Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya! Bolehkah?

๐Ÿ–ค Admin MKM 


Dilema memang, terkait politik uang beredar slogan "Ambil uangnya, jangan pilih orangnya". Sungguh slogan ini menyesatkan dan mirisnya masyarakat menganggapnya hal biasa. Ini artinya sama dengan melanggengkan budaya suap dan korupsi. Lumrah jika makin hari korupsi menggurita dan rakyat makin sengsara.

OPINI 

Oleh Nur Fitriyah Asri

Penulis Ideologi Bela Islam Akademi Menulis Kreatif


MKM, OPINI_Pesta demokrasi akan digelar pada 14 Februari 2024. Setiap mendekati pemilu dari masa ke masa para kontestan mengumbar janji-janji manis kepada rakyat. Bahkan tidak jarang jauh sebelumnya mereka melakukan politik uang (money politic) dengan membagikan sembako, kaus, susu, maupun uang untuk menarik simpati dan dukungan. Karena itu sebagian masyarakat memandang pesta demokrasi sebagai ajang "bagi-bagi rezeki". 

Sebagaimana yang diwartakan CNN Indonesia (6/1/2024), ada beberapa kali terjadi serangkaian pelanggaran Pemilu 2024. Di antaranya melibatkan cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka yang secara resmi dinyatakan melanggar aturan pemilu dalam kampanye beberapa waktu lalu. Gibran juga diketahui membagikan susu di area CFD Jakarta, meski membantah aksi itu bukan bentuk kampanye Pilpres 2024.

Sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Pamekasan memastikan Miftah Maulana Habiburrahman, seorang penceramah kondang dengan sapaan Gus Miftah diduga melakukan pelanggaran pidana pemilu. Gus Miftah diduga melanggar pasal 523 UU Nomor 17 Tahun 2017, yaitu bagi-bagi uang di sebuah acara yang viral di beberapa media sosial.

Dalam hal ini, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, Amir Arief berkomentar, politik uang menyebabkan politik berbiaya mahal. Selain membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis, juga untuk beli suara (vote buying) atau dikenal "serangan fajar". Serangan fajar adalah fenomena beli suara menjelang coblosan di waktu pagi buta yang lazim dilakukan oleh caleg culas. Sehingga biaya pemilu yang dikeluarkan oleh seorang kontestan sangat tinggi hingga mencapai Rp5-15 miliar. Jika uang pribadi tidak mencukupi, mereka menggandeng pendonor atau pemilik modal dengan kompensasi balas jasa ketika berhasil menjabat.

Politik Uang Induk dari Korupsi

Sejatinya politik uang akan berdampak buruk bagi masyarakat itu sendiri. Sebab, praktik ini akan menghasilkan pemimpin atau pejabat yang tidak pantas untuk memimpin, mengapa? Karena setelah terpilih, maka yang terlintas adalah bagaimana caranya balik modal. Kebijakan dan keputusan yang mereka ambil bukan untuk kepentingan rakyat tetapi untuk dirinya, kelompoknya, dan pemilik modal.

Sosok pemimpin hasil korupsi politik semacam ini akan mendorong korupsi dan melakukan kecurangan di sektor-sektor yang lain. Seperti jual-beli jabatan, gratifikasi, manipulasi pengadaan barang jasa, atau korupsi dengan berbagai bentuk lainnya. Sedangkan yang berdampak langsung pada masyarakat adalah pemotongan anggaran untuk kesejahteraan rakyat dan regulasi (undang-undang) yang dibuat berpihak pada konglomerat, bukan untuk rakyat yang memilihnya. Wajar jika politik uang disebut sebagai "mother of corruption" atau induknya korupsi.

Dilema memang, terkait politik uang beredar slogan "Ambil uangnya, jangan pilih orangnya". Sungguh slogan ini menyesatkan dan mirisnya masyarakat menganggapnya hal biasa. Ini artinya sama dengan melanggengkan budaya suap dan korupsi. Lumrah jika makin hari korupsi menggurita dan rakyat makin sengsara.

Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada Pemilu 2019, membuktikan bahwa politik uang berpengaruh signifikan terhadap pemilih. Ditemukan 40 persen responden mengaku menerima uang dari kontestan pemilu, tetapi tidak memilih mereka. Sedangkan 37 persen menerima uang dan memilih pemberinya. Hal ini diperkuat oleh temuan Global Corruption Barometer, bahwa Indonesia menempati posisi ketiga dari 17 negara di Asia yang terpapar politik uang.

Hal ini membuktikan bahwa politik uang dan serangan fajar seakan menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia. Itulah wajah buruk demokrasi kapitalis sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Di mana tolok ukur perbuatannya berdasarkan asas manfaat, bukan halal dan haram. Filosofi kedaulatan di tangan rakyat hanyalah slogan. Justru undang-undang yang dihasilkan diselewengkan dan mengkhianati rakyat yang memberikan amanat.

Contohnya, regulasi terkait penegakan hukum pemilu lemah. Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) mengakui kesulitan dalam pembuktian politik uang karena memerlukan bukti material yang kuat, saksi pelapor, dan alat bukti lainnya. Apalagi aktor intelektual di balik politik uang dan pemilik modal yang terlibat sulit dibuktikan.

Justru dalam hal ini pemerintah sendiri terkesan abai, akibatnya politik uang mendominasi pemenangan pemilu. Itulah undang-undang buatan manusia produk pemilu demokrasi yang menghasilkan pemimpin-pemimpin tidak amanah. Wajar jika menyebabkan kerusakan di semua aspek kehidupan. Selama negara ini menganut sistem demokrasi, maka korupsi, politik uang dan turunannya tetap menggurita, meskipun pemimpin dan pejabatnya berganti.

Sistem Islam Solusinya 

Para ulama kontemporer sepakat mengenai hukum memberi atau menerima pemberian terkait pemilu apa pun itu adalah haram, yang berbeda hanya alasannya saja.

Namun, sebagian jumhur ulama menghukumi haram karena pemberian kontestan pemilu kepada pemilih termasuk risywah (suap).

Dalilnya Rasulullah saw. mengharamkan suap. Antara lain hadis dari Tsauban r.a. bahwa, "Rasulullah saw. telah melaknat setiap orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya." (HR. Ahmad)

Dalam penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Hadis tersebut bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang baik atau pun yang batil, suap untuk menolak yang mudarat (bahaya) atau mendapatkan manfaat, maupun suap untuk menghilangkan kezaliman atau untuk melakukan kezaliman, semua suap ini hukumnya haram.

Jadi berdasarkan keumuman dalil di atas hukum pemberian caleg baik yang memberi maupun pihak yang menerima adalah haram. Apalagi suap tersebut diberikan untuk menuntut yang batil. Pasalnya, di dalam sistem demokrasi seorang anggota legislatif berfungsi sebagai legislasi yaitu membuat undang-undang yang bukan syariat Islam. Maka hal ini bertentangan dengan firman Allah:

"Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” 

Jadi dalam sistem Islam (Khilafah), membuat hukum adalah hak prerogatif Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Manusia sebagai hamba Allah Swt. diwajibkan tunduk-patuh hanya kepada aturan-Nya. 

Oleh karena itu, dalam sistem Islam (Khilafah) asasnya adalah akidah Islam. Akidah inilah yang mendorong semua umat harus terikat dengan hukum syarak dan meyakini di akhirat kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Keyakinan tersebut yang menjadikan seseorang takut berbuat dosa termasuk melakukan korupsi dan suap.

Khilafah juga memiliki mekanisme pemilu yang tidak menghabiskan dana besar karena hanya dibatasi tiga hari setelah kekosongan khalifah. Selain itu, tidak ada pemilihan gubernur (wali) dan bupati (amil) karena keduanya dipilih oleh khalifah, jadi hemat. 

Begitu pula dalam sistem Khilafah tidak ada pemilu legislatif, karena wakil rakyat dalam Khilafah adalah Majelis Umat di mana anggotanya merupakan wakil atau representasi dari kelompoknya. Mereka adalah orang-orang pilihan yang terpilih melalui pemilihan umum, sebagai bentuk akad wakalah (perwakilan) sesuai dengan syariat Islam. 

Dengan demikian penyelenggaraan pemilu dalam Khilafah lebih praktis dan efisien baik dari segi waktu dan biaya. Terlebih akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang ikhlas, amanah, jujur, dan bertanggung jawab. Sehingga meniscayakan tidak ada janji-janji politik termasuk politik uang dan vote buying (serangan fajar). Oleh karena itu saatnya kita kembali ke sistem Islam yakni Khilafah ala minhajjin nubuwwah yang diridai Allah Swt.

Allah berfirman:

"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al-Maidah [5]: 50)

Wallahualam bissawab.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan