Perbedaan Idul Adha : Perlu Solusi Hakiki sebagai Pemersatu
![]() |
🖤 Admin MKM |
Kebutuhan pada pemersatu umat, termasuk untuk menyatukan waktu pelaksanaan Idul Adha menjadi sesuatu yang mendesak. Karena akan banyak umat Islam berbuat maksiat dengan berpuasa Arafah saat Idul Adha, yang berarti haram hukumnya. Begitu pula berakibat banyak yang masih menyembelih hewan kurban, padahal sudah melewati hari tasyrik (tiga hari setelah Idul Adha untuk penyembelihan hewan kurban).
OPINI
Oleh Irawati Tri Kurnia
Aktivis Muslimah
MKM, OPINI_Memprihatinkan. Kembali terjadi perbedaan hari raya di negeri-negeri muslim di dunia, termasuk di negeri ini. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan cara menentukan awal bulan Dzulhijjah (www.khazanah.republika.co.id, 8/7/2024).
Cara menentukan awal bulan Islam dilakukan dengan rukyatul hilal (melihat bulan) sabit sebagai penentu awal bulan Hijriyah. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Pertama, rukyat lokal yaitu diserahkan pada masing-masing negeri. Ini merupakan pendapat dari Imam Syafi'i.
Kedua, rukyat global yaitu jika satu rukyat terjadi di salah satu belahan bumi, maka berlaku bagi seluruh negeri di dunia. Hal ini merupakan pendapat dari Imam Hambali, Maliki, dan Hanafi. Dengan demikian, Rukyat global adalah berdasar dalil terkuat.
Sedangkan penentuan Idul Adha berbeda dengan Idul Fitri. Ketentuannya bersifat khusus, yaitu mengikuti ketetapan rukyatul hilal Amir (penguasa) di Makkah. Dalilnya adalah sabda Nabi Saw. :
"Sesungguhnya Amir (Penguasa) Makkah berkhutbah, kemudian dia berkata, “Rasulullah Saw. telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan ibadah (manasik haji) berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan beribadah (menjalankan manasik haji) berdasarkan kesaksian keduanya." (HR. Abu Dawud, hadis no 2340)
Secara mendasar, ada tiga perspektif berkaitan dengan penentuan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah (sehingga diketahui waktu Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah).
Pertama, berpatokan waktu. Ini dianut oleh beberapa ulama seperti Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah. Bahwa puasa Arafah tanggal 9 Dzulhijjah, terlepas dari rukyatul hilal menggunakan rukyatul lokal.Tidak peduli bahwa 9 Dzulhijjah di Arafah jatuh pada tanggal yang berbeda. Seperti yang digunakan di Indonesia.
Kedua, berpatokan hanya pada waktu dan tempat. Pandangan ini dianut oleh beberapa ulama seperti Al-Lajnah Al-Dā`imah (dari Arab Saudi). Bahwa puasa Arafah tanggal 9 Dzulhijjah dan tempatnya di Arafah saat melakukan ibadah wukuf sebagai rangkaian ritual ibadah haji.
Ketiga, berpatokan bahwa waktu, tempat, dan aktivitas. Bahwa waktunya puasa Arafah tanggal 9 Dzulhijjah, tempatnya Arafah, aktivitasnya bersamaan saat jamah haji melakukan wukuf di Arafah.
Dalil bahwa berkaitan dengan waktu :
“Bahwa Rasulullah berpuasa sembilan hari dari bulan Dzulhijjah, hari Asyura, dan tiga hari setiap bulan: hari Senin pertama dari setiap bulan, dan dua hari Kamis.” (HR. An-Nasa’i, Sunan An-Nasa’i, Bab Shaum: Bab Bagaimana Cara Berpuasa Tiga Hari Setiap Bulan, Juz IV, halaman 220)
Dalil berkaitan dengan tempat :
“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang ....” (HR. Muslim, no. 1162)
Dalil berkaitan aktivitas :
“Dan Arafah adalah hari ketika mereka (jamaah haji) berarafah (berwukuf di Arafah).” (Al-Khathib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, Juz I, halaman. 595)
Pendapat ini mendekati pendapat kedua, bahwa perbedaan rukyat lokal tidak berpengaruh, karena puasa Arafah dilakukan bersama jamaah haji sedang wukuf di padang Arafah. Dan ini pendapat terkuat.
Mirisnya, perbedaan yang terjadi bukan karena dalil syar’i, tetapi faktor fanatisme nasionalisme, buah pengaruh negatif dari sekulerisme kapitalisme. Karena masing-masing negara mempunyai keputusan sendiri-sendiri dalam penentuannya. Padahal nasionalisme adalah pandangan jahiliyah, yang diharamkan dalam Islam. Dalilnya :
“Jika ada orang membangga-banggakan kebanggaan jahiliyah maka suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya dan tidak usah pakai bahasa kiasan terhadapnya.” (HR. Ahmad)
Paham nasionalisme dan konsep negara-bangsa telah menjadi penjara imajiner yang menghalangi kaum Muslim untuk berpegang pada aturan yang sama, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadis, karena egoisme golongan.
Oleh karena itu, kebutuhan pada pemersatu umat, termasuk untuk menyatukan waktu pelaksanaan Idul Adha menjadi sesuatu yang mendesak. Karena akan banyak umat Islam berbuat maksiat dengan berpuasa Arafah saat Idul Adha, yang berarti haram hukumnya. Begitu pula berakibat banyak yang masih menyembelih hewan kurban, padahal sudah melewati hari tasyrik (tiga hari setelah Idul Adha untuk penyembelihan hewan kurban). Manakala sudah lewat hari tasyrik, sudah bukan termasuk hewan kurban lagi, akan tetapi sembelihan biasa. Sehingga pahala hewan kurban tidak bisa didapat, walau tetap mendapat pahala sedekah.
Umat membutuhkan satu kepemimpinan Islam yang akan menyatukan umat termasuk dalam penentuan hari raya, yaitu Khilafah. Dengan adanya Khalifah sebagai pemimpin Khilafah, perbedaan waktu Idul Adha akan bisa dihilangkan. Karena ada kewajiban bagi seluruh umat Islam untuk taat pada Khalifah sebagai pemimpin kaum muslimin.
Wallahualam bissawab
Komentar
Posting Komentar