Pilihan-Mu Terbaik Untukku

🖤 Admin MKM 


Setelah mengulangi hafalan Al-Qur'an dan salat taubat sebelum tidur. Zahra terngiang-ngiang dengan perkataan Bu Sarah sepulang mengajar tadi.

'Aahh masa iya, aku jadi menantu Bu Sarah. Jadi istri Putra?' khayal Zahra seolah melangit. Ada rasa pesimis yang Zahra dapati dalam dirinya. 


Oleh Dede Sri Intan

(Pendidik Generasi)


MKM, CERPEN_Setelah ditempa menjadi seorang alimah selama empat tahun lamanya, oleh asatizah di Baitul Qur'an, akhirnya masa kepulangan Zahra ke rumah pun tiba.

Suasana mengharu biru tatkala panggilan kepulangan Zahra di umumkan oleh Ustazah Aisyah.

"Sudah Nayah, jangan nangis terus. Meskipun Teteh pulang, kan, kita masih bisa bertemu," bujuk Zahra kepada Inayah, adik santri yang sekamar dengannya saat di pondok.

"Iya, Teteh ... tapi pasti nggak akan sesering pas Teteh masih di sini. Seminggu sekali, atau sebulan sekali juga belum tentu bisa ketemu. Itu pun kalau Teteh masih inget sama Naya," keluh Inayah yang terus berderai air mata.

Meski dikenal sebagai Kakak santri yang tegas, Zahra tak luput dikenal sebagai senior yang penyayang terhadap adik-adik santrinya. Sebab itulah, kepulangannya adalah kabar duka bagi teman seperjuangan yang akan Zahra tinggalkan.

Sebelum benar-benar pulang, Zahra diberi amanah oleh Ustazah Aisyah, agar sepulangnya dari pondok, Zahra harus memastikan dirinya bisa berkontribusi di kampung halamannya, dalam menyebarluaskan ajaran Islam yang selama ini ia pelajari. Terutama mengajarkan ilmu Al-Qur'an.

"Assalamualaikum, Ustazah, Ibu izin pamit ya, jazakillah khairan katsiira untuk segenap perjuangan Ustazah selama mendidik juga meriayah Zahra. Ayo, Nak, kita segera naik ke mobil. Abiya sudah menunggu!" ajak Ibu kepada Zahra, sembari memohon izin perpisahan kepada pendidik Zahra selama ia berada di pondok.

"Ustazah, insyaallah, apa yang di amanahkan oleh Ustazah, akan senantiasa menjadi embanan bagi Zahra mulai kini hingga Zahra tiada. Di manapun Zahra berada, misi Zahra akan tetap sama, untuk menyebarkan ilmu yang telah Zahra kaji selama ini."

"Baik, Ra, Bunda ... selamat jalan, fii amanillaah," ucap Ustazah Aisyah kepada Zahra juga bundanya.

***

'Seperti janjiku kepada Ustazah, aku akan memulai langkah awalku, dengan mendatangi pengurus setempat mungkin ya, Ketua RT tepatnya' selintas Zahra berpikir tentang misi yang akan ia jalankan di kampung halamannya.

Zahra memang tak asing dengan tata letak bangunan serta jalan yang ada di kampungnya, namun karena saat mondok, perpulangan ke rumah hanya setengah tahun sekali, Zahra jadi sedikit kesulitan mengenali orang-orang yang ada di sekitar rumahnya.

"Bu, kalau ketua RT kita sekarang, siapa, ya?" tanya Zahra kepada Halimah, memastikan agar obyek yang ia datangi tepat.

"Hmm ... Ketua rt ya ... Pak Iwan kalau nggak salah mah, Teh."

"Kalau nggak salah mah di deket TPA tea ya, Bu rumahnya?"

"Iya, di sana. Cuma Ibu denger, sekarang rumahnya pindah ke rumah yang di sebelahnya," timpal Halimah.

Tak mau menunda waktu, esok harinya Zahra segera menuju Rumah Pak Iwan, untuk meminta informasi serta mengutarakan keinginannya untuk membuat forum belajar Al-Quran bagi warga setempat.

'Itu mungkin ya rumahnya pak iwan,' tebak Zahra sembari menghentikan langkahnya sejenak. Dari kejauhan, Zahra melihat ada seorang pemuda yang tengah mencuci motor, tepat di depan rumah yang akan Zahra tuju.

Zahra berpikir untuk mengurungkan niatnya mendatangi Pak Iwan, sebab ada pemuda itu. Zahra belum terbiasa bertemu dengan lelaki ajnabi, apalagi yang sebaya dengannya. Sebab saat di pondok, Zahra belum pernah berkomunikasi dengan lelaki, karena pondoknya khusus untuk santri putri saja.

Sebab menjaga pandangan, sampai sekarang Zahra tidak pernah sekalipun berdua-duaan dengan lelaki manapun kecuali abiya dan kakak lelaki semata wayangnya.


Meski saat berjual beli, Zahra hanya seperlunya saja bila terpaksa harus berkomunikasi dengan lawan jenis. Namun mau bagaimana lagi, karena esok atau sekarang pun, Zahra pasti akan menemui kondisi yang sama seperti saat ini.


Sebab ini di lingkungan rumah, bukan lagi di pondok. Jadi mau tak mau, suatu saat Zahra pasti akan berada pada kondisi yang mengharuskannya berkomunikasi dengan lawan jenis seperti saat ini.


'Bismillah, ayo Zahra ga papa, tujuan kamu, kan, baik. Seperlunya aja bicaranya. Tenang ... jaga pandangan aja, okay!' hati Zahra sedikit berkecamuk menenangkan diri agar mau melanjutkan itikad baiknya itu.

Setelah bertarung pikiran, akhirnya Zahra memutuskan melanjutkan untuk menemui Pak Iwan. Zahra melangkahkan kakinya perlahan menuju rumah yang dihuni oleh Pak Iwan beserta keluarganya itu.

"Permisi, ini benar rumahnya Pak RT?" Zahra memberanikan diri untuk bertanya kepada pemuda yang sedang mencuci motor tadi.

"Iya, iya benar, Teh ... beliau bapak saya sendiri. Ada apa ya, Teh?" sahut Putra, dengan suara yang terkesan gugup, karena pertama kalinya ia melihat perempuan berjilbab lengkap dengan cadar di lingkungannya. 

Kemudian perlahan Zahra menyampaikan tujuan kedatangannya. Putra pun menyimpan spons yang masih Ia genggam, kemudian bergegas masuk ke dalam rumah, untuk memanggil Umminya.

***

"Teh ... silahkan masuk," sambut Sarah, istri Pak Iwan dengan penuh keramahan.

Tak banyak berpikir, Zahra segera mengucap salam sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Bu sarah, kemudian masuk ke dalam rumahnya.

Menyusul Bu Sarah, Pak Iwan pun datang melanjutkan pembicaraan dengan menanyakan maksud kedatangan Zahra yang mendadak itu. Zahra menjelaskan tujuan kedatangannya, yang tak lain ingin mengajukan pengadaan forum belajar Al-Qur'an, sebagaimana rencana awalnya.

Pengajuan Zahra akhirnya di setujui oleh Pak Iwan dan istri, yang kemudian mendapatkan dukungan penuh dari keduanya.

***

"Hayya 'alas sholaah ... hayya 'alas sholaah ...."

Kumandang azan Magrib kali ini begitu merdu, layak diresapi bahkan menembus sampai ke hati.

Zahra yang sedang menata perabotan bawannya dari pondok, sementara waktu terdiam kaku menikmati lantunan azan yang seolah menghipnotis dirinya.

Bagaimana tidak, mungkin saat di lingkungan pondok, wajar Zahra biasa mendengar lantunan azan merdu seperti ini. Karena di sana mayoritas penduduknya sudah paham agama.

Lain halnya dengan lingkungan sekitar rumah Zahra, yang notabenenya masih awam terhadap ilmu agama. Jadi, kalau ada seseorang yang fasih melafalkan huruf hijaiyah, serta terkesan paham pada ilmu agama, itu luar biasa.

'Aahh ... kenapa jadi baper gini ya' celetuk Zahra sambil tersenyum sendiri.

"Huss ... Zahra, kenapa kamu teh?" tanya ibunya kepada Zahra yang sedikit mengagetkan, kemudian dibalas tawa kecil olehnya.

Malam ini, adalah malam Jumat. Ibu Zahra biasa melakukan pengajian malam jumatan bersama warga setempat di masjid. Halimah mengajak Zahra untuk turut serta mengikuti pengajian bersamanya. Zahra pun mengiyakan ajakan ibunya.

Saat dalam perjalanan menuju ke masjid, Zahra dan ibunya melewati sebuah pos kamling, di sana Zahra mendapati sekelompok pemuda yang tengah bergitar, sambil membicarakan hal yang tak berguna.


"Bu, memangnya begitu ya, kebiasaan pemuda di sini tiap malam? Bukannya ikut pengajian, ini malah nongki gak jelas ... Astaghfirullah."

"Iya Teh, tapi nggak semua. Ada juga beberapa pemuda yang Ibu nilai baik. Kayak anak-anaknya Bu sarah, ada empat orang, tiga laki-laki, satu perempuan. Yang tiganya, boleh tuh jadi pilihan Teteh salah satunya."

"I ... ih, Ibu ini ... he ...."

Halimah memberikan jawaban yang berujung menggoda Zahra.

Zahra dan Halimah sudah sampai di masjid. Malam ini, udara terasa begitu dingin. Karena angin bertiup kencang. Saat Zahra dan Halimah telah menetap di tempat duduk yang nantinya akan mereka tempati ketika mengikuti kajian, tetiba angin bertiup kencang, hingga membuat hijab yang membatasi tempat laki-laki dan perempuan tersingkap.

Saat hijab tersingkap, tampak seorang pemuda berjubah putih tengah membaca Al-Qur'an, dekat mimbar. Zahra segera menundukkan pandangannya, tatkala pandangan pertamanya tertuju kepada pemuda tadi.

Angin berhenti, hijab pun kembali pada posisi semula.

"Nah, Teh, itu yang di depan tadi namanya A' Putra. Anak tengahnya Bu Sarah," celetuk ibu Zahra.

"Assalamualaikum." Bu Sarah tampak dari depan pintu masjid.

"Eehh Ibu, sehat, Bu?" sapa Halimah kepada Bu RT.

"Alhamdulillah, Bu, sehat ... Ma syaa allah, ini bukannya Teteh yang tadi siang datang ke rumah Ibu, ya?" ujar Bu Sarah sembari menunjukkan pembicaraan kepada Zahra.

"Benar, Bu, ini saya," jawab Zahra dengan santun.

"Jadi Teh zahra ini putri Bu Halimah? kok saya baru tahu, ya?"

"Iya, Bu, ini Zahra anak saya. Yang seumuran dengan putra bungsu Ibu, Aa Dito."

"Ooh iya ... jadi selama ini putri bungsu Ibu tinggal di mana? Mondok, Bu?"

"Iya, Bu ... mondok di Baitul Qur'an Salamah."

Pengajian pun usai. masuklah waktu shalat isya.

"Tiitt ... tiit ... tiit ...." Jam digital menunjukkan waktu azan Isya, telah masuk.

"Dup ...." Mic dihidupkan.

Suara azan Isya ini tampaknya sama dengan yang tadi Zahra dengar ketika Magrib.

'Siapa yaa, lelaki dengan suara azan merdu ini.' Hati Zahra bertanya-tanya.

"Putra, lanjutkan iqomah saja ... karena signal setelah ini akan ada kultum!" Seruan dari seorang tua, kepada pemuda yang baru selesai mengumandangkan azan itu.

'Putra, jadi dia A putra?' Lagi-lagi Zahra bergumam.

***

Karena permintaan dari Pak Iwan, setiap bada Magrib Zahra membantu Bu sarah mengajari anak-anak belajar Al-Qur'an di masjid.

Putra nampaknya adalah pemuda yang baik, selama dua bulan Zahra mengajar di masjid, belum pernah terdapati sekalipun, Putra alfa dari salat berjamaah.

Zahra menyimpan kekaguman kepada Putra. Sebab kesalehan yang tampak dari perilakunya. "Shadaqallaahul 'aziim ...."

Pembelajaran berakhir. Seperti biasa, Bu sarah mengantarkan Zahra sampai ke depan pintu rumahnya. Karena Bu sarah paham, bahwa seorang gadis tidak boleh bepergian keluar rumah apalagi di malam hari, kecuali harus didampingi mahramnya.

"Teh, Ibu berharap sekali Teteh bisa jadi mantu Ibu. Teteh suka gak, sama Putra anak Ibu?" Bu sarah memecah keheningan malam dengan mengajukan pertanyaan yang membuat Zahra malu.

"Emm ... Subhanallah Ibu, Teteh mah kurang pantas atuh, kalau untuk A' Putra. Di luaran banyak sekali perempuan yang jauh lebih baik daripada Teteh." Zahra merendahkan dirinya, sebab tak menyangka Bu Sarah akan berkata yang demikian.

***

Setelah mengulangi hafalan Al-Qur'an dan salat taubat sebelum tidur. Zahra terngiang-ngiang dengan perkataan Bu Sarah sepulang mengajar tadi.

'Aahh masa iya, aku jadi menantu Bu Sarah. Jadi istri Putra?' khayal Zahra seolah melangit. Ada rasa pesimis yang Zahra dapati dalam dirinya. 

Sebab Zahra kira, Putra berkemungkinan kecil bisa menyukai dirinya. Dengan segala kekurangan yang Zahra miliki, ia pikir di luar sana ada perempuan yang jauh lebih baik yang pantas untuk Putra.

***

Pekan demi pekan terus berlalu. Perasaan yang disebut sebagai cinta yang Zahra miliki untuk Putra semakin membuatnya resah.

Seperti cinta pada umumnya, perasaan yang Zahra miliki terhadap Putra, seolah menuntutnya untuk ingin segera menyatukan cinta itu dalam ikatan yang mampu membersamakan mereka.

Apalagi setelah beberapa kali Zahra bertemu dengan Putra, Zahra merasa kalau sikap Putra kepadanya seolah seperti Putra memberikan harapan. Semua itu terlihat dari bagaimana cara Putra memperlakukan Zahra, juga memberikan perhatian yang lebih padanya.

Pagi kembali menyapa. Di hari yang cerah ini, Zahra berencana menemui Bu Sarah, untuk membicarakan perihal pentas anak-anak pengajian, yang akan diselenggarakan pada peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. bulan ini.

"Bu, Zahra pamit ya ... mau mengunjungi Bu Sarah di rumahnya."

"Iya, Teh, sampai jam berapa kira-kira di rumah Bu Sarahnya? Nanti Ibu mau ngajak Teteh ke tempat Ummu Nadira pemilik yayasan sosial itu,"

"Enggak lama kok, Bu, selesai perencanaan, insyaallah Zahra langsung pulang. Paling satu jam, ya."

Zahra segera men-starter motornya.

Sesampainya di gang masuk menuju rumah Bu sarah, Zahra dikejutkan dengan sekumpulan warga yang tengah teriak-teriak memaki seorang perempuan setengah tua, yang tidak jelas terlihat, karena jarak antara Zahra kepada kerumunan warga itu sekitar tujuh meteran.

Karena penasaran dan berniat ingin melerai, Zahra pun segera mendekati kerumunan itu.

"Makannya, didik anak kamu yang bener dong! Jangan belaga sok alim, tapi kelakuannya bejat! Kalau udah kejadiannya kayak gini, gimana? tanggung jawab kamu Bu Sarah!" Dengan nada yang tinggi, terdengar seorang wanita setengah abad melontarkan makian kepada Bu Sarah.

Mendengar perkataan itu, Zahra semakin terkejut. Bu Sarah mana yang sedang dimaki-maki itu? Apakah Bu sarah yang akan ia temui?

Zahra semakin mendekat, ia bertanya kepada salah seorang warga yang ada di sana.

"Punten, ada apa ya, ini Bu?"

"Itu Neng, anaknya Bu sarah, Si Putra. Dia bawa kabur anaknya Bu Dea. Warga tahu kabarnya dari temen anaknya Bu Dea, katanya anak Bu Dea dibawa kabur Si Putra sok alim itu. Gak tau mau diapain apain tuh anaknya Bu Dea. Tapi selama ini yang saya tau, Si Putra tuh emang kayak yang naksir gitu sama anaknya Bu Dea."

Bagai disambar petir di siang bolong, terkejutnya Zahra tiada terkira. Hati Zahra rasanya hancur. Bagaimana bisa, lelaki yang selama empat bulan ini ia kenal sebagai lelaki yang saleh, bisa melakukan hal sememalukan itu.

Zahra tak habis pikir. Badan Zahra seketika melemas, ia menyembunyikan deraian air mata di balik cadar hitamnya. Zahra kemudian berlari mengampiri sepeda motornya. Tak kuasa menahan tangis, Zahra pun melajukan motornya sembari tak henti-hentinya beristighfar.

***

Tak banyak yang dipikirkan, sesampainya di rumah, Zahra kemudian berlari ke kamar, mengunci pintu lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang.

Sebelumnya, Zahra juga pernah mendapatkan berita, kalau Putra tengah memiliki seorang pacar, dan seringkali jalan berdua dalam keadaan pacarnya memakai pakaian yang terbuka.

Namun sebab kecintaan yang telah melekat dalam hati Zahra kepada Putra, berita itu hanya Zahra anggap sebagai sebuah fitnahan bahkan berita yang tiada arti. Zahra terus berprasangka baik kepada Putra.

Tetapi nyatanya Zahra salah. Sedikit pun Zahra tak mengira, bahwa hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya. Untuk pertama kalinya ia kecewa terhadap seseorang yang ia harapkan.

***

Setelah beberapa bulan Zahra menepis rasa sakit di hatinya, sebab kekecewaan yang ia dapatkan dari Putra, akhirnya Zahra memutuskan untuk membuat sejarah baru dalam cerita hidupnya. Zahra merantau ke Bandung.

Di sana Zahra tidak sendiri, sebab ada ummu Nadira yang akan membersamainya. Sebagaimana rencana Halimah 3 bulan yang lalu, mempertemukan Zahra dengan Ummu Nadira. Pertemuan itu tiada lain adalah untuk mengutarakan maksud Ummu Nadira, mengajak Zahra menjadi mentor di sebuah forum hijrah yang dibentuk oleh Ummu Nadira yang bertempat di Kota Bandung.

Setelah membulatkan tekad, akhirnya keberangkatan Zahra ke Bandung pun tiba.

Dari Subang menuju Bandung, Zahra berangkat bersama Ummu Nadira memakai mobil Avanza milik Ummu Nadira.

Sepanjang jalan, Zahra tak henti-hentinya memanjatkan doa kepada Allah, agar kepergiannya ini menjadi awal yang baik baginya. Zahra ingin segera keluar dari keterpurukan yang selama tiga bulan ini ia rasakan.

***

Sebulan sudah Zahra berada di Bandung. Rasa rindu kepada Abiya juga ibunya mulai membuncah. Kini Zahra sudah terbebas dari rasa kecewa yang selama ini menghinggapi hatinya.

"Dreeeedd ... dreeedd ...." Handphone Zahra bergetar. Dilihatnya ada panggilan masuk.

"Baru saja aku pikirkan, Ibu sudah duluan menelpon." Zahra berbicara sendiri sembari tersenyum melebarkan bibirnya.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam Bu ... Ibu, dan Abiya gimana kabarnya? Kak Jidan juga gimana?"

"Alhamdulillah Teh, kami semua sehat. Kapan Teteh pulang? Ada yang ingin Ibu dan Abiya sampaikan."

"Hmm ... entah Bu, tapi Zahra juga udah rindu berat kepada kalian.. insyaallah atuh, sore ini Zahra izin ke Ummu Nadira, supaya besok pagi Zahra bisa otewe."

"Sebenarnya, Ibu nyuruh teteh pulang karena kemarin sore ada yang datang ke rumah teh. Ada pemuda yang berniat baik ingin berta'aruf dengan Teteh."

***

Setelah percakapan bersama Halimah di telpon tadi siang. Zahra mendapatkan izin dari Ummu Nadira untuk pulang selama tiga hari.

"Assalamualaikum ... Buuu ... Zahra pulang!"

Baru saja sampai, Zahra dikagetkan oleh Kak Jidan yang tiba-tiba membuka pintu kemudian serta merta memeluknya.

"Asikk ... alhamdulillah ya Allah, adik aku ini akhirnya bakal nikah jugaaaa."

Entah kenapa, Zahra masih heran terhadap sikap kakaknya yang lain dari biasanya.

"Ada apa sih, A'?" ujar Zahra yang merasa aneh melihat kakaknya.

"Wa'alaikumussalam, Teteh udah pulang Nak? Ahh dasar Teh, aa kamu tuh dari kemarin sore, kalimat ituu terus yang diucapinnya. Bahagia mungkin, tau adiknya bakal dilamar oleh pemuda saleh, tampan juga," timpal ibunya yang baru datang dari pintu dapur.

***

"Assalamualaikum, Abiya Zahra. insyaAllah malam ini, Riza akan kembali berkunjung untuk melanjutkan proses taaruf dengan Zahra, sebagaimana persetujuan dari abiya."

Suara lelaki yang belum pernah terdengar sebelumnya oleh Zahra, tampak sedang berbincang dengan abiyanya di telepon.

Riza, adalah putera sulung Bu Sarah, kakak Putra. Namun dari segi kepribadian, antara Riza dengan Putra itu bak bumi dan langit. Meski dilahirkan dari rahim yang sama, namun sebab pilihan hidup mereka berbeda, akhirnya kepribadian mereka pun berbeda.

Riza yang identik kalem juga santun, tapi ketika berbicara seperlunya saja, berbeda jauh dengan Putra yang notabenenya senang bercanda, juga mudah akrab dengan lawan jenis. Dulu, Zahra pernah merasa diberikan harapan oleh Putra pun, karena Putra seringkali memberikan perhatian yang lebih padanya.

Padahal, memang sikap Putra kepada semua perempuan itu sama, mudah akrab. Padahal untuk lelaki yang beriman, hal yang demikian itu tidak terlalu baik. Karena rentan menimbulkan fitnah.

Mengetahui bahwa malam ini Zahra akan kedatangan tamu, yang tak lain adalah lelaki yang akan mengajaknya bertaaruf, Zahra kemudian bersiap, merapikan pakaiannya.

Dengan balutan jilbab berwarna moka lis hitam, dan khimar bercadar yang senada, tampak sudah keanggunan Zahra. Meski tanpa riasan wajah, kecantikan natural terpancar dari wajah Zahra sebab air wudu juga salat malam yang ia dawamkan.

"Tok ... tok ... tok ...."

Suara ketukan pintu terdengar dari kamar Zahra. Halimah segera membukakan pintu sembari mempersilakan tamu yang datang untuk segera masuk kedalam rumahnya.

"Sehat Pak Arif?"

"Alhamdulillah Pak Iwan, Den Riza ... mangga duduk."

Tamu yang dinantikan pun tiba. Abiya segera mengisyaratkan kepada Ibu agar mengajak Zahra untuk ikut berkumpul di ruang tamu.

"Teh, ayo ... Abiya sudah menunggu."

"Baik, Bu."

Meski sedikit tegang, Zahra berusaha mengondisikan diri agar tidak sampai salah tingkah di hadapan semua orang.

***

Zahra datang dengan menundukkan kepala, namun tatkala menyapa kepada Bu Sarah, juga Pak Iwan, sekilas bola mata indah yang memiliki bulu mata lentik itupun terlihat oleh Riza.

"Silakan duduk Teh." Abiya Zahra mempersilakannya untuk duduk di samping Halimah, tepat berseberangan dengan Riza.

Riza, pemuda yang saleh, rupawan, juga cool itu tampak terkesima tatkala mendapati gadis salehah berparas indah, duduk tepat di hadapannya.

Meski berjarak sekitar satu setengah meter, keanggunan Zahra tampak jelas terlihat oleh Riza, dalam pandangan pertamanya.

***

Setelah prosesi taaruf, juga nazor yaitu melihat wajah perempuan yang akan diajak ta'aruf, kesepakatan dari kedua belah pihak akhirnya terbuat.

Riza merasa sangat cocok dengan Zahra, sebab antara CV, dengan fakta riil yang ia lihat memang sinkron. Begitu pun Zahra, dari sekian cerita tentang Riza yang ia terima, kesalehan, kekuatannya dalam menahan diri dari berpacaran sebelum menikah, juga kejujuran Riza tampak terbukti setelah Zahra bertemu langsung dengan Riza.

Setelah ta'aruf, proses khitbah pun dijalankan. Selang tiga bulan dari masa lamaran, sampailah pada hari yang dinantikan. Ya, pernikahan antara Zahra dan Riza akan digelar hari ini, tepat pada tanggal 4 agustus 2023.

Acara walimatul ursy pun berjalan dengan lancar serta khidmat. Dari sekian kepahitan cinta yang pernah dialami oleh Zahra, akhirnya Ia berujung pada kebahagiaan yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Riza, memiliki semua kriteria lelaki dambaan Zahra, bahkan lebih-lebih, Riza adalah sosok lelaki yang nyaris sempurna untuk Zahra.

"Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah. Kukira, dulu Putra adalah yang terbaik untukku. Nyatanya aku salah, skenario-Mu lebih indah dan lebih baik daripada yang aku bayangkan selama ini. Engkau hadirkan Nas Riza, lelaki yang begitu tulus dan saleh untuk menjadi pendamping hidupku di dunia, juga semoga hingga ke akhirat nanti."

Selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan