Berantas Korupsi di Tengah Kapitalisme?
![]() |
🖤 Admin MKM |
Sekularisme yang nyata-nyata memisahkan agama dari kehidupan berhasil membuat manusia lupa dengan amanahnya. Yaitu, amanah menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia, akan tetapi mereka justru menyejahterakan dirinya sendiri.
OPINI
Oleh Rati Suharjo
Pegiat Literasi AMK
MKM, OPINI_Sembilan Desember adalah momentum peringatan Hari Korupsi Sedunia. Tujuannya untuk menyadarkan seluruh masyarakat agar tidak melakukan tindak kejahatan korupsi. Peringatan hari korupsi tahun ini dihadiri oleh Presiden Joko Widodo, dengan mengusung tema "Sinergi Berantas Korupsi Untuk Negara Maju".
Sayangnya, Hari Korupsi yang menjadi rutinitas tahunan tersebut tak ubahnya hanya sebuah seremonial semata, belum membuahkan hasil yang nyata. Pasalnya, angka korupsi di negeri ini selalu mengalami peningkatan, baik yang dilakukan secara individu maupun kelompok.
Berdasarkan data ICW, (21/3/2023), sepanjang tahun 2022 ada 579 kasus korupsi. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan tahun sebelumnya yakni sebanyak 533 kasus. Peningkatan kasus kriminal tersebut tentunya harus segera dihentikan. Pasalnya, di bidang ekonomi, kesehatan, dan infrastruktur akan terganggu atau berjalan lambat. Korupsi juga akan merugikan rakyat, sebab selama ini mayoritas dana negara berasal dari rakyat (pajak). Jika hal ini dibiarkan, maka lambat laun penarikan pajak akan semakin dinaikan.
Di sisi lain, pada lembaga anti korupsi yaitu KPK justru terjadi kasus yang menghebohkan publik. Ketua KPK, Firli Bahuri yang kini telah dinonaktifkan, ditetapkan sebagai tersangka karena tersandung kasus korupsi. (Tirtoid.com, 9/12/2023)
Fakta ini membuktikan bahwa negeri yang berkeadilan ini seolah-olah tidak ada hukum yang membuat masyarakat takut untuk melakukan korupsi. Bahkan kebanyakan anggota legislatif sendiri yang mayoritas melakukan tindak korupsi.
Dalam aktivitasnya, lembaga legislatif kerap melakukan transaksi jual beli pasal-pasal dalam undang-undang, atau keputusan politik lain. Seperti, penetapan sebuah jabatan atau penyusunan anggaran APBN.
Untuk membuat hukum (perundang-undangan) anggota lembaga legislatif dapat melakukan negosiasi dengan pihak-pihak tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal itu dimaksudkan untuk memasukkan pasal-pasal dalam perundangan yang menguntungkan mereka. Hal ini banyak terjadi di kalangan anggota DPRD hingga DPR dan itu bisa dilakukan secara individu maupun kelompok.
Perilaku kejahatan ini tentunya, tak lepas dari kebijakan yang diterapkan di negeri ini. Sudah menjadi rahasia umum, sanksi yang dikenakan pada pelaku tidak dapat memberikan efek jera. Selain itu biaya demokrasi sangat mahal. Misalnya, dalam kampanye membutuhkan modal yang tidak sedikit. Dana tersebut bisa berasal dari dana pribadi, bisa juga berasal dari sponsor yang mendukungnya.
Dengan demikian, penerimaan dana dari sponsor atau pemodal menjadi peluang bagi terjadinya transaksi antara calon anggota legislatif yang menang dengan pemilik modal yaitu pembuatan undang-undang yang sesuai keinginan pemilik modal.
Alhasil, dari sinilah lahirnya korupsi. Sebab, selain mencari keuntungan para calon juga berupaya mengembalikan modal yang mereka keluarkan. Hal ini belumlah cukup, karena mereka juga berusaha mempersiapkan dana untuk kampanye periode berikutnya.
Sekularisme yang nyata-nyata memisahkan agama dari kehidupan berhasil membuat manusia lupa dengan amanahnya. Yaitu, amanah menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia, akan tetapi mereka justru menyejahterakan dirinya sendiri.
Fakta ini akan terus terjadi. Pasalnya biaya meraih kekuasaan amat mahal dalam sistem demokrasi. Baik untuk menjadi kepala daerah, anggota legislatif, maupun presiden. Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, calon bupati atau wali kota butuh dana Rp 20 hingga Rp 100 miliar untuk memenangkan Pilkada.
Contohnya, pada Pilkada DKI Jakarta 2012, pasangan Fauzi Bowo dan Nara mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp62,6 miliar. Sementara itu, pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Poernama mengeluarkan dana Rp16,1 miliar. Pasangan Anis Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp85,4 miliar. Sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Poernama dan Djarot Saiful Hidayat sebesar Rp82,6 miliar.
Dengan jumlah dana yang tidak sedikit itu dan demokrasi yang berasaskan Sekularisme, maka jelas memberikan peluang bagi individu untuk melakukan kecurangan, yakni korupsi. Ketika modal telah kembali mereka pun lupa dalam usaha menyejahterakan rakyatnya, sebaliknya yang mereka lakukan adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Hal tersebut akan terus dilakukan selama mereka belum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dengan demikian, bagaimana mungkin negeri ini akan maju, jika dana yang didapat dari pajak terus dikorupsi? Tentu hal ini adalah sebuah penyakit yang harus dihilangkan.
Dengan mempertahankan kebijakan kapitalisme, justru menjadikan peluang untuk berkorupsi. Untuk itu, kebijakan ini harus diganti dengan sistem yang lain, yaitu Islam.
Islam adalah agama yang paripurna. Dalam Islam kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Selain bertanggung jawab kepada manusia, kepemimpinan ini akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.
Karena itu, sejak dini masyarakat dibina untuk selalu taat kepada hukum syara di manapun berada, baik di keluarga, masyarakat, maupun negara. Akidah Islam menjadi landasan dalam berpikir dan melakukan suatu perbuatan. Ketika menghadapi masalah yang tidak terpecahkan, maka Islam menjadi solusi atas permasalahan tersebut.
Kendati demikian, pemberantasan korupsi hanya akan terwujud jika kepemimpinan menerapkan Islam kafah yang berideologi Islam. Pemimpin atau Khalifah dipilih masyarakat hanya untuk menjalankan syari'at Islam, maka syarat utama seorang pemimpin selain profesional adalah yang bertakwa. Dia akan menjalankan kepemimpinannya selalu merasa ma'yatullah yaitu merasa diawasi oleh Allah Swt. dalam melakukan setiap perbuatan.
Seorang pemimpin dalam Islam juga paham bahwa politik dalam Islam adalah melayani rakyatnya. Hal itu akan dilakukan semaksimal mungkin dalam melayani rakyatnya bukan politik untuk meraih kekuasaan semata dan memperkaya diri, serta tunduk kepada pemilik modal atau oligarki.
Hukuman yang diberikan kepada tersangka korupsi pun, dapat memberikan efek jera baik pada pelaku maupun pada masyarakat. Pasalnya sanksi yang diberikan itu dipublikasikan, disita hartanya, diasingkan, atau dicambuk hingga mati.
Begitulah hukum ta'zir di dalam Islam. Ta'zir adalah sanksi yang diberikan oleh Khalifah kepada tersangka yang berbeda-beda bentuknya dari setiap Khalifah.
Sebagaimana yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Abu Bakar Sidiq, atau Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Di masa Khalifah Umar bin Khattab, harta pegawai dan pejabat dicatat. Jika ada kelebihan harta yang tidak wajar, rakyat wajib membuktikan hartanya diperoleh secara legal atau ilegal. Jumlah harta yang tidak bisa dibuktikan, bisa disita seluruhnya atau sebagian dimasukkan ke baitulmal. Sebagai bagian dari ta'zir maka bentuk dan kadar sanksi atas tindak korupsi diberikan kepada ijtihad Khalifah atau Qadhi. Bisa disita seperti yang dilakukan Khalifah Umar yakni tasyir (diekspos), penjara atau hukuman mati. Dengan mempertimbangkan seberapa banyak kerugian terhadap negara dan dhararnya bagi masyarakat.
Begitu juga pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sanksi koruptor adalah dijilid atau ditahan dalam waktu yang lama. (mushannaf Ibn Aby Syaibah, V/528)
Hukuman ta'zir ini, berdasarkan (QS. Ali Imran [3]: 161)
"Barang siapa berkhianat, dalam urusan apa pun, niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa dosa apa yang dikhianatinya."
Begitu juga hadis Rasulullah saw. menjelaskan "Siapa dari kalian kami pekerjakan lalu ia menyembunyikan sebatang jarum atau lebih, maka itu ghulul yang ia bawa di akhirat." (HR. Muslim dan Abu Daud)
Sanksi-sanksi ini tidak akan bisa tegak jika penerapan kebijakan bukan sistem Khilafah atau sistem Islam dalam bingkai Daulah Islamiyah.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar