Stunting Bikin Pontang-panting

 

🖤 Admin MKM 

Stunting menjadi PR besar yang harus segera dirampungkan. Jika tidak, pemerintah akan kehilangan potensi berupa kualitas generasi yang dapat diandalkan untuk berkontribusi dalam kemajuan negara. Maka tidak berlebihan jika negara harus pontang-panting demi tercapainya target. Namun yang menjadi pertanyaan, mampukah pemerintah menggapai target yang telah ditetapkan tersebut? Sementara waktu yang tersisa hanya satu tahun untuk menurunkan 7,6%.


OPINI 


Oleh Elfia Prihastuti, S.Pd.

Praktisi Pendidikan


MKM, OPINI_Stunting, masalah kekurangan gizi ini masih menjadi bola panas yang terus menggelinding dan tak mudah dihentikan. Meski pemerintah mengklaim bahwa prevalensi stunting Indonesia telah menunjukkan perbaikan yang signifikan, akan tetapi persoalan ini masih menjadi sorotan banyak pihak. Untuk itu, upaya percepatan penurunan stunting terus digenjot oleh pemerintah, yang kini berada di penghujung masa kekuasaannya.

Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2022 mencapai 21,6%. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan tahun 2021, sebesar 24,4%. Sementara target yang ingin dicapai sebesar 14% pada tahun 2024. Tak pelak lagi, waktu yang singkat dalam upaya mengejar target 14% menuai sorotan banyak pihak.

Salah satu kritik datang dari Rahmad Handoyo, seorang anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad memandang bahwa, penanganan stunting di Indonesia belum optimal. Ia menyarankan agar pemerintah melibatkan masyarakat melalui swakelola seperti, menggunakan pendekatan, melibatkan pemberdayaan ibu-ibu PKK, posyandu, dan pemerintah desa. (Beritasatu.com, 1/12/2023)

Hasbullah Thabrany, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menduga adanya indikasi penyelewengan dana penanganan stunting (kekurangan gizi pada anak) di tingkat daerah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sebelumnya mencatat bahwa dana stunting di suatu daerah ada yang digunakan untuk keperluan rapat dan perjalanan dinas. (Bersatu.com, 1/12/2023)

Mengapa Digenjot?

Kementerian Kesehatan (Kemenkes), mendefinisikan stunting atau tengkes adalah kondisi gagal tumbuh pada anak di bawah usia lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Target untuk meraih 14% pada akhir tahun 2024, memiliki waktu yang terbatas. Berarti masih ada 7,6% angka penurunan lagi yang harus digenjot.

Percepatan penurunan prevalensi stunting demi mengejar target Indonesia Emas 2045. Apalagi Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi pada tahun 2030, sehingga generasi muda yang sehat menjadi faktor utama untuk memastikan terwujudnya target tersebut.

Tentu saja berdasarkan fakta di atas stunting menjadi PR besar yang harus segera dirampungkan. Jika tidak, pemerintah akan kehilangan potensi berupa kualitas generasi yang dapat diandalkan untuk berkontribusi dalam kemajuan negara. Maka tidak berlebihan jika negara harus pontang-panting demi tercapainya target. Namun yang menjadi pertanyaan, mampukah pemerintah menggapai target yang telah ditetapkan tersebut? Sementara waktu yang tersisa hanya satu tahun untuk menurunkan 7,6%.

Apa Tindakan Pemerintah?

Secara kasat mata, sejatinya banyak hal yang telah dilakukan pemerintah. Melalui Kementerian Kesehatan, upaya telah dilakukan untuk mengatasi stunting, yakni pada saat sebelum dan sesudah kelahiran anak. Sebelum kelahiran bayi, berupa pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri dan ibu hamil, pemberian makanan bergizi bagi ibu hamil, peningkatan pelayanan konsultasi dan pemeriksaan kehamilan bagi ibu hamil dari empat kali menjadi enam kali, dan melengkapi seluruh puskesmas dengan peralatan USG agar dapat memantau perkembangan janin.

Selain itu, memotivasi para ibu agar dapat memberikan ASI eksklusif untuk bayi, mengedukasi kecukupan gizi untuk makanan pendamping ASI, terutama protein hewani, dan melengkapi alat pengukur berat dan tinggi balita di seluruh desa untuk memantau perkembangan dan pertumbuhannya, serta pemberian imunisasi lengkap kepada bayi sejak.kelahirannya.

Persoalan stunting ternyata tidak hanya persoalan kurang gizi semata, akan tetapi lebih dari itu. Masalah stunting juga berkelindan dengan kemampuan keluarga dalam memenuhi asupan gizi. Jika kita detili fakta di negeri ini, banyak keluarga hidup di bawah garis kemiskinan. Jangankan untuk memenuhi asupan gizi, membeli beras saja, kantong sudah kembang kempis.

Untuk itu, pemerintah juga mengambil terobosan, di antaranya melakukan pemberdayaan ekonomi perempuan melalui program UMKM. Endingnya ternyata justru menimbulkan masalah baru. Misalnya, bantuan yang diberikan pemerintah berupa fasilitas dan sarana untuk mengembangkan ekonomi tidak dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan. Aktivitas UMKM, juga hanya berkutat pada orang-orang yang memiliki modal dan punya kemampuan. Fakta yang ada cukup menjelaskan bahwa program ini pun tidak dapat dikatakan berhasil.

Di samping itu, pemerintah juga telah menggelontorkan 5,6% dari APBN 2024 atau sekitar Rp186,4 triliun untuk anggaran kesehatan. Angka ini naik 8,1% atau Rp13,9 triliun dibanding APBN 2023 dan terus mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir. Penurunan stunting merupakan salah satu prioritas dari penggunaan anggaran tersebut. Sayangnya, upaya ini juga kembali menuai masalah. Anggaran ini justru kerap tidak tepat sasaran. Para kepala daerah justru mengalokasikan anggaran penurunan stunting tersebut untuk rapat dan perjalanan dinas.

Akankah Persoalan Stunting Teratasi?

Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah ternyata banyak menuai masalah. Tampak tidak cukup ampuh dalam menyelesaikan permasalahan stunting di negeri ini. Rakyat tampaknya harus berhenti berharap bagi terselesaikannya masalah stunting. Padahal negeri ini merupakan negeri yang kaya. Namun kenyataannya, menyelesaikan persoalan gizi buruk, bagaikan seseorang yang tersesat di hutan, berputar-putar mencari jalan keluar tapi tak kunjung menemukannya.

Tidak dapat dimungkiri masalah stunting berkelindan dengan masalah kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Indonesia pada September tahun 2022 tercatat sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Angka ini mengalami peningkatan dibanding bulan Maret 2022.

Persoalan kemiskinan adalah persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh sistem hari ini, yakni sistem kapitalisme. Ini karena sistem kapitalisme lahir dari lemahnya akal manusia. Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani menjelaskan dalam kitab Nidzamul Islam, bahwa kapitalisme mendukung kebebasan manusia, salah satunya adalah kebebasan hak milik.

Berangkat dari sistem ekonomi tentang kebebasan hak milik ini maka kekayaan alam diserahkan pada pihak asing atau Aseng atau swasta. Padahal kekayaan tersebut seharusnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Namun sistem kapitalisme telah menjadikan kekayaan hanya dinikmati oleh sekelompok elit saja. Sementara saat ini kebutuhan dasar menjadi kebutuhan yang amat mahal harganya. Sebab hubungan rakyat dan penguasa layaknya hubungan bisnis. 

Kesehatan, pendidikan dan keamanan serta kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan menjadi barang mewah. Semua itu hanya bisa diakses oleh mereka yang berduit. Maka bagi rakyat yang tidak memiliki kekuatan dan kekayaan akan menemui hambatan memenuhi kebutuhan dasarnya. Jelaslah bahwa sistem kapitalisme tidak akan mampu menyelesaikan persoalan gizi buruk dan stunting.

Islam Menyelesaikan Persoalan Stunting

Pemerintahan Islam (Khilafah) bukanlah pemerintahan yang abai. Khilafah merupakan negara peri'ayah (pengurus) rakyat. Untuk itu negara akan mengurus rakyat dengan optimal dan upaya terbaik. Jika ada masalah yang menimpa nya Khilafah akan berupaya dengan keras untuk menyelesaikan secara tuntas.

Rasulullah saw. bersabda:

"... seorang Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya." (HR. Bukhari)

Untuk mengatasi kasus stunting, maka Khilafah akan memastikan setiap anak individu per individu terjamin kebutuhan gizinya. Berawal dari keluarga, Khilafah akan memastikan bahwa setiap kepala keluarga mempunyai pekerjaan sehingga mampu memenuhi kebutuhan pokoknya berikut pemenuhan gizi keluarganya. 

Untuk itu, lapangan pekerjaan akan disediakan seluas-luasnya agar bisa diakses dengan mudah. Hal ini bisa diperoleh dari sektor kepemilikan umum. Karena dalam sektor ini akan dibutuhkan banyak tenaga ahli dan tenaga terampil. Termasuk juga pada sektor industri, pertanian, perdagangan, dan lainnya.

Sementara itu, penyediaan bahan pangan yang murah dan terjangkau juga terjamin. Khilafah akan menghilangkan distorsi pasar seperti penimbunan, mafia pangan, katel, dan lainnya. Karena hal tersebut akan merusak pasar dan menjadikan harga-harga melambung tinggi. Dengan terjaminnya pangan maka anak-anak akan terpenuhi gizinya di lingkup keluarga.

Di samping itu, fasilitas pelayanan kesehatan juga disediakan secara gratis. Dengan demikian anak-anak bisa terkontrol kesehatannya dan tumbuh kembangnya dengan baik dan para ibu juga dapat melakukan konsultasi mengenai pemenuhan gizi anak-anaknya. Sebab kesehatan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh negara.

Adapun sumber dana untuk memenuhi semua kebutuhan tersebut berasal dari pos kepemilikan umum dan pos kepemilikan negara. Pos kepemilikan umum merupakan hasil pengelolaan SDA sedangkan kepemilikan negara berasal dari jiziyah, fa'i, kharaj, usur, ghanimah, dan sejenisnya. Sumber dana kedua pos tersebut amatlah besar. Lebih dari cukup untuk penyediaan kesehatan secara gratis. Demikianlah pengaturan Islam dalam masalah stunting.

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan