Alhamdulillah, Rezeki!

🖤 Admin MKM 


Tampaknya kedua remaja ini paham benar akan pentingnya menimba ilmu agama bagi masa depan mereka dan bahwa siapa yang mengejar akhirat pastilah dunia akan turut mengejarnya. Ya, mereka telah berhasil menaklukkan bisikan setan yang sempat melemahkan iman dengan hadirnya rasa lelah yang membuncah serta rasa lapar yang membuat diri seakan ingin segera menyantap lahap masakan bunda.


CERPEN 


Oleh Arda Sya'roni 

Pegiat Literasi



MKM, CERPEN_Eza dan Insan, dua orang remaja biasa yang terlahir dari keluarga biasa. Bukanlah anak alim ulama, bukan pula anak sultan apalagi anak seorang raja. Dua orang remaja ini adalah pelajar SMP negeri dan aktif dalam kepengurusan OSIS di sekolahnya. Sama-sama terlahir sebagai putra sulung menambah jiwa pejuang dan pemimpin telah melekat di diri mereka.

Seperti layaknya pelajar SMP masa kini, mereka pun menggenggam gawai di tangan, bermain dan bersenda gurau dengan kawan-kawannya meski tenaga dan pikiran banyak mereka tumpahkan dalam kreativitas untuk disalurkan lewat kepengurusan OSIS yang digeluti. Namun, yang membuat mereka tak biasa adalah karena mereka aktif pula mengikuti kajian-kajian islami. Tak hanya kajian khusus untuk remaja bahkan terkadang turut pula menghadiri kajian bapak-bapak. Mereka tak canggung harus berbaur dengan bapak-bapak yang bisa dibilang gak level banget dengan mereka yang masih bau kencur. Bukankah dunia mereka sudah berbeda? Sungguh sebuah fenomena yang jarang terlihat saat ini. Kala teman-teman sebayanya disibukkan oleh aplikasi-aplikasi ngehits zaman now, selfie narsis agar selalu eksis, berbagai challenge unfaedah, game-game online yang perlahan menggerus akidah bahkan beberapa sudah berani bermain api dengan cinta yang tak patut. 

Hingga pada suatu hari mereka dihadapkan pada sebuah dilema. Di hari Minggu saat waktu bersantai telah diimpikan sejak awal pekan, mereka harus melepaskannya demi sebuah amanah dan sebuah kewajiban. 

Pagi itu pada hari Jumat saat berada di kelas masing-masing, gawai mereka berdua berbunyi menandakan sebuah pesan WA masuk. Rupanya itu WA dari salah seorang guru pembimbing OSIS. Disampaikannya sebuah info bahwa pada hari Minggu ini seluruh pengurus OSIS diwajibkan hadir di sekolah untuk kerja bakti berbenah dan menghias sekolah untuk menyambut pertemuan guru-guru SMP se-Sidoarjo yang akan dilaksanakan hari Senin. Pada saat bersamaan WA grup kajian pun berbunyi menginformasikan akan ada kajian di hari Minggu pukul 2 siang. Ya, selain sebagai pengurus OSIS mereka berdua juga aktif dalam komunitas pengajian yang sangat membantu mereka berdua untuk berpikir mustanir dan melek politik.

“Lho, Mas, kita ada kajian hari Minggu, gimana yo Mas, kan kita ada kerja bakti di sekolah?” tanya Insan si adik kelas.

“Ya udah gapapa ntar kita langsung lanjut aja, toh lokasinya masih dekat dengan sekolah," jawab Eza si kakak kelas.

“Berarti bawa baju ganti juga yo, Mas?” tanya Insan. 

“Ya iyalah masak ngaji pake baju kotor, kecut lagi kena keringat," ujar Eza.

“Hehehehe ....” cengir Insan.

Dan hari Minggu pun tiba. Setelah sarapan pada pukul 7 pagi, mereka berdua berangkat ke sekolah dengan sepeda onthel yang jaraknya sekitar 4km. Tiba di sekolah beragam aktivitas yang telah dijadwalkan telah menunggu untuk segera diselesaikan. Mulai membersihkan taman, menghias taman dengan berbagai kreativitas barang bekas ala remaja, mengecat, berbenah mading dan tentu saja menyiapkan perlengkapan dan menghias ruang yang akan digunakan sebagai ruang pertemuan esok hari. 

Azan Zuhur telah berkumandang, Eza dan Insan segera membereskan kegiatan hari itu, mencuci tangan, membasuh muka, ganti baju dan berwudu untuk segera menunaikan salat Zuhur berjamaah dengan kawan-kawan lainnya. Selepas salat mereka bersantai sejenak sambil berbincang-bincang membahas program kegiatan untuk penyambutan tamu esok hari. Tepat pukul satu siang mereka semua pulang ke rumah masing-masing kecuali Eza dan Insan yang masih harus menimba ilmu di majelis ilmu. Eza dan Insan pun melangkahkan kaki ke tempat parkir mengambil sepeda mereka. Disapanya dengan ramah pak satpam yang telah dengan baik hati menjaga sepeda.

“Assalamu'alaykum, Pak. Saya pulang dulu ya, Pak,” sapa Insan.

“Wa'alaykumussalam, iya hati-hati ya di jalan,” sambut pak satpam.

Dengan langkah sedikit gontai karena lelah sepeda dikayuh perlahan menuju lokasi kajian yang alhamdulillah tak terlalu jauh dari sekolah. Penat dan letih jelas tergurat di raut wajah mereka. Sang perut pun turut bersenandung lirih. Namun, tak menyurutkan langkah kaki dan semangat mereka untuk menghadiri majelis ilmu.

Tampaknya kedua remaja ini paham benar akan pentingnya menimba ilmu agama bagi masa depan mereka dan bahwa siapa yang mengejar akhirat pastilah dunia akan turut mengejarnya. Ya, mereka telah berhasil menaklukkan bisikan setan yang sempat melemahkan iman dengan hadirnya rasa lelah yang membuncah serta rasa lapar yang membuat diri seakan ingin segera menyantap lahap masakan bunda. Tepat pukul dua siang mereka tiba di lokasi pondok pesantren yang dimaksud. Acara pun segera dimulai mengingat waktu yang mulai merangkak sore. Satu jam berlalu bersama materi dakwah yang disampaikan sang ustaz, lalu break sejenak untuk melaksanakan salat Asar berjamaah, kemudian materi dakwah dilanjutkan kembali hingga tiba saat untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang mengayuh sepeda, sang perut makin nyaring bersenandung. Sejenak mereka menghentikan kayuhan sepeda mereka.

“Mas, sampean gak lapar ta? Ya Allah aku koq lapar banget yo Mas, mana rumah masih jauh lagi,” keluh Insan.

“Sama lah aku yo lapar. Capek bangetlah orang dari tadi kita kerja terus,” timpal Eza.

Uang saku yang minim (itupun merupakan sisa uang saku selama sepekan kemarin) membuat mereka bimbang mengambil keputusan. Uang Insan hanya tersisa tujuh ribu rupiah, sedang Eza mempunyai uang sepuluh ribu rupiah saja. Tampak di tepi jalan sebuah warung bakso dan mereka berdua memutuskan untuk menyantap bakso dengan asumsi semangkuk bakso lima ribu rupiah dan segelas es teh dua ribu rupiah. Cukuplah pikir mereka berdua. Tapi eh tapi asumsi tersebut rupanya tak sesuai dengan kenyataan. Tertulis di daftar menu bakso biasa delapan ribu rupiah. Mau cancel, sudah gak tahan dengan laparnya, ada rasa tak enak hati pula karena sudah php-in si bapak penjual.

“Mas duitku tujuh ribu aja lho, gak cukuplah!” ujar Insan.

“Duitku ada sepuluh ribu, bisalah tapi kita beli bakso aja gak pake

minum, gapapa kan?” jawab Eza.

“Yaudah Mas gapapa ... laparnya udah gak nahan nih,” sahut Insan.

”Oke ... siip.”

“Bakso yang biasa dua mangkok ya, Pak. Makan di sini, Pak.”

“Minumnya apa, Nak?” tanya bapak penjual bakso.

“Gak pake minum, Pak. Gak papa kan, Pak?”

“Iya ga papa.”

Tampaknya di sisi meja seberang ada seorang ibu yang memperhatikan mereka. Kemudian si ibu mendatangi si bapak penjual bakso untuk memesan dua gelas es teh dan sebungkus kerupuk. Dan ternyata dua gelas es teh dan sebungkus kerupuk itu disajikan oleh si bapak kepada Eza dan Insan. Mereka berdua pun saling berpandangan kemudian berkata, “Pak, kami  tidak pesan es teh dan kerupuk ini?” tanya Eza

”Oh, itu dari Ibu yang di sana, Nak,” jawab penjual bakso.

Bergegas mereka bangkit dari kursinya untuk mengucapkan terima kasih pada si ibu yang tengah menunggu si bapak penjual bakso membungkus pesanan miliknya.

“Terima kasih banyak ya, Bu. Jazakillah khoyr katsiiraan. Barakallah. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu dengan rezeki yang berlipat-lipat.”

“Sama-sama,” ucapnya sambil pergi meninggalkan mereka berdua karena pesanan si ibu telah selesai dibungkus.

Dilahaplah bakso dan kerupuk tersebut dengan nikmat oleh keduanya. Diteguk pulalah es teh pemberian si ibu baik hati tadi. Alhamdulillah.

Setelah habis semua mereka pun menghampiri si bapak penjual bakso untuk membayar baksonya. Lagi-lagi mereka diberi kejutan.

“Sudah dibayar koq, sama Ibu tadi.”

“Alhamdulillah!” 

Eza dan Insan pun kembali mengayuh sepeda dengan semangat empat puluh lima disertai senyuman karena telah terhapuslah letih yang bergelayut di tubuh mereka.

Sidoarjo, 22 Januari 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan