Refleksi Hari Guru: Patutkah Merdeka Belajar Dirayakan?

 

🖤 Admin MKM 

Inilah hasil dari penerapan sistem pendidikan sekuler. Kurikulum yang dijalankan hanya berfokus pada dinamisasi cara belajar-mengajar, sedangkan substansi dari pendidikan itu sendiri masih saja melanjutkan kurikulum sebelumnya yakni berlandaskan sekularisme. Justru indikasi nafas liberalnya lebih kental karena mengarahkan generasi untuk semakin jauh dari nilai-nilai Islam. 


OPINI 


Oleh Aan Daryani

Pegiat Muslimah 


MKM, OPINI_Hari Guru 2023 diperingati pada Sabtu, tanggal 25 Oktober lalu. Peringatan untuk tahun ini mengusung tema “Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar”. Jika dilihat secara keseluruhan, tema itu menggambarkan seluruh satuan pendidikan dan siswa-siswinya untuk “Bergerak Bersama” menyemarakkan kurikulum yang berlaku sekarang. Tema tersebut memiliki makna semangat untuk bergerak bersama dalam menciptakan perubahan-perubahan positif di dunia pendidikan, meneruskan perwujudan Merdeka Belajar, mendidik generasi Pelajar Pancasila yang cerdas berkarakter.

Benarkah siswa-siswi harus “bahagia” dengan merayakan Kurikulum Merdeka? Kurikulum Merdeka diyakini akan membawa kebahagiaan belajar bagi peserta didik. Nuansa belajar lebih dinamis, tidak sekaku kurikulum sebelumnya. Hal itu tampak, terutama dalam mengimplementasikan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang merupakan bentuk penerjemahan tujuan pendidikan nasional. Profil Pelajar Pancasila terdiri dari enam dimensi, yaitu: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif.

Kebahagian peserta didik maupun guru dalam implementasi Kurikulum Merdeka, sebenarnya hanyalah penampakan semu. Sebab yang dibutuhkan rakyat bukanlah sekadar pembelajaran yang membahagiakan. Kurikulum ini hanya berfokus pada materi esensial, yakni literasi dan numerasi yang selama ini menjadi acuan penilaian PISA (Programme for International Student Assessment). 

Nadiem Makarim menyatakan arah kebijakan Merdeka Belajar juga mengacu pada hasil pemeringkatan internasional PISA yang rendah. Bahkan, ia berani mengatakan bahwa kepemimpinannya dapat dikatakan sukses apabila skor PISA meningkat. Ia berpendapat naiknya skor PISA menjadi salah satu tolok ukur dalam upaya transformasi sistem pendidikan Indonesia. 

Jika hasilnya baik dan negara tersebut mampu berada di level atas, negara tersebut dianggap sebagai negara dengan standar pendidikan yang sesuai kebutuhan pasar internasional. Sebaliknya, jika negara tersebut memperoleh hasil di bawah rata-rata dan menempati level bawah, dianggap memiliki kualitas pendidikan di bawah standar kebutuhan pasar global dan dituntut untuk segera membenahi sistem pendidikan nasionalnya. 

Penghargaan bagi para guru tidak sekadar dengan mengadakan Hari Guru. Negara juga tidak akan membiarkan gelar ‘pahlawan tanpa tanda jasa’, melainkan akan memuliakan dan memberikan gaji yang senilai dengan kerjanya. Kasus banyaknya Guru Honorer yang gajinya sangat minim, menunjukkan bahwa penguasa tidak peduli dengan kebahagiaan guru.

Begitu pun hak asasi guru, banyak guru yang terkena kasus hukum padahal dia sedang melaksanakan tugas mendidiknya. Sedangkan dari sisi administrasi, guru justru paling sibuk. Waktunya habis untuk menyelesaikan hal-hal yang berbau administrasi daripada aktivitas mendidik para generasi.

Selanjutnya, semakin panjang potret rusaknya generasi sekuler akibat menerapkan kurikulum Merdeka Belajar juga menjadi tamparan dalam dunia pendidikan negeri ini. Banyaknya kasus pergaulan bebas hingga menyebabkan tingginya angka pernikahan dini bahkan aborsi menjadi salah satu indikasi kerusakan tersebut. Belum lagi tawuran, gangster, bullying, dan lain sebagainya menambah semrawutnya persoalan generasi. Lantas apa yang perlu dirayakan? Bagaimana bisa bahagia dengan kondisi kerusakan generasi yang semakin menjadi?

Inilah hasil dari penerapan sistem pendidikan sekuler. Kurikulum yang dijalankan hanya berfokus pada dinamisasi cara belajar-mengajar, sedangkan substansi dari pendidikan itu sendiri masih saja melanjutkan kurikulum sebelumnya yakni berlandaskan sekularisme. Justru indikasi nafas liberalnya lebih kental karena mengarahkan generasi untuk semakin jauh dari nilai-nilai Islam.  

Sebagaimana poin ke empat dari enam dimensi Profil Pelajar Pancasila, yaitu berkebinekaan global. Ada indikasi kuat mengarahkan generasi agar memiliki pemikiran terbuka dalam menerima kebudayaan lain di kancah global. Ini sangat berbahaya karena kita juga memahami bahwa sumber berbagai macam kerusakan atas generasi ini justru karena negeri ini membuka pintu lebar-lebar terhadap budaya Barat. Hingga akhirnya generasi mengekor budaya-budaya liberal semacam pergaulan bebas, racun feminisme, kekerasan, dan lain sebagainya.

Standar pendidikan yang berasas kapitalis selalu berdasarkan kepentingan kapital, sehingga tidak benar-benar memperhatikan kepentingan pembangunan generasi ke arah yang lebih baik. Sistem pendidikan semacam ini hanya akan fokus menghasilkan lulusan siap kerja dan dapat memenuhi kebutuhan industri.

Hal ini sungguh sangat berbeda dengan konsep pendidikan dalam Islam. Standarisasi pendidikan dalam Islam sangat jelas; tertuang dalam asas dan tujuan pendidikan yang wajib diimplementasikan melalui metode yang sesuai syariat, yakni lahirnya sumber daya manusia unggul yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan agar dapat mengelola negeri ini dengan aturan Allah. Inilah yang akan mengantarkan negeri ini maju dalam berbagai bidang.

Sistem pendidikan Islam telah membuktikan keunggulannya. Hal ini telah dinyatakan dalam sejarah dalam peradaban Islam yang tegak selama belasan abad pada saat manusia di belahan lain hidup dalam abad kegelapan ilmu dan peradaban. Islam pernah berjaya dan menjadi kiblat peradaban dunia, tentu dengan kualitas pendidikan yang tak diragukan. 

Sistem pendidikan Islam juga sangat memuliakan guru dengan memberikan gaji  yang senilai dengan kerjanya. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, misalnya, gaji guru mencapai 15 dinar (1 dinar setara 4,25 gram emas). Jadi, guru pun akan berupaya sebaik mungkin untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan menjalankan amanahnya dengan baik. Dengan konsep seperti inilah, kebahagiaan hakiki pada dunia pendidikan benar-benar dirasakan oleh masyarakat khususnya bagi guru dan generasi. Wallahu'alambissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan