Haji dalam Sistem Kapitalis VS Islam
![]() |
🖤Admin MKM |
OPINI
Oleh Yuli Ummu Raihan
Aktivis Muslimah Tangerang
Aku mau ke Mekah
Berkeliling keliling Ka'bah
Sambil baca talbiyah
Dan wukuf di Arafah
Lalu melempar jumroh
Ula wustha aqabah
Sa'i....sa'i....
Dari Shofa ke Marwah
Lirik lagu yang sering dinyanyikan anak-anak ini mengisyaratkan bahwa pergi ke Mekah untuk beribadah baik umrah atau haji adalah impian semua orang Islam. Haji adalah ibadah yang tidak hanya butuh kesiapan fisik, tapi juga finansial. Demi bisa berangkat haji, seseorang harus menabung puluhan tahun karena biaya yang begitu besar serta administrasi yang mengharuskan antrian begitu panjang.
Pelaksanaan ibadah haji tahun ini telah selesai, dan banyak mendapat sorotan dari beberapa pihak. Ketua Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI Muhaimin Iskandar, mengatakan bahwa dirinya mendapatkan sejumlah aduan terkait penyelenggaraan haji tahun ini. Di antaranya ada AC yang tidak berfungsi, tenda yang over kapasitas, kasur yang tidak cukup sehingga sebagian jamaah terpaksa menempati lorong-lorong, antrian yang panjang ketika harus ke toilet, keterlambatan bus menuju Arafah dan lainnya. (Katadata.com, 18/6/2024)
Ibadah haji tahun ini diwarnai tragedi dengan adanya 1.301 jemaah haji dari berbagai negara yang meninggal dunia, 234 di antaranya berasal dari Indonesia. Hal ini dipicu cuaca ekstrim yang melanda Arab, dengan suhu melebihi 50 derajat Celcius.
Arab Saudi sendiri banyak mendapat kritikan karena dianggap tidak berbuat banyak untuk membuat ibadah haji lebih aman, terutama bagi jemaah haji yang tidak terdaftar yang tidak memiliki akses terhadap fasilitas seperti tenda ber-AC dan transportasi resmi. (BBC.com, 21/06/2024)
John Kenedy Azis, anggota Timwas yang juga Anggota Komisi VIII DPR, menyoroti adanya penambahan kuota haji sebanyak 20.000 yang dibagi dua, untuk haji reguler dan ONH plus. Padahal seharusnya jatah haji reguler 92%, baru sisanya ONH plus sesuai aturan UU No 8 tahun 2019, tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Karena menyalahi aturan, maka kebijakan pembagian kuota haji ini dianggap ilegal.
Sementara Firman Muhammad Nur, selaku Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah RI (DPP AMPHURI) meyakini, bahwa penambahan kuota ini dalam rangka mendukung visi Arab Saudi 2030 agar jemaah haji meningkat 5 juta orang dalam 6 tahun ke depan. Hal ini diduga untuk mengisi okupansi hotel-hotel bintang lima, motif ekonomi sangat terlihat di sini. (VOA.Indonesia, 20/6/2024)
Haji dalam Sistem Kapitalis
Beginilah paradigma penyelenggaraan haji dalam sistem kapitalis. Ibadah haji jadi lahan untuk mendulang cuan. Saat ini saja biaya yang dikeluarkan oleh calon jemaah haji berkisar Rp93 juta per orang. Namun harga mahal tidak menjamin para jemaah mendapatkan fasilitas dan layanan terbaik. Penyelenggaraan haji setiap tahun selalu ada kekurangan di sana sini. Kalau pun ada perbaikan sifatnya tambal sulam.
Dalam sistem hari ini, ibadah haji hanya sebatas impian bagi sebagian masyarakat. Biaya yang mahal, kebutuhan hidup yang semakin tinggi, membuat mereka hanya bisa mengubur impian ini dan menunggu keajaiban. Sedangkan bagi kalangan berada, mereka bisa berulang kali naik haji bahkan tanpa antrian.
Banyaknya peminat haji, maka negara membuat kebijakan dana talangan haji, dimana setiap orang yang ingin berangkat haji, harus menyetorkan sejumlah uang dengan nama tabungan haji. Ini adalah sumber dana yang sangat besar yang rawan untuk disalah gunakan.
Sistem kapitalis menjadikan haji sebagai lahan bisnis. Penguasa berlomba mendirikan hotel berbintang yang lokasinya dekat Mekah, yang hanya dapat dinikmati dengan mengeluarkan biaya mahal. Sementara, jika uang minimalis harus rela tinggal di hotel yang letaknya jauh. Begitu pun fasilitas lainnya yang mahal harganya.
Adanya penambahan kuota juga bukan semata untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat dan memperpendek masa antrian. Tapi lebih kepada mencari keuntungan materi, karena kuota haji reguler diberikan kepada haji ONH plus.
Sistem administrasi dalam sistem kapitalis juga sangat menyulitkan calon jemaah. Mereka harus mengurus visa haji dengan biaya cukup mahal, dan ada banyak kasus jemaah tertipu, karena bukan visa haji yang didapat melainkan visa nonhaji. Belum lagi kasus beberapa jemaah yang berangkat mandiri, demi bisa mengirit biaya tanpa visa haji.
Semua ini akibat adanya sekat nasionalisme, yang sengaja dibuat oleh kaum kafir agar umat Islam tidak bersatu. Sekat ini membuat negeri Islam mudah diatur sesuai arahan mereka.
Ibadah haji pun saat ini hanya sebatas ibadah ritual tanpa bisa memberikan dampak secara global. Jutaan jemaah haji setiap tahun melaksanakan ibadah haji tidak memberikan dampak berarti untuk perkembangan Islam. Seolah pelaksanaan haji tidak membawa perubahan ke arah lebih baik. Mirisnya, banyak yang pulang haji tetap melakukan maksiat, seperti membuka aurat, korupsi dan lainnya. Ibadah haji tidak ubahnya sekadar wisata religi.
Haji dalam Sistem Islam
Hal berbeda dapat kita bandingkan ketika pelaksanaan ibadah haji diatur dalam sistem Islam. Ketika sistem Islam diterapkan tidak ada sekat nasionalisme. Semua yang berada dalam wilayah kekuasaan daulah Islam akan mendapatkan periayahan terbaik tanpa ada perbedaan apalagi diskriminasi. Tidak ada lagi negara Arab, Indonesia, Malaysia dan lainnya. Semua satu dalam naungan Khilafah. Sehingga ketika ada warga negara daulah yang ingin dan mampu untuk melaksanakan ibadah haji, mereka tidak akan direpotkan untuk mengurus visa atau paspor, dan biayanya pun akan lebih terjangkau.
Paradigma negara Islam adalah meriayah rakyat, bukan pebisnis yang berhitung untung rugi. Negara akan memberikan pelayanan terbaik apalagi untuk para tamu Allah. Mereka akan diperlakukan layaknya seorang tamu, sehingga akan merasa aman, nyaman ketika menjalankan ibadahnya.
Negara akan membangun berbagai sarana dan prasarana pendukung, agar pelaksanaan ibadah haji berjalan lancar. Semua itu dilakukan bukan untuk meraih untung, tapi dalam rangka ibadah menyempurnakan pelaksanaan rukun Islam kelima.
Semua jemaah akan mendapatkan fasilitas yang sama, tanpa harus merogoh kocek lebih dalam seperti hari ini. Negara Islam akan membentuk lembaga khusus untuk mengatur agar pelaksanaan ibadah haji berjalan baik. Ini berlaku dari pusat sampai daerah yang tersentralisasi. Orang-orang yang berkompeten di bidangnya akan diberi amanah untuk hal ini. Misalnya, terkait pembangunan fasilitas agar sesuai dengan kapasitas jemaah, pengaturan prioritas yang lebih dulu berangkat haji, sehingga tidak terjadi antrian panjang, fasilitas tenda, kendaraan, toilet, makanan dan lainnya.
Adanya departemen khusus haji akan memudahkan calon haji dalam hal persiapan, bimbingan dan pelaksanaan haji hingga kembali ke daerah asal. Departemen ini juga akan bersinergi dengan departemen lain, seperti kesehatan, dan perhubungan, agar mendapatkan pelayanan terbaik.
Besaran biaya haji ditetapkan oleh khilafah berdasarkan biaya yang dibutuhkan, jarak tempuh dari suatu wilayah ke tanah suci. Biaya ini akan lebih ringan karena biaya akomodasi adalah kewajiban negara dalam melayani rakyat. Khilafah tidak akan mempergunakan dana haji untuk investasi, atau mengalokasikan kepada pembangunan infrastruktur.
Semua biaya untuk membangun infrastruktur murni diambil dari baitulmal, bukan dana haji dari calon jemaah haji.
Hal ini pernah dipraktekkan oleh Khalifah Abdul Hamid II, yang membangun sarana transportasi massal dari Istambul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji. Khalifah Harun Ar-Rasyid juga membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Mekah-Madinah) yang dilengkapi fasilitas seperti, pos pelayanan umum, logistik, serta dana zakat bagi jemaah yang kehabisan bekal.
Kewajiban haji hanya sekali seumur hidup, maka negara akan mengatur hanya mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan yang bisa berangkat haji. Mereka yang sudah memenuhi ini tapi belum pernah haji, maka akan diprioritaskan. Hal ini bisa terwujud karena negara memiliki data base seluruh rakyatnya.
Dalam tulisan ustadz Hafidz Abdurrahman dijelaskan, bahwa ada pembagian kelompok untuk membantu para jemaah haji, seperti Suqat (pemberi minuman), Barrak (penyedia transportasi), Ukkamah (pemilik unta dan tandu), Ashab Masya'il (pembawa obor), Ashab Khiyam (pengurus tenda) dan staf lain yang menjamin kenyamanan para jemaah haji.
Sementara para tentara berjaga untuk menjaga keamanan dan keselamatan para jemaah. Ada juga regu penyelamat yang disebut Jaradah, yang bertugas menyiapkan rombongan untuk menolong jemaah haji di jalan menuju ke negeri mereka, agar tidak tersesat atau hilang.
Ada juga Jaukhadar yaitu petugas yang akan memberitahu kepada keluarga jemaah bahwa mereka selamat dan akan segera kembali.
Selain itu momen pelaksanaan ibadah haji adalah momen persatuan umat, di sini khilafah akan memberikan nasehat atau pidato bagi seluruh jemaah untuk menguatkan persatuan. Mereka akan kembali ke wilayah masing-masing membawa semangat yang sama.
Masya Allah, begitu optimal negara Islam meriayah rakyatnya meskipun saat itu belum ada sarana informasi yang canggih seperti saat ini. Pada masa itu sarana transportasi juga belum menggunakan mesin yang aman dan nyaman baik darat maupun laut.
Hari ini dengan berbagai kemajuan teknologi informasi dan kecanggihan teknologi seharusnya pelayanan untuk pelaksanaan ibadah haji lebih bisa optimal. Jadi, kita masih berharap mendapatkan pelayanan terbaik dalam sistem sekarang, atau berjuang bersama agar sistem Islam segera tegak?
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar