Sebuah Fragmen
![]() |
🖤 Admin MKM |
Suara mereka mendengung seperti lalat hijau, kadang berbisik ketika infonya dirasa rahasia kemudian memasang muka prihatin dan tak lama tawa-tawa pun berderai. Tapi anehnya keadaan langsung hening saat jarak Wina hanya beberapa langkah lagi.
CERPEN
Oleh Sophia
MKM, CERPEN_"Orang-orang sudah mulai sibuk ghibahin kamu, di warung Bu Jejen, di teras rumah Mak Laili, kemaren juga waktu rewangan di hajatan Bu Dewi." Itu kalimat yang Wina dengar dari ibunya saat baru pulang entah dari mana.
"Biar lah, Bu," jawab Wina malas.
"Awalnya Ibu ya gak menanggapi, tapi lama-lama Ibu risih, Win!"
"Terus Ibu maunya Wina gimana?! Apa Wina harus ke sana mengemis-ngemis seperti dulu hanya untuk pulang dengan tangan kosong?" seru Wina dengan nada tinggi.
Bukan ... bukan maksud Wina membentak sang ibu, hanya saja dia sudah lelah mendapat tekanan dari segala arah. Bukan ini yang dia inginkan, bukan seperti ini hidup yang dia impikan.
Dia pulang berharap mendapat dukungan dari keluarganya, hanya itu. Tapi seperti pungguk merindukan bulan, bahkan ibunya terlihat tak rela dengan kepulangannya ke rumah.
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Wina segera beranjak masuk ke kamar. Ia takut emosi akan sepenuhnya menguasai diri dan ia akan bertindak durhaka.
Tak terbendung lagi air mata mengaliri wajahnya, ditahannya isak tangis agar tak terdengar keluar. Ia tak mau menambah beban sang ibu lagi. Ia tahu kepulangannya saja sudah menjadi beban tersendiri. Ia sadar mulut-mulut orang di desanya masih begitu primitif, yang begitu mudahnya memakan bangkai saudaranya sendiri. Keingintahuan akan urusan orang lain yang menimbulkan dugaan-dugaan tak berdasar.
Bukan Wina tak tahu bahwa dirinya telah menjadi santapan empuk warga di desanya, kemarin saat ia akan berbelanja ke warung Bu Jejen, dilihatnya sekelompok ibu-ibu yang sedang asik bergunjing sambil mengemil kuaci.
Suara mereka mendengung seperti lalat hijau, kadang berbisik ketika infonya dirasa rahasia kemudian memasang muka prihatin dan tak lama tawa-tawa pun berderai. Tapi anehnya keadaan langsung hening saat jarak Wina hanya beberapa langkah lagi.
"Belanja, Win?" tanya Bu Yati berbasa-basi. Alis runcing dan bibir merahnya amat menyakitkan mata menurut Wina.
"Kok anak-anak ga ikut pulang, Win. Neneknya pasti kangen loh sama cucu-cucunya," sela Bu Gandhi yang disetujui peserta ghibah lainnya.
Ingin rasanya Wina putar arah, tapi ia membutuhkan barang yang hendak dibelinya. Dengan segera dia menyelesaikan transaksi dan hanya memberi jawaban berupa senyuman pada mereka yang bertanya basi basi busuk itu.
Setelah Wina agak jauh, dengungan lalat hijau itu kembali terdengar, makin riuh. Di belakang punggung Wina yang sedang menahan sesak.
Dibukanya galeri hp, menatap foto sang buah hati. Hanya itu penawar yang Wina punya untuk mengobati rindu pada anak-anaknya.
Ibu mana yang tega meninggalkan anak-anaknya begitu saja, Wina terpaksa melakukannya, sungguh.Apalagi si bungsu yang baru 2 tahun, begitu lucu dan pintar.
"Allah ...." Wina makin meratap. Ia sungguh merindukan anak-anaknya.
Kadang dia menyesali keputusannya, tapi kadang dia meyakinkan diri bahwa apa yang sudah terjadi memang takdirnya. Dia hanya perlu menjalaninya dengan sabar.
Sudah hampir 6 bulan Wina pulang ke rumah ibunya, hanya ibunya karena ayah Wina sudah meninggal sedari dia kecil.
Kepulangan yang menimbulkan tanda tanya pada ibu dan keluarga besarnya yang lain, karena ia pulang hanya seorang diri. Tanpa suami dan ketiga anaknya.
Di hari ke empat barulah Wina menceritakan semua kepada ibunya. Tentang ia yang sudah di talak tiga oleh suaminya, tentang ia yang tak diizinkan membawa anak-anaknya.
Wina pasrah, pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi antara ia dan suaminya tak pernah berakhir damai, diawali dengan jatuhnya talak dari sang suami yang kemudian masih bisa mereka dinginkan dan rujuk kembali. Kemudian terulang kembali hingga jatuhlah talak tiga untuk Wina. Ditalak saja sudah mengoyak hati, ditambah anak-anak tak diizinkan ikut dengannya.
Tiga bulan yang lalu Wina mendatangi rumah mertuanya di mana ia dulu tinggal bersama suami dan anak-anaknya. Ibu mertuanya hanya mengizinkan Wina bertemu anaknya tapi tetap melarang membawa mereka pergi. Jarak yang cukup jauh sudah Wina tempuh dengan hasil nihil. Mantan suaminya tetap tidak mau mengurus perceraian mereka ke pengadilan, menyembunyikan surat nikah mereka, sehingga wina tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah enam bulan berlalu, permasalahan Wina tetap tak ada kemajuan, ia tidak mengerti apa yang diinginkan mantan suaminya itu. Tega menyiksanya dalam kerinduan terhadap anak-anak, dan menggantung statusnya dalam perceraian.
"Bu, besok Wina mau ke tempat Mba Sarah, katanya di sana ada pekerjaan." Pagi itu Wina segera memberitahu sang ibu akan rencananya. Memulai hidup baru, setelahnya Wina langsung kembali ke dalam kamarnya untuk berkemas, dia tak mengharapkan tanggapan apa pun dari ibunya.
Cukuplah dengan kepergiannya, ia berharap beban ibunya sedikit berkurang. Ia akan bekerja, membiayai hidupnya sendiri, menabung untuk anak-anaknya dan sedikit membantu kebutuhan sang ibu.
Masalah perceraiannya yang hanya sah di mata agama, biarlah dia lupakan sejenak. Toh tidak terbersit dipikirannya untuk menikah kembali. Mungkin suatu saat nanti si mantan suami akan lelah sendiri, pada akhirnya dia membutuhkan surat cerai jika akan menikah lagi.
Dan masalah anak-anak, Wina menitipkannya pada Allah sang Pemilik, melalui doa-doa yang selalu ia panjatkan, berharap suatu hari nanti mantan suaminya akan mengijinkan Wina membawa anak mereka. Saat ini Wina harus puas hanya memandangi foto mereka dan sesekali menghubungi melalui video call.
Setahun sudah Wina menjalani hari-harinya sebagai karyawan sebuah pabrik sepatu. Aktivitasnya hanya pabrik dan kos-kosan.
Seperti biasa ba'da ashar ia baru pulang ke kos, dirasakannya getar ponsel dari dalam tas, sebuah notifikasi WA dari seseorang membuatnya tergugu dalam tangis.
'Aku sudah mendaftarkan gugatan cerai kita, hak asuh anak akan kita bicarakan di pengadilan.'
Selesai
Komentar
Posting Komentar