Patutkah Merayakan Hari Guru di Tengah Rusaknya Generasi?
![]() |
Admin MKM ❤ |
Berbagai persoalan yang membelit para pemuda itu pada dasarnya disebabkan oleh sekularisasi di dunia pendidikan. Mereka tidak dididik untuk menjalankan aturan-aturan Allah Swt. Sebaliknya, mereka hanya diajarkan dengan ilmu-ilmu dunia yang terpisah dari agama. Pendidikan agama hanya sekadar pelengkap dari kurikulum. Itulah sebabnya, bekasnya tidak tampak dalam perilaku para pemuda.
OPINI
Oleh Mariyatul Qibtiyah
Pegiat Literasi
MKM, Opini_“Kau ajarkan kami yang tak kami mengerti
Engkau bimbing kami dengan sepenuh hati”
Cuplikan lagu berjudul Terima Kasih Guruku di atas menggambarkan betapa besar jasa para guru. Mereka telah mengajarkan kepada para siswa tentang berbagai pengetahuan. Mereka juga mendidik anak-anak itu agar menjadi manusia yang berbudi pekerti. Semua itu mereka lakukan dengan penuh keikhlasan serta kesungguhan.
Untuk menghargai jasa guru, pemerintah menetapkan Hari Guru Nasional setiap tanggal 25 November. Pada saat memperingati Hari Guru, selalu ada tema yang diangkat. Peringatan Hari Guru tahun ini mengangkat tema Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar. (liputan6.com, 21/11/2023)
Tema Hari Guru yang diangkat pada tahun ini seolah menunjukkan bahwa Kurikulum Merdeka Belajar yang saat ini diaplikasikan, telah berhasil. Oleh karena itu, perlu dirayakan dan terus dilaksanakan. Namun, apakah kurikulum ini benar-benar telah berhasil?
Realitas Generasi Saat Ini
Pendidikan merupakan suatu upaya untuk membentuk sosok-sosok yang berilmu serta beradab. Di samping itu, untuk mempersiapkan para pemuda mengambil alih estafet perjuangan. Dengan demikian, mereka akan siap menjadi pemimpin di masa depan.
Namun, pada faktanya, Kurikulum Merdeka yang diterapkan saat ini belum berhasil membentuk sosok-sosok seperti itu. Banyak dari mereka yang terlibat kasus kekerasan hingga pembunuhan. Kurikulum ini juga belum mampu membentuk pemuda yang tangguh dan bermental baja, hingga siap menghadapi berbagai persoalan kehidupan.
Sebaliknya, yang terbentuk adalah sosok-sosok yang menimbulkan banyak masalah. Banyak kasus kekerasan yang melibatkan pelajar atau mahasiswa. Beberapa di antaranya menjadi kasus yang viral. Misalnya, kasus penganiayaan terhadap David yang dilakukan oleh Mario Dandy. Mahasiswa berusia 20 tahun itu melakukan penganiayaan terhadap korban hanya karena urusan asmara.
Perilaku mereka juga jauh dari akhlak yang terpuji. Adab terhadap guru pun telah hilang, hingga mereka tak segan-segan menganiaya guru hanya karena diingatkan untuk salat. Belum lagi pergaulan bebas yang mereka lakukan hingga terpaksa menikah di usia dini. Padahal, mereka belum siap menjadi orang tua, baik secara mental maupun finansial.
Yang lebih memprihatinkan adalah lemahnya kondisi kejiwaan mereka. Begitu lemahnya mental mereka, hingga banyak terjadi kasus bunuh diri. Seperti yang dilakukan oleh seorang mahasiswa kedokteran hewan Unair beberapa waktu yang lalu. Gadis itu ditemukan meninggal dalam mobil pribadinya dengan kepala tertutup kantong plastik.
Data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pada tahun 2022 terjadi 826 kasus bunuh diri. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan kasus yang terjadi pada tahun 2021, yaitu sebanyak 613 kasus. Pada bulan Juni lalu, Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) juga merilis laporan yang menyebutkan bahwa terjadi 451 kasus bunuh diri yang terjadi antara awal 2023 hingga bulan April 2023. Itu berarti rata-rata terjadi tiga kasus bunuh diri dalam sehari. Tentunya hal ini sangat menyedihkan. (radarbogor.id, 23/11/2023)
Kasus-kasus ini mestinya diperhatikan dan dicari akar permasalahannya. Setelah itu, dicari solusinya sehingga tidak akan terulang. Sayangnya, hal itu tidak dilakukan oleh para pemangku kebijakan di negeri ini.
Kurikulum yang Tidak Tepat
Berbagai persoalan yang membelit para pemuda itu pada dasarnya disebabkan oleh sekularisasi di dunia pendidikan. Mereka tidak dididik untuk menjalankan aturan-aturan Allah Swt. Sebaliknya, mereka hanya diajarkan dengan ilmu-ilmu dunia yang terpisah dari agama. Pendidikan agama hanya sekadar pelengkap dari kurikulum. Itulah sebabnya, bekasnya tidak tampak dalam perilaku para pemuda.
Sekularisasi di dunia pendidikan juga telah membuat para pemuda jauh dari agama. Sebab, agama hanya boleh menempati ruang-ruang pribadi. Sementara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, manusia boleh mengatur sendiri urusan mereka. Jadilah, mereka membuat aturan hanya berdasar hawa nafsu dan kepentingan segelintir orang.
Mereka tidak akan menjadikan standar halal dan haram dalam memenuhi kebutuhan. Demikian pula saat menyelesaikan berbagai persoalan. Oleh karena itu, mengharapkan terbentuknya sosok-sosok yang terpuji melalui kurikulum pendidikan seperti ini bagaikan menggantang asap, sehingga tidak akan pernah terwujud.
Demikianlah, Kurikulum Merdeka Belajar hanya berhasil menyiapkan generasi yang siap bekerja sebagai buruh bagi perusahaan. Namun, kurikulum ini tidak berhasil dalam menyiapkan generasi yang mampu menjadi pemimpin. Generasi yang siap untuk memajukan dan memerdekakan negeri ini dari penjajahan para kapitalis.
Pendidikan yang Berkualitas
Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam. Kurikulum yang diberlakukan akan menggunakan akidah Islam sebagai landasannya. Hal ini agar terbentuk sosok yang memiliki kepribadian yang islami. Yakni, sosok yang memiliki pola pikir dan pola sikap berlandaskan pada akidah Islam.
Untuk membentuk sosok-sosok seperti ini, tentu dibutuhkan kerja sama yang bagus antara keluarga, masyarakat, serta negara. Keluarga sebagai institusi terkecil merupakan tempat anak dididik pertama kalinya. Dalam hal ini, ibu sebagai madrasah pertama memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pendidikan yang baik. Perilaku terpuji dari orang tua maupun anggota keluarga lainnya akan menjadi contoh yang baik dan efektif dalam membentuk akhlak terpuji anak.
Meskipun orang tua telah memberi bekal pendidikan yang baik bagi anak-anak, kondisi masyarakat yang buruk dapat saja mengubah perilaku mereka. Agar terbentuk sosok-sosok pemuda yang berkepribadian Islam, harus didukung dengan masyarakat yang baik pula. Masyarakat sebagai kumpulan individu harus memiliki pikiran, perasaan, serta aturan yang sama, yaitu Islam.
Masyarakat seperti ini akan terbentuk dalam sebuah negara yang menerapkan sistem Islam secara kafah. Negara yang seperti ini akan menerapkan seluruh aturan Islam, termasuk dalam sistem pendidikan. Melalui sistem pendidikan yang berbasis pada akidah Islam, akan disusun kurikulum yang mewujudkan terbentuknya pemuda yang berkepribadian islami.
Sosok-sosok pemuda seperti inilah yang akan mengembalikan kejayaan Islam. Mereka juga akan mengembalikan kemuliaan Islam dan umatnya. Jika saat itu terjadi, Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh alam seperti yang digambarkan dalam surah Al-Anbiya [21]: 107.
وَمآ أرْسَلْنَاكَ إلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Artinya: "Dan Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar