TAPERA : Mampukah Mengurai Penderitaan Rakyat?
![]() |
🖤 Admin MKM |
Kondisi sulit saat ini seharusnya menjadi fokus utama bagi negara yang mengakibatkan masyarakat dilanda kemiskinan dan kesengsaraan. Taraf hidup masyarakat jauh dari kelayakan karena banyak yang terimpit kondisi memprihatinkan, terjerat pinjol berbunga, tidak mampu menikmati pendidikan, bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
OPINI
Oleh Verra Trisepty
Ibu Peduli Generasi
MKM, OPINI_Jagat media sosial diramaikan dengan polemik program Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA), setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera.
Melansir laman indonews.com, nantinya para karyawan akan mendapatkan potongan gaji sebesar 3% sebagai iuran Tapera, dengan rinciannya 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% menjadi tanggung jawab perusahaan pemberi kerja. Kewajiban iuran Tapera diyakini bakal menambah beban kelas menengah di Indonesia, lantaran daftar potongan gaji yang diterima karyawan makin panjang. Potongan gaji untuk iuran Tapera tersebut akan dikelola oleh BP Tapera. Pengelolaan dirumuskan oleh anggota komite dan jajaran komisioner serta deputi komisioner. (sindonews.com, 30/05/2024)
Gelombang penolakan terus terjadi terutama dari pihak buruh, lantaran PP tersebut dinilai merupakan kebijakan sepihak yang memaksa dan menambah beban masyarakat. Jelas menambah beban karena PP ini digulirkan di tengah lemahnya daya beli masyarakat, bahkan menurut Riden Hatam Aziz, selaku Ketua Mahkamah Partai Buruh sekaligus Presiden FSPMI dan Wakil Ketua KSPI menyatakan, "Saat ini masyarakat kita dimiskinkan secara struktural, buruh makin menderita. Buruh kesulitan membeli kebutuhan pokok (beras), Tapera tidak masuk akal, belum lagi dengan naiknya pajak PPN."
Melihat rekam jejak program sebelumnya dengan nama Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (BAPERTARUM-PNS). Terjadi masalah dalam mekanisme pengelolaannya, seperti belum cairnya dana 124.960 pensiun, ada juga PNS yang sudah bekerja selama 30 tahun, tetapi belum bisa membeli rumah.
Negara wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat, mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pasalnya kondisi tersebut mengakibatkan kesejahteraan makin menurun dan masyarakat sudah tidak percaya kepada pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan, pun ketika pemerintah mengelola dana umat. Contohnya seperti kasus Jiwasraya yang gagal bayar dan dana Asabri yang dikorupsi senilai 22.788 triliun.
Tapera menambah bukti bahwa negara tidak memiliki politik penyediaan rumah yang sahih bagi rakyat, sekaligus bukti kebijakan zalim karena memberatkan rakyat di tengah banyaknya potongan dan pungutan. (macam-macam pajak, iuran BPJS, dll.)
Kejadian di atas adalah akibat pemerintah keliru dalam mengelola keuangan umat. Mestinya setiap kebijakan dipastikan tidak ada pihak yang dirugikan. Kebijakan yang dirumuskan haruslah bermoral dan beretika, jika tidak ingin mendatangkan kezaliman bagi umat. Sementara dari pihak buruh dan masyarakat umum sebenarnya sudah memiliki kesadaran akan kondisi rusak saat ini, begitu pula keberanian dalam menyampaikan pendapat dan menolak kebijakan yang tidak sesuai. Hanya saja, kaum buruh dan masyarakat belum memiliki kekuatan politik yang menjadikan mereka lemah tak berdaya.
Urgensi Kemiskinan
Kondisi sulit saat ini seharusnya menjadi fokus utama bagi negara yang mengakibatkan masyarakat dilanda kemiskinan dan kesengsaraan. Taraf hidup masyarakat jauh dari kelayakan karena banyak yang terimpit kondisi memprihatinkan, terjerat pinjol berbunga, tidak mampu menikmati pendidikan, bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
Itulah ironi menyedihkan yang makin hari makin menjadi. Kondisi ini tercipta karena kita hidup di tengah sistem ekonomi kapitalis sekuler yang meniscayakan kesuksesan kepada para pemilik modal besar atau sebut saja para oligarki. Menjadikan pundi-pundi uang tidak beredar secara merata. Sumber-sumber kekayaan alam dikuasai oleh segelintir korporasi swasta maupun asing.
Negara sebenarnya mampu menjadi daulah ri'ayah (negara pengurus), dengan menguasai dan mengelola sumber-sumber kekayaan alam yang ada di bumi Nusantara. Namun, saat ini negara berkolaborasi dengan para pengusaha untuk mengelola sumber daya alam seperti batu bara, yang saat ini pengelolaannya diserahkan kepada 11 perusahaan besar di Indonesia. Hal ini menyebabkan sebagian besar keuntungan mengalir deras kepada para pengelola.
Islam Merupakan Way of Life
Kondisi yang terjadi menegaskan adanya pergeseran hukum dan mental dalam kehidupan dan berpolitik. Dalam pandangan Islam, negara merupakan pengurus layaknya penggembala kambing yang senantiasa memastikan kondisi gembalaannya terurus dengan baik.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali telah menggembalakan kambing.” Lalu para sahabat beliau bertanya: “Demikian juga engkau?” Beliau menjawab: “Ya, aku dahulu menggembalakan kambing milik seorang penduduk Makkah dengan imbalan beberapa qiraath.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak seharusnya negara mengeluarkan kebijakan yang membebani masyarakat, karena pemimpin diumpamakan seorang penggembala maka harusnya mengurus dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai negara ini menjadi daulah jibayah (negara pemalak), yang memaksakan setiap kebijakan tanpa memandang dampak yang dirasakan oleh masyarakat.
Sebagai seorang muslim kita harus memandang segala permasalahan hidup melalui kacamata Islam. Jika ingin kondisi ini berubah maka kita pun harus mengubah cara pandang kita dalam setiap masalah, termasuk bagaimana mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat dalam memiliki hunian.
Ketika negara sudah mampu mengurus masyarakat dengan baik sesuai dengan apa yang Allah Swt. perintahkan, maka secara berangsur-angsur kehidupan masyarakat akan membaik. Bayangkan jika negara secara penuh menguasai serta mengelola kekayaan alam dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan masyarakat. Bukan hal sulit bagi negara untuk memberikan hunian yang layak bagi masyarakat dengan sumber dana yang dimiliki.
Itulah yang dilakukan daulah Islam dahulu dalam mengurus rakyatnya, dengan mengelola sumber-sumber kekayaan alam bumi dan mengelola keuangan negara dengan baik melalui baitulmal. Karena dalam Islam sumber daya alam merupakan milkiyah 'ammah yang artinya kepemilikan umum.
Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Hadis di atas menjelaskan bahwasanya sumber daya alam merupakan harta milik umum. Hal tersebut menegaskan jika sumber kekayaan alam hanya boleh dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat.
Kembali kepada Jalan Islam
Kesimpulannya ialah sebagai pemimpin harus mampu menentukan sikap serta paham hal mana yang begitu darurat untuk disikapi, kemudian konsep kepemilikan kekayaan alam harus jelas sekaligus transparan, distribusi kekayaan alam diperuntukkan kepada umat, dan yang terpenting ialah mengubah arah perekonomian kita dengan konsep yang sahih sesuai dengan syariat.
Negara dalam Islam merupakan agen utama yang akan mendistribusikan ekonomi secara adil. Semua hanya mampu diwujudkan secara sempurna manakala negara dan umat kembali kepada jalan Islam satu-satunya, dengan menjalankan roda kehidupan serta berpolitik berdasarkan panduan syariat.
Maka, program Tapera bukanlah solusi untuk kepemilikan rumah di tengah kesulitan ekonomi umat. Hal ini karena Islam menjadikan rumah sebagai kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara, bukan dibebankan kepada individu.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar