Perubahan UU ITE, Alat Pukul Baru Rakyat?
![]() |
🖤 Admin MKM |
Dalam pandangan Islam, mengoreksi penguasa adalah sebuah kewajiban. Hal ini karena termasuk amar makruf nahi mungkar. UU dalam Islam bertujuan untuk menegakkan keadilan, mengatur kehidupan masyarakat, dan jauh dari konflik kepentingan. Dengan penguasa yang bertakwa, aturan Allah benar-benar akan ditegakkan.
OPINI
Oleh Nina Marlina, A.Md
Aktivis Muslimah
MKM, OPINI_Kritik seolah menjadi hal yang ditakuti penguasa negeri ini. Salah satu upaya ampuh penguasa untuk mencegah koreksi rakyatnya adalah membuat sejumlah aturan dalam bentuk UU yang bersifat tegas. Bagi rakyat, hal ini tentu sangat menghambat kebebasan berpendapat dan mengoreksi pemimpinnya.
Adapun koalisi masyarakat sipil yang mengkritisi perubahan kedua atas Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Januari 2024, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024. UU tersebut dianggap memuat pasal-pasal bermasalah, seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.
Menurut organisasi-organisasi yang tergabung dalam koalisi tersebut, pasal-pasal bermasalah ini akan memperpanjang ancaman bagi publik untuk mendapatkan informasi, dan hak kebebasan berekspresi, serta kebebasan pers di Indonesia. Koalisi ini merupakan gabungan 25 organisasi masyarakat sipil, termasuk Aliansi Jurnalis Independen, Amnesty International Indonesia, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. (floresa.co, 06/01/2024)
UU ITE menghambat rakyat dalam mengoreksi penguasa. Koreksi adalah sesuatu yang lumrah diberikan oleh rakyat kepada pemimpinnya. Namun, anehnya di negeri ini yang konon demokratis dan menjamin kebebasan berpendapat, justru penguasanya menghambat rakyat dalam memberikan aspirasi dan koreksi. Ketidakadilan pun kerap dialami rakyat. Dengan kekuasaannya, penguasa membuat peraturan yang menjadi alat untuk membungkam rakyat. Aturan tersebut diantaranya adalah UU ITE.
UU ITE atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah undang-undang yang mengatur mengenai informasi dan transaksi elektronik. UU ITE pertama kali disahkan melalui UU No. 11 Tahun 2008, sebelum akhirnya direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016. Adapun di antara manfaat UU ITE yaitu, untuk mencegah adanya kejahatan yang dilakukan melalui internet, dan melindungi masyarakat, serta pengguna internet lainnya dari berbagai tindak kejahatan online.
Sayangnya UU ini disinyalir mengandung beberapa pasal karet yaitu, pasal 27 ayat (3) yang mengatur penghinaan dan pencemaran nama baik, serta pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian. Pasal karet diartikan sebagai pasal yang tafsirannya sangat subjektif dari penegak hukum ataupun pihak lainnya. Sehingga bisa menimbulkan tafsiran yang beragam, alias multitafsir. Pada akhirnya, kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia terancam.
Beberapa dampak negatif dari penerapan UU ITE adalah:
(1) Membatasi kebebasan berpendapat, terutama dalam beropini dan memberikan kritik.
(2) Menimbulkan kesewenang-wenangan para penegak hukum.
(3) Menjadi instrumen sebagian kelompok dalam menjebak lawan politik.
(4) Memicu keresahan dan perselisihan masyarakat, baik dengan penguasa atau sesama anggota masyarakat yang lain. (cnbcindonesia.com, 16/08/2022)
Tidak sedikit rakyat yang terjerat dengan pasal tersebut. Hingga berujung pidana, termasuk saat menyampaikan kritik kepada pejabat, termasuk Presiden. Padahal koreksi mereka dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, yang paling banyak karena ada ketidakpuasan pengurusan negara kepada rakyat, ketimpangan, kezaliman, dan ketidakadilan.
Adapun perubahan kedua atas UU ITE dipandang masih banyak mengandung pasal bermasalah, yang dapat menjadi pasal karet dan dapat dimainkan untuk menyerang pihak tertentu. Pasal karet membuka peluang terjadinya kriminalisasi lawan politik, juga umat Islam yang selalu dijadikan sebagai tertuduh.
Dengan adanya peraturan ini, tentu membuat rakyat tak berani lagi bersuara. Mereka takut dihukum atau dipenjara. Akhirnya kezaliman pun terus terjadi.
Sementara itu dalam pandangan Islam, mengoreksi penguasa adalah sebuah kewajiban. Hal ini karena termasuk amar makruf nahi mungkar. UU dalam Islam bertujuan untuk menegakkan keadilan, mengatur kehidupan masyarakat, dan jauh dari konflik kepentingan. Dengan penguasa yang bertakwa, aturan Allah benar-benar akan ditegakkan.
Di sisi lain, media dalam Islam memiliki peran strategis. Baik dalam mencerdaskan umat maupun sebagai penyalur aspirasi rakyat dan alat muhasabah perangkat negara. Pengaturan media dan penyampaian pendapat oleh rakyat adalah untuk menegakkan keadilan dan menjaga agar tetap berada dalam keridaan Allah.
Di dalam negara yang menerapkan hukum Islam, muhasabah adalah sesuatu yang wajar dan lumrah. Seorang penguasa adalah manusia yang tak luput dari kekhilafan. Bahkan pada masa Khalifah Umar bin Khattab ra, aktivitas muhasabah oleh rakyat adalah hal yang biasa. Rakyat tidak merasa takut menyampaikan aspirasi dan koreksinya, meski kepada Khalifah Umar yang bertabiat keras. Namun, Amirul Mu'minin tak anti kritik bahkan sering menerima dan membenarkan koreksi rakyatnya.
Jika kebiasaan muhasabah ini tetap berjalan, tentu akan mewujudkan ketentraman dalam sebuah negara. Rakyat dan penguasa akan saling menyayangi dan saling mendoakan kebaikan. Bukan saling membenci dan mengutuk satu sama lain.
Penguasa sudah semestinya berlapang dada, tatkala menerima kritikan rakyat. Ia tak akan bersikap represif bahkan memenjarakan rakyatnya yang mengoreksinya. Begitulah indahnya ketika sistem Islam diterapkan. Wallahu alam bissawab.
Komentar
Posting Komentar