Ketika Pondok Pesantren Dijadikan Tempat Kampanye Politik Praktis

 

                           ðŸ–¤Admin MKM


Dengan menggunakan pakaian yang islami, mereka tampil layaknya seorang muslim yang saleh. Mereka melakukan kampanye seperti seorang ustaz yang sedang mengisi ceramah. Sering kali diliput oleh media, para santri dan santriwati diajak berinteraksi pada saat kampanye. 


OPINI


Oleh Nur Hasanah, S.Kom (Aktivis Dakwah Islam)


MKM_OPINI,Sudah menjadi kebiasaan di jelang tahun politik, keluar suara-suara sumbang yang mengatakan “jangan bawa-bawa agama dalam politik”. Agama yang dimaksud sudah pasti Islam, karena biasanya mereka menyeru di pondok pesantren. Mayoritas penduduk di Indonesia juga memeluk agama Islam, sehingga suara umat Islam sangat berpengaruh kepada kemenangan calon yang diusung partainya. Politik Islam dianggap menjadi penghalang untuk mendapatkan kekuasaan, sehingga mereka merasa wajib untuk membentengi sebelum tahun politik tiba.

Bila umat Islam tidak memisahkan agama dengan politik, bisa dipastikan mereka tidak akan menang dalam pemilihan umum. Bahkan umat Islam tidak akan mau mengikuti ajang pemilihan umum. Umat Islam akan lebih memilih golput daripada memilih seseorang yang tidak dikenalnya. Memilih orang yang tidak dikenal akan sangat berisiko, karena besarnya pertanggungjawaban di hadapan Allah. Bila umat Islam memilih orang yang salah untuk menjadi pemimpin maka yang memilih pun akan ikut terkena dosanya.


Agama sebagai Alat Politik, Pondok Pesantren Jadi Tempat Kampanye

Dikutip dari republika.co.id (4/9/23), Menteri Agama, Yaqut Cholil meminta kepada masyarakat untuk tidak memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Anehnya, Yaqut mengatakan hal itu saat dia menghadiri Tablig Akbar di pondok pesantren Az-Zawiyah, Tanjung Anom, Garut. Seperti menjilat ludahnya sendiri. Padahal beliau yang melarang masyarakat untuk tidak memilih pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat meraih kekuasaan. 

Sementara beliau sendiri sedang melakukan aksi, menjadikan agama sebagai alat politiknya. Kini, pondok pesantren sering dijadikan tempat untuk kampanye oleh para kader partai. Tidak peduli kader partai itu beragama Islam atau bukan. Mereka bisa bebas masuk ke pondok pesantren dan melakukan kampanye di hadapan para santri dan santriwati. 

Dengan menggunakan pakaian yang islami, mereka tampil layaknya seorang muslim yang saleh.  Mereka melakukan kampanye seperti seorang ustaz yang sedang mengisi ceramah. Sering kali diliput oleh media, para santri dan santriwati diajak berinteraksi pada saat kampanye. Mereka terlihat berkonsentrasi, mendengarkan isi kampanye dan antusias menjawab pertanyaan yang diberikan para kader partai. Tentu para santri dan santriwati menganggap kampanye itu bagian dari sesi belajarnya.

Pandangan sekuler, menjadikan agama hanya sebagai alat untuk kekuasaan. Seharusnya para pemimpin pondok pesantren bisa memegang amanah dari para orangtua. Pihak pesantren berkewajiban untuk menjaga kemurnian pemikiran para santri dan santriwatinya, agar tidak dikotori dengan kampanye politik praktis.


Memisahkan Politik dengan Agama adalah Ide Berbahaya

Para santri dan santriwati adalah para pembelajar. Otak mereka akan selalu siap diisi materi. Kampanye pun salah satu bagian dari proses belajar bagi mereka. Seharusnya materi yang disampaikan saat kampanye tidak boleh keluar dari materi Islam. 

Pembawa materi kampanye pun tidak boleh seseorang yang bukan beragama Islam. Bukankah orangtua para santri dan santriwati itu memondokkan anak-anaknya agar anak mereka paham tentang Islam? Bukan untuk paham politik praktis yang memisahkan agama dengan kehidupan.

Ide “larangan memilih pemimpin yang menjadikan agama sebagai alat politik” adalah berbahaya. Ide ini bisa dipahami oleh para santri dan santriwati khususnya dan umat Islam secara umum, bahwasanya agama Islam itu terpisah dengan politik. Atau bisa juga dipahami bahwa agama Islam tidak memiliki aturan dalam berpolitik. Padahal memisahkan agama dengan politik ini bukan berasal dari Islam. Pemikiran itu lahir dari pandangan sekularisme.


Islam Memiliki Aturan dalam Politik

Islam adalah agama yang sempurna. Islam mengurus urusan individu manusia, seperti mengatur cara makan, cara minum, cara berpakaian, dan semua urusan individu dari mulai bangun tidur sampai tidur lagi. Islam pun mengurus urusan hubungan individu dengan individu lainnya, seperti kesehatan, pendidikan, sosial, ekonomi dan politik. Bila urusan individu saja diurus dalam Islam, apalagi urusan politik yang mengurus orang banyak. 

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Daulah Islam menjelaskan, bahwa politik  adalah mengurus urusan umat dengan menerapkan hukum Islam, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Islam memiliki sistem politik baku yang dikenal dengan Khilafah. Pemimpinnya disebut khilafah dan cara pengangkatannya menggunakan metode baiat. Sistem khilafah sudah pernah digunakan oleh umat Islam dan bertahan selama 13 abad lamanya. Dalam Islam, memilih pemimpin adalah hal yang sangat penting karena tugas pemimpin akan berpengaruh kepada kesejahteraan banyak orang. Bila salah memilih pemimpin, maka bisa dipastikan rakyat akan sengsara karena terzalimi.


Tugas Ulama Berdakwah Bukan Memecah Belah

Pemikiran umat Islam telah bercampur dengan pemikiran barat yang berpandangan sekuler, yaitu memisahkan agama dengan kehidupan, termasuk memisahkan agama dari politik. Memiliki pandangan sekuler membuat umat Islam mengalami kemunduran dan terbelakang. Keterbelakangan pemikiran inilah, umat Islam mudah diambang-ambing dan disesatkan dari kebenaran. Umat Islam akan mudah percaya dengan tuduhan “pemecah belah umat” kepada para ulama yang menyampaikan kewajiban penerapan Islam kafah.

Hal ini tidak boleh dibiarkan, umat Islam harus bangkit dari keterpurukan berpikir. Kewajiban bagi para ulama untuk melakukan dakwah kepada umat Islam. Mendakwahkan tentang Islam sebagai agama dan juga Islam sebagai cara pandangan hidup. Islam bukan hanya mengatur cara ibadah, akan tetapi mengatur seluruh kehidupan termasuk mengatur cara berpolitik. Umat wajib mendapatkan pendidikan tentang politik Islam. Karena dengan memahami politik Islam, umat akan mampu bangkit dari keterpurukan berpikir. 

Oleh karena itu, umat wajib belajar tentang pendidikan politik Islam. Karena hal tersebut, dapat mendorong umat untuk selalu memegang aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam berpolitik. Umat akan mampu menepis tuduhan “pemecah belah umat” kepada ulama yang mendakwahkan penerapan Islam secara kafah.

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan