Mampukah Demokrasi Hilangkan Korupsi dari Pemimpin Mantan Napi?
![]() |
๐ Admin MKM |
Dengan memberikan keleluasaan eks napi koruptor mendaftar sebagai bacaleg, akan rentan melakukan korupsi lagi. Di sisi lain jika dilarang, lagi-lagi aturannya bertabrakan dengan HAM dan undang-undang konstitusi. Seperti itulah jika hukum dibuat oleh manusia, yang sumbernya dari akal manusia yang terbatas.
OPINI
Oleh Luluk Kiftiyah
Muslimah Preneur
MKM, Opini_Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan Daftar Calon Sementara (DCS) peserta bakal calon legislatif (bacaleg) pemilu 2024. Dalam DCS tersebut, Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan ada 15 mantan koruptor yang terdaftar. Adapun bacaleg mantan koruptor yang maju mencalonkan diri di antaranya, ditingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Beberapa bacaleg tersebut berasal dari berbagai partai politik. (voaindonesia.com, 26/8/2023)
Para mantan narapidana kasus korupsi atau napi koruptor ini bisa maju dalam pemilu 2024, berkat putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 30 P/HUM/2018. MA mencabut larangan eks napi koruptor nyaleg, lantaran bertentangan dengan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM). Dalam pasal tersebut menjelaskan, setiap warga negara berhak dipilih dan memilih. (cnnindonesia.com, 24/8/2022) ini 2022atau 2023?
Jika dilihat dari fakta yang ada, keputusan MA terbilang sesuai dengan asas demokrasi kapitalisme. Di mana asas tersebut menjunjung tinggi nilai liberalisme atau kebebasan yang seirama dengan konsep HAM. Sehingga jika ada pelarangan terhadap eks napi koruptor dalam pencalonan pemilu, tentu ini dianggap pembatasan terhadap hak setiap warga negara, karena berseberangan dengan HAM.
Sedangkan hak untuk dipilih dan memilih telah diatur dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, eks napi koruptor boleh ikut dalam pemilu tidak hanya atas dasar HAM, namun juga dilindungi oleh Undang-Undang pemilu. Dengan kata lain, hak dan kebebasan hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan Undang-Undang. Hal ini bertujuan untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM, kebebasan dasar orang lain, ketertiban hukum, kesusilaan, dan kepentingan bangsa.
HAM dari Kacamata Kapitalisme Vs Islam
Sejatinya sistem demokrasi kapitalisme dan Islam memang tidak pernah sejalan. Sebab sumber aturan sistem kapitalisme berasal dari akal manusia. Sehingga metode dalam penerapan hukumnya melalui kewenangan negara, yang diambil dari akal manusia. Kewenangan tersebut diambil berdasarkan aspek kemaslahatan, yang mana kemaslahatan ini bersifat relatif dan kondisional. Sehingga hukum bisa ditarik sesuai kepentingan individu atau kelompok.
Namun individu atau kelompok yang dimaksud ialah para oligarki, yakni segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Ditambah lagi, dasar akidah demokrasi kapitalisme ialah sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Tak heran, jika kasus korupsi membludak di negeri ini. Hal ini dikarenakan, agama hanya dijadikan simbolis. Alhasil, tolok ukur perbuatannya berdasarkan kepuasan materi atau jasadi, bukan ridanya Allah Swt.
Sebagaimana yang terjadi pada hukum kapitalisme hari ini. Antara aturan satu dengan yang lainnya saling tumpang-tindih. Seperti di tahun sebelumnya, yang awalnya komisi pemilihan umum (KPU) melarang eks napi koruptor mencalonkan diri sebagai peserta pemilu. Larangan tersebut diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Namun dibatalkan oleh MA dengan dalih melanggar HAM dan Undang-Undang konstitusi.
Padahal dengan memberikan keleluasaan eks napi koruptor mendaftar sebagai bacaleg, akan rentan melakukan korupsi lagi. Di sisi lain jika dilarang, lagi-lagi aturannya bertabrakan dengan HAM dan undang-undang konstitusi. Seperti itulah jika hukum dibuat oleh manusia, yang sumbernya dari akal manusia yang terbatas.
Hukum akan saling tumpang-tindih, dan pada akhirnya akan dimenangkan oleh oligarki. Sebab, sejatinya UU pemilu dibuat untuk menyokong para pemilik modal. Bukan untuk menghasilkan pemimpin yang terbaik. Hal ini semakin menegaskan, bahwa sistem demokrasi kapitalisme sangat ramah terhadap koruptor dan memberi banyak kesempatan pada koruptor untuk tetap memiliki kedudukan tinggi. Dari sini jelas, bahwa demokrasi tak mampu menghilangkan korupsi.
Kriteria Pemimpin dalam Islam
Berbeda dengan sistem Islam, yang menjadikan aturan Allah sebagai satu-satunya sumber hukum dan kebijakan negara (Khilafah). Sehingga setiap perbuatan, tolok ukurnya adalah halal dan haram.
Dengan kata lain, setiap hukum yang diambil tentu berdasarkan syariat Islam. Di sini seorang pemimpin paham, bahwa kewenangan pembuat hukum hanya Allah Swt saja. Sedangkan manusianya, sekadar memahami dan menerapkannya. Sebab pada fitrahnya, manusia itu bersifat lemah, terbatas, dan serba kurang. Jadi tidak mungkin seorang hamba yang lemah, terbatas dan serba kurang akan mengatur banyak manusia.
Dengan begitu, syariat Islam kafah (Khilafah) mencegah munculnya individu-individu di tengah masyarakat yang gemar melakukan kemaksiatan. Islam akan banyak mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, melalui penerapan sistem pendidikan Islam. Dengan tujuan membentuk generasi yang berkepribadian Islam. Sebab merekalah yang akan melanjutkan kepemimpinan Islam, dan membangun peradaban unggul serta gemilang.
Islam telah menunjukkan cara mengatasi dan mencegah kasus korupsi. Mulai dari sistem penggajian yang layak, larangan menerima suap, dan hadiah. Selain itu, adanya perhitungan kekayaan sebelum dan sesudah masa jabatan. Pengawasan masyarakat dan sanksi yang tegas.
Sebagaimana diketahui bahwa hukum Islam sangat tegas dan menjerakan. Sehingga membuat pelaku kejahatan benar-benar bertobat, dan memberikan pelajaran bagi yang lainnya untuk tidak melakukan kejahatan yang sama. Mengingat sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebusan dosa).
Oleh karena itu, negara Khilafah memiliki standar pemimpin yang akan dipilih, yaitu;
1. Muslim
2. Laki-laki
3. Balig
4. Berakal
5. Merdeka (bukan budak atau berada dalam kekuasaan pihak lain)
6. Adil (bukan orang fasik atau ahli maksiat)
7. Mampu (punya kapasitas memimpin)
Dengan memenuhi tujuh kriteria tersebut, maka akan diperoleh pemimpin yang adil dalam menjalankan perannya. Sehingga, kepala negara yang terpilih melalui mekanisme tersebut, nantinya akan diberi wewenang menunjuk kepala daerah yang memiliki figur bertakwa, amanah, dan kapabel. Dengan begitu, akan lahir pemimpin yang ideal dambaan umat. Namun hal itu akan terwujud, hanya dengan diterapkannya sistem Islam kafah (Khilafah). Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar