Menyoal Obral Janji Jelang Pilpres 2024, Masihkah Percaya?

 

🖤Admin MKM

Masih segar dalam ingatan kita, janji-janji politik Jokowi faktanya berkebalikan. Di antaranya, stop utang nyatanya tambah membengkak. Stop impor pangan, faktanya kran malah dibuka lebar-lebar. Investasi akan dihentikan, justru UU Cipta Kerja untuk memuluskannya dan IKN sudah diserahkan ke China. Membuka lapangan kerja, gak tahunya menggelar karpet merah untuk TKA, dan masih banyak lagi janji lainnya yang diingkari.


OPINI


Oleh Nur Fitriyah Asri

Penulis Ideologis Bela Islam Akademi Menulis Kreatif


MKM_OPINI,Masa kampanye telah ditetapkan oleh Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dimulai pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Namun, ketiga kandidat capres sudah bersaing untuk berlomba-lomba obral janji sebelum masa kampanye tiba. Sungguh tidak etis, apalagi dengan janji-janji politik yang tidak realistis. Rakyat selama ini sudah kenyang dibohongi, akankah kembali terulang?

Prabowo kandidat capres yang berkomitmen melanjutkan program presiden Joko Widodo, lebih dulu mencuri start dengan tebar janji politik. Janjinya terangkum dalam ‘Program Best Results Fast 2024-2029’. Di antara kebijakannya adalah memprioritaskan ketahanan pangan dan pembukaan lahan pertanian baru di lahan gambut. Padahal program lumbung pangan yang diamanahkan gagal bahkan dituding merusak lingkungan. Juga akan memberikan makan siang dan susu gratis setiap hari untuk seluruh pelajar di Indonesia, membutuhkan anggaran Rp400 triliun per tahun. Serta memberantas korupsi, dan lainnya.

Ganjar Pranowo yang diusung oleh PDI-P, juga berjanji akan melanjutkan program Jokowi. Meneruskan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN). Memberantas korupsi dan menaikkan gaji guru agar layak hingga Rp30 juta, untuk yang baru mulai mengajar sebesar Rp10 juta. Adapun Anis Basweda melalui cawapresnya Muhaimin Iskandar (Cak Imin) berjanji bakal memberikan bahan bakar minyak (BBM) gratis. Juga listrik gratis untuk rakyat miskin sejumlah 24 juta rumah tangga dengan daya 450 VA dan 900 VA. Peningkatan dana desa menjadi 5 miliar (CNNIndonesia.co, 11/9/2023)

Benarkah janji-janji politik akan dapat direalisasikan? Publik pesimis janji bisa direalisasikan karena beberapa faktor, yakni:

Pertama, semua butuh dana dari mana akan diperoleh? Mengingat Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menilai Indonesia termasuk kategori negara gagal. Hal ini diperkuat dengan kondisi APBN yang defisit.

Kedua, utang luar negeri melejit mencapai Rp7.855,53 triliun. Untuk membayar bunganya saja sebesar Rp386,3 triliun. Ironis, bunga utang lebih besar dibanding dengan anggaran yang dialokasikan untuk biaya kesehatan yang hanya Rp176,7 triliun. Dengan minimnya dana kesehatan banyak rakyat yang kesehatannya memprihatinkan dan anak-anak menyandang gizi buruk. Belum lagi untuk program yang lainnya.

Ketiga, sumber daya alam (SDA) sudah digadaikan pada asing dan aseng dengan dalih investasi. Artinya, sumber pemasukan APBN tidak ada. Di sisi lain, untuk menjalankan roda pemerintahan dibutuhkan dana. Ujung-ujungnya cari utangan lagi, jika ini benar tentu akan dibebankan pada rakyat dengan cara dipalak melalui pajak. Padahal, utang menjadikan negara tidak berdaulat dan merupakan pintu masuk penjajahan.

Menolak Lupa

Masih segar dalam ingatan kita, janji-janji politik Jokowi faktanya berkebalikan. Di antaranya, stop utang nyatanya tambah membengkak. Stop impor pangan, faktanya kran malah dibuka lebar-lebar. Investasi akan dihentikan, justru UU Cipta Kerja untuk memuluskannya dan IKN sudah diserahkan ke China. Membuka lapangan kerja, gak tahunya menggelar karpet merah untuk TKA, dan masih banyak lagi janji lainnya yang diingkari. Termasuk memberantas korupsi dan BBM gratis, ibaratnya menegakkan benang basah mana mungkin bisa?

Selama sistemnya demokrasi sekuler, korupsi tidak akan bisa diberantas. Penyebabnya adalah mahalnya biaya pemilu. Ketua MPR, Bambang Soesatyo (Basoet) dengan blak-blakan mengaku untuk mencalonkan anggota DPR Pusat habis 5 miliar. Bahkan teman-temanya lebih besar lagi. Sumber lain menyebutkan, untuk ongkos politik bupati/wali kota 30 miliar, gubernur 100 miliar, dan untuk presiden bisa mencapai 30 triliun. Jika tidak punya dana, kata Basoet minta bantuan ke sponsor (oligarki). Jadi, sebuah keniscayaan jika sudah menjabat yang dipikirkan bagaimana caranya balik modal. Apalagi di baliknya ada oligarki.

Begitu pun dengan janji BBM akan digratiskan, hanya mimpi. Sebab, beberapa kali mengalami kenaikan bahkan awal September BBM dinaikkan. Hal ini terjadi karena sumber daya alam (SDA) termasuk barang tambang telah diprivatisasikan, pengelolaannya diserahkan asing dan aseng. Mereka para pemilik modal yang berkuasa mengendalikan harga-harga dan nilai mata uang untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Akibatnya, harga minyak mentah dunia menjadi mahal dan stabilitas nilai tukar rupiah (lemah) terhadap dolar Amerika Serikat. Jangan kaget jika BBM dan listrik selalu naik.

Janji-janji manis capres tidak mungkin bisa direalisasikan selama sistemnya demokrasi sekuler. Sebab, sistem ini cacat dari asasnya, yakni sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan. Sistem yang menafikan keberadaan Allah sebagai Sang Pengatur. Dengan slogan kedaulatan di tangan rakyat, menjadikan manusia berhak membuat aturannya sendiri. Aturan yang bersumber pada akal dan asas manfaat. Tolok ukurnya bukan haram dan halal, melainkan kebebasan. Bebas berakidah, bebas berpendapat, bebas bertingkah laku, dan bebas berkepemilikan. Adapun kebahagiaan diukur dengan banyaknya materi, dengan menghalalkan segala cara. Wajar, jika sistem demokrasi kapitalis dikuasai oleh para pemilik modal (oligarki) yang tamak, rakus, dan keji. Sistem yang melahirkan kerusakan di semua lini kehidupan harusnya dicampakkan.

Sistem Politik Islam Murah dan Amanah

Dalam politik Islam dengan tegas telah digariskan bahwa kedaulatan (al-siyadah) berada di tangan syarak (QS. Al-Maidah 44-50). Islam hanya mengakui Allah Swt. satu-satunya pemilik otoritas yang membuat hukum untuk ditaati. Adapun kekuasaan (al-sulthan) diberikan kepada umat. Artinya umat yang diberikan hak untuk menentukan pemimpin (khalifah) yang akan menjalankan kedaulatan syarak tersebut.

Tentu saja pemimpin yang dipilih harus sesuai dengan ketetapan syarak, yakni muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas kekhilafahan (syarat in’iqad).

Bukan seperti pada sistem demokrasi syarat utamanya banyak duit. Demikian juga proses pemilihannya berbelit-belit, butuh waktu yang lama. Beda halnya dalam sistem Islam, proses pemilihan khalifah praktis dan cepat tidak boleh lebih tiga hari. Sebagaimana termaktub dalam Masyru’ Dustur Negara Islam Pasal 32, yang berbunyi: Apabila jabatan Khilafah kosong karena khalifahnya meninggal atau mengundurkan diri atau diberhentikan, maka wajib hukumnya mengangkat seorang pengganti sebagai khalifah, dalam waktu tiga hari sejak saat kosongnya jabatan Khilafah. (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hlm.132)

Pun demikian dengan masa jabatan khalifah tidak memiliki periode tertentu atau dibatasi seperti dalam sistem republik 4-5 tahun. Selama khalifah tidak kehilangan syarat in’iqad, berpegang teguh pada syariah, melaksanakan urusan negara dengan menerapkan hukum syarak, bertanggung jawab tentang kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Anas bin Malik, Rasulullah saw. bersabda: “Dengar dan taatilah pemimpin kalian sekalipun yang memimpin adalah seorang budak hitam kepalanya seperti dipenuhi bisul.”

Untuk menjadi seorang khalifah harus dengan baiat. Adapun tata cara proses pemilihan khalifah ada beberapa cara yang sudah dicontohkan oleh Khulafaur Rasyidin. Diawali dengan pemilihan kandidat oleh Ahlul halli wal aqdi (Majelis Umat), para kandidat diseleksi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan secara syar’i hingga menyisakan satu orang saja. Selanjutnya dibaiat oleh kaum muslimin. Artinya kekuasaan yang dimiliki umat diserahkan kepada khalifah untuk mengatur urusan rakyat dengan hukum-hukum syarak yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah.

Inilah gambaran ringkas pemilihan seorang pemimpin dalam Islam. Meniadakan celah obral janji, manipulasi, korupsi, pemborosan, dan lainnya karena semuanya diatur oleh hukum yang berasal dari Zat Yang Maha Adil tentu akan menghasilkan keadilan dan melahirkan pemimpin yang amanah dan akan menyejahterakan rakyatnya baik muslim maupun non muslim.

Wallahuallam bisawwab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan