Harga Beras Melangit, Hidup Rakyat Makin Sulit
![]() |
🖤Admin MKM |
Negara khilafah akan berperan dalam pemenuhan pangan dari hulur hingga hilir. Dalam aspek produksi pemerintah akan meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pertanian yaitu melalui ekstensifikasi pertanian seperti menghidupkan tanah mati. Salah satunya, dengan pemberian lahan pertanian oleh negara. Semua itu dilakukan oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab dalam mengurus urusan rakyat.
OPINI
Oleh Anggi Dewi Jayanti
Aktivis Dakwah Muslimah
MKM, OPINI_Berbagai persoalan di negeri zambrud khatulistiwa, Indonesia seakan tak pernah usai. Bagaimana tidak, permasalahan tentang kenaikan pembayaran UKT yang sangat mahal menyebabkan banyak dari kalangan generasi yang tidak bisa melanjutkan studi, gas LPG yang makin langka dan harganya mahal, serta berbagai kebutuhan hidup lainnya meningkat. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan HET beras yang melonjak tinggi.
Pemerintah resmi menetapkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium melalui Badan Pangan Nasional/ National Food Agency (NFA). Berdasarkan Perbadan Nomor 5 tahun 2024 tentang Perubahan atas Perbadan Nomor 7 tahun 2023 tentang HET beras, harga kenaikan beras ditingkat konsumen akan diatur berdasarkan wilayah. Arief Prasetyo Adi selaku Kepala Bapanas, menjelaskan bahwa penerbitan kebijakan baru tentang kenaikan HET beras tersebut adalah untuk menguatkan kebijakan relaksasi yang telah diberlakukan sebelumnya.
Arief juga menegaskan bahwa penyesuaian HET beras, tidak terpisahkan dari upaya stabilisasi pasokan dan harga beras. Di mana kebijakan di hulu (tingkat petani) juga selaras dengan di hilir (tingkat konsumen). Bahkan kebijakan tersebut, tidak serta merta terbentuk begitu saja. Namun kebijakan itu, diperoleh melalui keputusan bersama dari beberapa pihak terkait, seperti organisasi petani, penggilingan, kementerian, dan lembaga terkait. (CNBC, 14/6/2024)
Di tengah penetapan HET ini, pemerintah melakukan impor beras untuk memenuhi stok pangan di dalam negeri dengan jumlah yang tinggi. Sebagaimana pernyataan dari Sarwo Edhy, selaku Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional (Bapanas) bahwa kuota impor beras sepanjang 2024 dalam sistem nasional neraca komoditas atau SinasNK sebanyak 4,04 juta ton, yang terdiri dari beras umum dan khusus. Bahkan penetapan kuota impor tersebut, ditetapkan atas dasar persetujuan impor (PI) melalui Kementerian Perdagangan dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas). (tirto.id, 14/6/2024)
Beras merupakan bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh manusia terutama di negeri ini. Namun kenaikan harga beras, justru mempersulit kebutuhan ekonomi rakyat. Melihat dari tingginya angka kemiskinan di negeri ini, akan menyebabkan mereka kesulitan dalam pemenuhan hajatul 'uduwiyah. Sehingga banyak dari kalangan masyarakat miskin mengalami kelaparan yang berefek pada rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM).
Rendahnya kualitas SDM, menjadikan jalan bagi bangsa-bangsa lain menguasai bahkan mengancam kedaulatan negara. Maka, tak heran jika banyaknya warga negara asing yang menjadi pengusaha. Bahkan, sekelas kuli bangunan saja, banyak dari warga asing yang dijadikan sebagai pekerjanya.
Kemiskinan akut akan menyebabkan kelaparan dan tidak mustahil demi memenuhi kebutuhan perut bisa berujung pada tindakan kriminalitas. Sebab beras berkaitan dengan kebutuhan perut, yang tidak bisa ditunda pemenuhannya. Sementara dengan mengeluarkan kebijakan berupa kenaikan HET beras yang melonjak tinggi, menunjukkan abainya pemerintah terhadap urusan masyarakat.
Sementara penyelarasan antara hulur dan hilir hanya sebagai jalan bagi pemerintah untuk mengelabui masyarakat. Seakan pemerintah menunjukkan keberpihalan dan sikap pedulinya terhadap rakyat. Padahal pernyataan tersebut, menunjukkan negara tidak mau memikirkan masalah rakyat dan menyelesaikannya hingga akar-akarnya. Bagaimana tidak, di tengah beban ekonomi rakyat yang banyak, pemerintah justru mematok harga beras dengan harga yang sangat tinggi.
Sejatinya hal ini, lumrah terjadi dalam negeri yang menganut sistem kapitalisme. Di mana segala kebijakan dan peraturan diterapkan atas dasar kepentingan. Dalam sistem ini, peran negara telah dipinggirkan dalam pengelolaan kehidupan dan pengurusan urusan rakyat. Di sisi lain, negara memberikan jalan bagi pihak swasta dan korporasi saling bersaing meraup keuntungan dari kebutuhan mendasar masyarakat.
Dalam hal ini, memang petani masih diberi peluang untuk bertani. Namun, ketersediaan sarana produksi pertanian dikuasai oleh korporasi. Alhasil, hasil produksi pertanian termasuk bibit, dan pupuk bergantung pada swasta. Harga gabah tidak boleh ditentukan langsung oleh petani. Bahkan petani tidak boleh menjual langsung hasil taninya ke konsumen.
Dalam sistem kapitalis, pihak swastalah yang diberi wewenang oleh negara untuk menyalurkan hasil panen tersebut. Dari sini, muncul para mafia pangan, mulai dari penimbun, spekulan, hingga kartel pangan. Hingga saat ini, negara tidak mampu memberantasnya. Hal itu, mengakibatkan harga beras tidak diatur dengan mekanisme supply dan demand. Tetapi harga ditetapkan seenaknya oleh spekulan dan kartel. Negara sebagai pelayan korporasi, seenaknya menjadikan HET sebagai alasan di tengah kenaikan harga beras yang melambung dan sangat sulit turun.
Konsep di atas, sangat jauh berbeda dengan sistem Islam yang mengelola hasil pangan dengan mekanisme yang jelas. Yaitu visi pengelolaan yang bertujuan mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan. Islam memandang bahwa visi adalah salah satu kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Islam juga menjadikan penguasa sebagai pelayan rakyat atau sebagai pengatur urusa rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Imam atau khalifah adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya". (HR. Bukhari)
Negara khilafah akan berperan dalam pemenuhan pangan dari hulur hingga hilir. Dalam aspek produksi pemerintah akan meningkatkan produktivitas lahan dan produksi pertanian yaitu melalui ekstensifikasi pertanian seperti menghidupkan tanah mati. Salah satunya, dengan pemberian lahan pertanian oleh negara. Semua itu dilakukan oleh negara sebagai bentuk tanggung jawab dalam mengurus urusan rakyat.
Tidak sampai di situ, negara juga mendorong kebijakan intensifikasi pertanian. Yaitu optimalisasi lahan pertanian dengan meningkatkan hasil pertanian. Hal itu bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas benih, pemanfaatan teknologi, hingga membekali para petani dengan ilmu yang mumpuni. Semua aspek ini akan mendapatkan dukungan dan fasilitas dari negara.
Pada aspek distribusi dan penetapan harga, Islam menetapkan harga dengan mengikuti hukum permintaan dan penawaran, tanpa adanya intervensi dari negara. Negara hanya berperan sebagai pengawas dalam hal tersebut apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sedangkan pada kondisi harga tidak normal, negara mengambil dua kebijakan utama. Pertama, menghilangkan penyebab distorsi pasar seperti penimbunan, kartel, dan sebagainya. Kedua, negara akan menjaga supply dan demand. Distribusi yang dikawal oleh negara, akan menghasilkan produksi pasar yang sehat.
Begitulah Islam, mengatur dan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Khilafah akan menerapkan aturan yang komprehensif dalam menstabilkan harga pangan, hingga bisa dijangkau oleh seluruh rakyat. Namun solusi tersebut akan terwujud dalam bingkai sistem khilafah.
Wallahu alam bissawab
Komentar
Posting Komentar