Infrastruktur Pendidikan Belum Merata, Salah Siapa?
![]() |
❤ Admin MKM |
Urusan pendidikan ini, satu di antaranya adalah meratanya kualitas dan kuantitas dari infrastrukturnya, bukan hanya tugas lembaga tertentu saja, melainkan PR bagi semua komponen negara. Di mana, tentu tanggung jawab utama berada di pundak pemimpin tertinggi negara.
OPINI
Oleh Yuliyati Sambas
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
MKM, Opini_Dalam salah satu kunjungan kerja, Presiden Joko Widodo memberi kritikan pedas untuk Kementerian Pendidikan Indonesia. Terkait infrastruktur pendidikan yang belum merata khususnya di wilayah pedalaman.
CNN Indonesia (25/11/2023) melansir ucapan Presiden di saat perayaan Hari Guru Nasional bersamaan dengan HUT PGRI ke-78, "Saya bandingkan dengan SMK yang ada di kota, memang gap-nya sarana prasarana sangat jauh berbeda, dan itu tugasnya Menteri Pendidikan," tegasnya.
Menjadi pertanyaan, benarkah pemerataan infrastruktur pendidikan hanya tugas Kementerian Pendidikan? Selanjutnya kenapa kondisi timpangnya infrastruktur pendidikan hingga kini masih ada?
PR Besar Negara
Pemerataan infrastruktur pendidikan adalah bagian dari persoalan yang butuh untuk diwujudkan. Pemerataan dari sisi kuantitas pun kualitasnya. Hal ini dikarenakan infrastruktur menjadi salah satu pendukung dari baik buruknya kualitas pendidikan suatu bangsa. Itu pun ketika pendidikan yang berkualitas tadi bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat.
Faktanya bahwa antara setiap lembaga/kementerian itu saling berkaitan. Bagaimana mungkin Kementerian Pendidikan bisa berjalan jika tak ditopang oleh dana yang digelontorkan oleh Kementerian Keuangan. Ketika diperlukan infrastruktur, semisal pendukung pendidikan, ruas jalan, dan jembatan yang menghubungkan rumah-rumah warga dengan lokasi sekolah, tentu butuh kewenangan lembaga terkait, seperti PUPR, dan seterusnya.
Selanjutnya, bahwa Kementerian Keuangan akan menggelontorkan dana, sudah tentu menunggu persetujuan DPR. Adapun anggota-anggota parlemen terdiri dari orang-orang dengan latar belakang partai berbeda. Di mana sudah menjadi pemahaman umum, betapa setiap partai memiliki kecenderungan masing-masing terkait kepentingan yang mereka usung.
Maka bisa disimpulkan bahwa urusan pendidikan ini, satu di antaranya adalah meratanya kualitas dan kuantitas dari infrastrukturnya, bukan hanya tugas lembaga tertentu saja, melainkan PR bagi semua komponen negara. Di mana, tentu tanggung jawab utama berada di pundak pemimpin tertinggi negara.
Fakta Menyedihkan Menanti
Sementara sederet fakta menyedihkan sudah terpampang di tengah pendidikan negeri ini. Problem bangunan sekolah yang tidak representatif, jumlah kelas yang tidak memadai, ketiadaan perpustakaan, laboratorium, sarana prasarana teknologi, olahraga, dan seterusnya.
Tak sampai di situ, printilan kebutuhan berjalannya sebuah institusi sekolah pun kerap didapati di wilayah-wilayah 3T dan pedesaan sangat mengkhawatirkan. Meja kursi dengan kualitas dan kuantitas yang jauh dari cukup, kurangnya alat bantu dan peraga pendidikan di dalam kelas, hingga minimnya jumlah dan kualitas guru.
Overload kapasitas kelas menjadikan tak sedikit dari sekolah-sekolah yang menerapkan sistem shift (bergantian). Tidak representatifnya bangunan sekolah kerap menjadi persoalan serius, bukan sekadar mengancam kondusifitas pembelajaran, tapi sudah sampai keselamatan, bahkan nyawa dari peserta didik maupun guru. Kisah miris berupa kelas bocor dan kebanjiran di saat musim hujan, atau kebat-kebitnya hati harus melaksanakan KBM di dalam ruangan kelas yang sudah reyot dan berpotensi ambruk.
Keadaan itu terjadi sudah lama. Realitasnya hingga kini, rezim beserta menteri silih berganti, beragam program dan kebijakan terus diluncurkan. Namun timpangnya pendidikan, termasuk infrastrukturnya masih menjadi problem yang sulit untuk diselesaikan dengan tuntas.
Berkelindan dengan Sistem Pendidikan dan Pemerintahan
Di samping itu, urusan infrastruktur pendidikan juga berkelindan dengan sistem pendidikan secara umum. Bahkan berkaitan dengan sistem pemerintahan apa yang dianut di negara tersebut.
Lebih jauh bahwa kualitas pendidikan tentu tidak hanya diukur dari ketersediaan infrastruktur pendidikan semata. Mulai dari sisi kurikulum yang mantap dan matang, tersedianya guru-guru dan pelaksana pendidikan, hingga aksesibilitas atas pendidikan itu sendiri.
Dari semua persoalan yang membelit dunia pendidikan, akan didapati betapa akar persoalannya adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme sekuler di negeri ini. Paradigma kapitalisme, penyelenggaraan pendidikan adalah satu di antara poin-poin urusan rakyat lainnya yang diatur melalui mekanisme investasi. Jikapun disediakan anggaran untuk pendidikan, maka porsinya jauh dari kata cukup. Terlebih untuk menjangkau anak bangsa di berbagai wilayah Indonesia.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dijadikan sebagai mekanisme negara dalam 'membiayai' berjalannya urusan pengajaran di sekolah. Dari penamaan saja, diksi 'bantuan' itu berarti suatu posisi di mana negara tidak mengambil peran secara menyeluruh dalam urusan pembiayaan. Namun hanya 'membantu'. Selebihnya, lembaga sekolah wajib 'memutar otak', agar pembiayaan seluruh operasional bisa berjalan sebagaimana mestinya. Alih-alih pendidikan bisa diakses secara gratis, pada akhirnya 'beban pembiayaan' dikembalikan kepada pihak orang tua siswa dalam beragam program.
Tak mengherankan ketika infrastruktur di wilayah 3T menjadi tidak menarik untuk dilirik. Sebab mekanisme investasi basisnya adalah bisnis dan pencapaiannya berupa untung rugi.
Dari sisi pendanaan yang tidak bisa menjamin penuh terselenggaranya urusan pendidikan, termasuk infrastrukturnya. Hal ini karena kas negara tidak memiliki pos-pos pemasukan melimpah. Sebab sistem ekonomi kapitalisme mengamanatkan kepemilikan harta bersifat bebas. Sehingga lumbung-lumbung harta kekayaan alam yang luar biasa jumlahnya, dikuasai oleh segelintir orang (pemodal).
Ditambah dengan prinsip sekularisme yang menjauhkan pengaturan agama dari ranah kehidupan dan bernegara. Maka ketidakadilan yang menjelma dalam bentuk ketimpangan fasilitas urusan pendidikan, tak dirasa sebagai sebuah kelalaian penguasa atas amanah yang diemban.
Jaminan Negara atas Pendidikan
Gagalnya sistem kapitalisme dalam menjamin pendidikan bagi rakyatnya, sangat berbanding terbalik dengan sistem Islam. Islam memandang bahwa jaminan atas semua urusan rakyat termasuk pendidikan adalah tugas negara. Mulai dari pihak yang menyediakan hingga menyelenggarakan pendidikan.
Maka menjadi kewajiban negara untuk menyediakan infrastruktur pendidikan yang representatif dan memadai. Ini didasarkan atas sabda Rasullullah saw. yang menyebut bahwa, "negara atau penguasa adalah penanggung jawab bagi setiap urusan rakyatnya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun urusan pendanaan, maka Islam memiliki mekanisme sistem ekonomi yang khas. Di antaranya mengatur urusan kepemilikan harta yang bersandar pada hukum syarak. Hukum syarak mengamanatkan bahwa terdapat 3 jenis harta kekayaan, yaitu milik negara, publik, dan individu (HR. Abu Dawud).
Terkait dengan kepemilikan publik maka rakyatlah yang berdaulat atas pemanfaatan hasilnya. SDA yang terkandung di dalam dan di permukaan bumi, termasuk yang ada di perairan dan lautan adalah harta milik umum. Di mana pemanfaatannya dikelola negara. Hasilnya diberikan untuk membiayai semua urusan rakyat, tak terkecuali perkara pendidikan dan infrastrukturnya.
Dengan mekanisme tersebut, akan didapati aksesibilitas rakyat atas megahnya infrastruktur dan sistem pendidikan yang unggul. Dalam sistem Islam dikisahkan dengan sejarah tinta emas. Semua anak-anak dapat mengenyam pendidikan yang berkualitas dan disediakan oleh negara. Sehingga lahirlah para ilmuwan dan ulama yang hebat.
Seperti, Ibnu Khaldun di bidang sejarah, Ibnu Sina sebagai ahli kedokteran, dan Al-Khawarizmi sebagai ahli matematika serta penemu angka nol. Bahkan tak sedikit para ilmuwan muslim di era sistem Islam yang memiliki kemampuan polymath. Satu di antaranya adalah Ibnu Rusyd. Ia menguasai ilmu kedokteran, fisika, astronomi, linguistik, filsafat, dan bidang keilmuan lainnya.
Generasi yang terbekali dengan ilmu pengetahuan, teknologi, maupun ilmu agama tersebut adalah hasil dari diterapkannya sistem Islam yang menyeluruh. Dengannya, maka problem timpangnya infrastruktur pendidikan tak akan didapati dalam sistem Islam. Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar