistem Islam akan menjamin rakyatnya agar hidup sejahtera, tidak berada dalam kubangan kemiskinan dan kebodohan. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan akan diperoleh rakyat secara langsung maupun tidak. Begitu pula kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Sehingga tidak akan ada ceritanya rakyat memakan hewan yang sakit atau mati mendadak; dengan alasan murah, gratis, atau tidak memiliki wawasan tentang itu. Karena sejatinya kebutuhannya telah terpenuhi dan ia sadar bahwa itu membahayakan kesehatannya. Yang terpenting, ia paham bahwa itu bertentangan dengan aturan yang telah digariskan Allah Swt.
Wallahualam bishshawab.
Komentar
Posting Komentar