Indonesia Negara Agraris, tetapi Beras Masih Impor, kok Bisa?
![]() |
🖤Admin MKM |
OPINI
Oleh Rati Suharjo
Pegiat Literasi AMK
MKM, OPINI_"Hei Indonesiaku, tanah subur rakyat nganggur."
Kutipan lirik lagu "Hei Indonesiaku" yang dipopulerkan oleh Dhevi Geranium telah nyata terjadi di negeri ini. Di mana tanah yang subur dan dikenal negara agraris ini tidak mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya. Faktanya mayoritas kebutuhan dasar bukan hasil produksi dalam negeri.
Seperti yang dikutip oleh (cnbcindonesia.com, 2/1/2024) bahwa Bapak Presiden Joko Widodo melakukan impor beras sebanyak 3.06 juta ton. Alasannya, untuk mencapai swasembada negeri ini sulit mencapai target. Sementara penduduknya terus bertambah setiap tahun. Menurut beliau bahwa setiap tahun terdapat bayi lahir antara 4 sampai 5 juta. Jadi, ini butuh makan dan butuh beras.
Banyak alasan mengapa impor dilakukan, pasalnya dengan adanya elnino, maka produksi beras tidak mencapai target dan untuk menstabilkan harga beras di pasaran agar tidak mengalami kenaikan harga.
Kebijakan tersebut tentunya justru menimbulkan masalah baru, pasalnya bukan hanya beras saja yang impor. Akan tetapi, cabe, bawang merah, bawah putih, jagung, kedelai, gula, dan bahan-bahan pokok yang lain mayoritas berasal dari luar negeri.
Kenyataan ini jelas, bahwa kondisi negeri saat ini telah ketergantungan impor. Padahal Indonesia dikenal sebagai negeri agraris yang mayoritas penduduknya petani. Nyatanya banyak petani yang nganggur. Banyak anak-anak petani yang tidak mau meneruskan profesi bapaknya sebagai petani. Mereka lebih memilih merantau ke luar kota yang hasilnya lebih besar daripada menjadi petani. Menjadi petani tidak menjanjikan. Seperti ancaman panen menurun, gagal panen, pupuk mahal, bersaing dengan beras impor yang harganya lebih murah, ditambah lagi dalam mengelola pertanian mereka kekurangan alat teknologi.
Di sisi lain sebagian lahan-lahan pertanian saat ini beralih fungsi menjadi gedung, pabrik, dan tempat pemukiman atau perumahan. Permasalahan ini tentunya tak lepas dari kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Kapitalisme yang diagung-agungkan rakyat, nyatanya justru menyengsarakan rakyat itu sendiri. Dalam kapitalisme yang menjadi tujuan utamanya adalah asas manfaat, sehingga melahirkan pemimpin-pemimpin pragmatis. Atas nama UU investasi, para investor banjir ke negeri ini membabat habis lahan pertanian menjadi lahan pabrik, gedung, pemukiman dan yang lainnya.
Kebijakan tersebut tentu justru menimbulkan masalah baru, yaitu ketergantungan impor. Dengan adanya ketergantungan impor, maka kedaulatan negeri ini akan terhapus. Karena, ketahanan pangan saja rapuh.
Dalam Islam tanah yang subur haram dikontrakkan. Bahkan penguasa akan menghidupkan tanah-tanah mati untuk lahan pertanian. Bagi siapa saja yang mempunyai lahan selama tiga tahun dianggurkan, maka tanah tersebut akan ditarik oleh negara, dan ditawarkan kepada rakyat untuk dikelola.
Sebagaimana dalam hadis Rasulullah saw.,
"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya."(H.R At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Dengan demikian tidak ada tanah yang kosong tanpa kemaslahatan umat. Begitu juga dalam bertani negara ikut andil di dalamnya dengan cara memberikan dukungan kepada para petani. Di antaranya dukungan permodalan baik dalam bentuk pemberian. Seperti yang diberikan pada masa Khalifah Umar bin Khathab kepada para petani di Irak, atau dalam bentuk pinjaman tanpa bunga seperti pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Khilafah juga mengembangkan iklim yang kondusif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan sains dan teknologi, termasuk di bidang pertanian. Begitu juga dalam bidang infrastruktur. Banyak laboratorium dibangun, perpustakaan, dan lahan-lahan percobaan.
Semua ini ditujukan untuk memajukan pertanian. Pasalnya pertanian begitu penting untuk mempertahankan ketahanan pangan di dalam negeri. Seandainya petani mengalami panen raya, khilafah tidak melakukan tindakan ekspor, kecuali keadaan dalam negeri telah mengalami surplus.
Begitu juga dengan impor, khilafah tidak memandang aspek barangnya, akan tetapi melihat pemiliknya. Apakah barang tersebut milik kafir muahid, kafir dzimi, atau kafir harbi. di antara kafir tersebut hanya kafir harbi fi'lan saja yang dilarang untuk dibeli produknya. Pasalnya mereka menzalimi umat Islam. Seperti Amerika, Israel, Inggris, Perancis, Rusia, yang sering mengintimidasi umat Islam.
Kebijakan ini hanya akan ada, jika negara menerapkan Islam dalam bingkai Daulah Islamiyah. Sebagaimana yang telah diterapkan selama 1300 abad lamanya.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar