Ketidakpastian Hukum Keniscayaan di Negara Demokrasi
![]() |
💓 Admin MKM |
Bentuk nyata kezaliman dalam membuat hukum adalah menempatkan manusia sebagai hakim yang menetapkan hukum terkait masalah tasyri’. Inilah esensi dan fakta demokrasi. Kedaulatan di tangan rakyat. Artinya, rakyat (manusia) memiliki otoritas penuh dalam mengatur sendiri kehidupannya.
OPINI
Oleh Safiati Raharima, S.Pd
Aktivis Muslimah
MKM, Opini_Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan yang juga calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud MD menyatakan, ketidakpastian hukum merupakan salah satu alasan terjadinya kemunduran di Indonesia. Hal ini ia sampaikan saat memberikan orasi ilmiah dalam acara Wisuda Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai secara virtual, (6/1/2024).
"Kenapa di Indonesia itu terjadi kemunduran di banyak hal, misalnya investasi tidak maksimal, pembangunan ekonomi tidak maksimal, karena salah satunya itu di Indonesia terlalu banyak ketidakpastian hukum," kata Mahfud. Dikutip dari YouTube Universitas Pahlawan.
Mahfud memberi contoh bahwa saat ini banyak pengusaha yang harus melewati prosedur rumit untuk mendapatkan izin usaha, dengan adanya praktik suap agar mendapatkan izin atau investasi. Menurut Mahfud, praktik korupsi seperti itu menciptakan ketidakpastian karena pejabat dapat memberikan izin kepada orang lain untuk objek yang sudah diberikan izin kepada orang lain. (Kompas.com)
Kondisi ketidakpastian hukum yang terjadi nyatanya menjadi niscaya di negara demokrasi yang menerapkan sistem sekularisme. Jika kita lihat, pemerintah membuat regulasi yang memfasilitasi para investor. Seperti yang disampaikan Pada Konferensi Tenurial Oktober tahun lalu, Erasmus Cahyadi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, “Pemerintah justru melahirkan berbagai regulasi yang bertujuan memfasilitasi investasi dan segelintir kelompok elite bisnis dan elite politik. Mulai dari revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU IKN, Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).”
Idealnya, kebijakan yang dirumuskan penguasa berpijak pada amanah untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Sayangnya, hanya berpihak kepada para investor. Sejak awal kekhawatiran terhadap UU Cipta Kerja memang bukan tanpa alasan, nyatanya kini kekhawatiran itu terbukti juga. Adanya UU Cipta Kerja adalah jalan untuk memberi kemudahan-kemudahan bagi korporasi dengan alasan menarik minat investasi. Risiko terhadap keselamatan rakyat pun dikesampingkan, demi keinginan korporasi yang hanya berpikir laba.
Regulasi ala demokrasi ini memberi karpet merah bagi oligarki. Membuka lebar-lebar pintu investasi sama artinya membuka jalan kepada penguasaan politik. Ini karena tidak mungkin investasi dapat melenggang tanpa legitimasi yang dihasilkan melalui penguasaan politik sebagai tempat lahirnya regulasi.
Demokrasi Menuhankan Manusia
Bentuk nyata kezaliman dalam membuat hukum adalah menempatkan manusia sebagai hakim yang menetapkan hukum terkait masalah tasyri’. Inilah esensi dan fakta demokrasi. Kedaulatan di tangan rakyat. Artinya, rakyat (manusia) memiliki otoritas penuh dalam mengatur sendiri kehidupannya.
Pertanyaannya, siapakah yang sebenarnya berkepentingan akan lahirnya sebuah peraturan? Tidak lain adalah para kapitalis besar. Oleh karenanya, tidak bisa dihindarkan, sistem demokrasi akan bereinkarnasi menjadi sistem oligarki.
Dalam kajian Ilmu Politik ataupun Ilmu Negara, kata “oligarki” berarti pemerintahan oleh para hartawan. Bisa juga diartikan sebagai pemerintahan oleh sekelompok orang untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
Jeffrey Winters memerinci oligarki, yakni (1) kekuasaan dan uang tidak dapat dipisahkan, (2) kekuasaan dikendalikan oleh sekelompok kecil masyarakat, (3) kesenjangan dan ketaksetaraan dari sisi materi, dan (4) kekuasaan digunakan untuk mempertahankan kekayaan.
Presiden AS G.W. Bush pun mengatakan, “Jika kita mau melindungi negara kita dalam jangka panjang, hal terbaik yang dilakukan adalah menyebarkan kebebasan dan demokrasi.” (2003)
Jelaslah bahwa demokrasi bukanlah sistem yang layak untuk terus dipertahankan karena telah menyebabkan kesengsaraan bagi manusia, termasuk perempuan dan anak. Lebih dari itu, ternyata demokrasi merupakan alat penjajahan neoimperialisme yang menguras segenap potensi ekonomi rakyat. Melalui demokrasilah lahir berbagai regulasi yang berpihak kepada kepentingan para kapitalis (oligarki).
Sistem Politik Islam Menjamin Kepentingan Rakyat
Dalam pemerintahan Islam aturan yang digunakan adalah hukum syariat dibawah institusi negara Khilafah. Undang-undang yang berlaku bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, itulah sebabnya hukum tersebut tidak pernah mengalami perubahan atau revisi. Kedaulatan mutlak ada pada hukum syariat. Manusia makhluk lemah tidak berhak membuat hukum, justru manusia adalah orang yang wajib melaksanakan hukum syarak tersebut.
Sebagai sistem hidup yang sempurna dan paripurna, Islam tidak berpihak pada kepentingan pihak tertentu. Aturan yang datang dari Rabbul ‘alamiin dibuat untuk terealisasinya kemasalahatan dalam kehidupan umat manusia.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai (junnah). Ia akan dijadikan perisai yang orang-orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya ia akan mendapatkan pahala. Akan tetapi, jika ia memerintahkan yang lain, ia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam Islam, penguasa adalah pengurus sekaligus pelindung rakyat. Penguasa merupakan representasi hadirnya negara dalam mengurus rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Juga sabdanya, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Imam Suyuthi mengatakan lafaz “raa‘in” (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Ia juga mengatakan, “Setiap kamu adalah pemimpin,” artinya, penjaga yang tepercaya dengan kebaikan tugas dan apa pun yang ada di bawah pengawasannya.
Dalam menjalankan amanahnya, ada tiga pilar penting yang menopang jalannya pemerintahan yang amanah, yakni, individu yang bertakwa, adanya kontrol masyarakat, dan negara yang menerapkannya.
Aturan dalam sistem pemerintahan Islam hanya bersumber dari syariat Islam. Jika terjadi pelanggaran, wajib bagi masyarakat melakukan muhasabah kepada penguasa. Negara tidak boleh mengalihkan fungsinya sebagai pengurus rakyat kepada pihak lain, termasuk ke para pemodal.
Untuk itu, implementasi peran negara ini wajib ditopang dengan sistem ekonomi Islam yang mandiri. Semaksimal mungkin, Khilafah membangun kemandirian ekonomi agar negara jauh dari intervensi, baik dari pemodal maupun asing. Inilah model negara yang umat manusia perlukan karena menjalankan peran negara sesungguhnya, yakni menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu.
Sungguh, penting bagi penguasa hari ini menyelami pesan Rasulullah saw. dalam sabdanya, "Sesungguhnya sejahat-jahatnya pemerintahan, yaitu yang paling kejam, maka janganlah kau tergolong dari mereka.”
Wallahualam bissawab.
Makasih atas ilmunya
BalasHapus