Ketahanan Pangan, Kapan Terwujud?

🖤Admin MKM

Perhatian terhadap ketahanan pangan dalam Islam tentu berbeda dengan kondisi saat ini. Negara dalam Islam harus memastikan petani mendapat jaminan optimal dalam proses produksinya. 

OPINI

Oleh Ummu Nadiatulhaq 

Aktivis Muslimah 


MKM, OPINI_Presiden Joko Widodo memaparkan anggaran ketahanan pangan di Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 hanya sebesar Rp124,4 triliun. Pengamat Pertanian Syaiful Bahari melihat nominal itu sama sekali tidak mencerminkan adanya perencanaan strategis untuk penguatan sektor pertanian nasional. (mediaindonesia.com, 16-8-2024)


Ketahanan pangan merujuk pada kondisi di mana semua orang memiliki akses yang cukup, aman, dan bergizi terhadap pangan yang diperlukan untuk hidup sehat. Konsep ini mencakup beberapa aspek penting:


Pertama, Ketersediaan Pangan. Memastikan adanya pasokan pangan yang cukup, baik dari produksi domestik, impor, atau stok cadangan.


Kedua, Akses Pangan. Memastikan bahwa masyarakat dapat memperoleh pangan yang diperlukan dengan mudah. Ini melibatkan kemampuan finansial dan aksesibilitas geografis ke pasar pangan.


Ketiga, Pemanfaatan Pangan. Mengacu pada penggunaan pangan secara efektif untuk memenuhi kebutuhan gizi. Ini melibatkan pemahaman dan praktik yang tepat mengenai konsumsi pangan yang bergizi dan aman.


Keempat, Stabilitas Pangan. Menjamin bahwa ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan tidak terganggu oleh fluktuasi harga atau krisis lainnya sehingga pangan tetap tersedia dan terjangkau dalam jangka panjang.


Ketahanan pangan berhubungan erat dengan keamanan pangan dan melibatkan berbagai strategi, seperti peningkatan produksi pangan, pengembangan sistem distribusi yang efisien, dukungan untuk petani, serta kebijakan yang mendukung. Selain itu, ketahanan pangan merupakan persoalan penting bagi negara dan tergantung kepada kedaulatan negara.


Dilihat dari besarnya anggaran dalam RAPBN 2025, saat ini negara terlihat tidak serius menangani ketahanan pangan. Petani yang kesulitan mengolah lahan karena tidak mempunyai modal untuk membeli pupuk yang mahal akhirnya beralih profesi dan membiarkan tanahnya tidak digarap. Hal itu karena anggaran yang diberikan pada petani juga makin berkurang, baik untuk penyediaan bibit maupun pupuk bersubsidi. 


Ada juga petani yang lahannya sudah beralih fungsi menjadi bangunan atau infrastruktur, seperti di bandara Kertajati Majalengka karena para petani pemilik lahan terpaksa menjual tanahnya dan beralih profesi. Selain itu, negara saat ini lebih condong membuka seluas-luasnya keran impor, padahal impor yang tidak terkendali menyebabkan penjajahan dalam ekonomi. Inilah gambaran ketika diurus oleh sistem kapitalis. Kekuasaan hanya digunakan untuk mencari keuntungan bukan untuk mengurus rakyat.


Perhatian terhadap ketahanan pangan dalam Islam tentu berbeda dengan kondisi saat ini. Negara dalam Islam harus memastikan petani mendapat jaminan optimal dalam proses produksinya. Negara melakukan langkah yang jelas dan riil, diantaranya:


Pertama, negara memastikan kebijakan sektor hulu berjalan dengan baik dengan upaya meningkatkan produksi pertanian melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian agar hasil panen optimal. Misalnya, negara memberi bantuan dalam berbagai bentuk, seperti subsidi modal, peralatan, benih, teknologi, teknik budaya, obat-obatan, research, pemasaran, informasi, dan sebagainya. Pemimpin negara akan memerintahkan dewan 'atha (biro subsidi) per wilayah untuk mengatur dana di baitulmal untuk menjamin petani mendapat subsidi yang layak dan cukup.


Adapun ekstensifikasi diarahkan untuk meluaskan lahan pertanian yang diolah dengan kebijakan, misalnya tidak boleh mengalihfungsikan lahan subur, kebolehan menghidupkan tanah mati, pemagaran (tahjir), atau memberi tanah pertanian (iqtha') yang dimiliki negara kepada siapa saja yang mampu mengolahnya. Dalam Islam, hukum menghidupkan tanah mati atau mengusahakan tanah yang tidak produktif diatur dalam syariat. Prinsip utamanya adalah bahwa jika tanah tersebut tidak dimanfaatkan dan tidak ada yang mengusahakannya, seseorang yang mengerjakannya dengan cara yang sah dan bermanfaat dapat mengklaim hak atas tanah tersebut. Ini merujuk pada prinsip "ihya' al-mawat" (menghidupkan tanah mati), yang merupakan praktik untuk mengubah tanah yang tidak produktif menjadi produktif. 


Muslim dan kafir zimi memiliki hak yang sama, berdasarkan hadis berikut:


Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka dia berhak atas tanah itu." (Hadis riwayat Muslim)


Dari Abu Dawud dan At-Tirmidzi, Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa menghidupkan tanah yang mati, tanah itu menjadi miliknya." (Hadis riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi)


Adapun memagari tanah (tahjir al-ardh) statusnya sama persis dengan menghidupkan tanah mati. Berdasarkan sabda Rasulullah saw., "Siapa saja yang memagari sebidang tanah dengan pagar, tanah itu menjadi miliknya."(HR Abu Dawud)


Setiap yang memiliki tanah, harus mengelolanya secara optimal. Namun, jika diabaikan selama tiga tahun, tanah tersebut akan diambil negara dan diberikan kepada yang lain. Khalifah Umar bin Khaththab ra. mengatakan, "Orang yang memagari tanah tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun."


Kedua, kebijakan sektor hilir mendukung distribusi hasil panen tersebar merata. Hal ini diwujudkan dengan membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dan sejenisnya agar arus distribusi lancar. Ketika harga bahan pangan di pasar jatuh, negara akan memastikan bahwa harga pasar stabil. Selain itu, negara akan membiarkan harga pangan mengikuti mekanisme pasar. Kemudian, negara juga melakukan pengawasan pasar hingga tidak terjadi penipuan dan pendistribusian yang tidak tepat.


Ketiga, negara mengambil kebijakan intervensi pasar dengan menyuplai barang ketika barang tersebut langka. Kebijakan ini akan diambil oleh negara ketika negara menemui ketidakseimbangan penawaran dan permintaan. Negara akan meminta daerah yang surplus untuk mengirimkan stok pangan ke daerah yang minus. Kebijakan ini pernah diambil oleh Umar bin Khaththab tatkala masa paceklik di daerah Hijaz. Beliau mengirimkan surat kepada gubernurnya di Mesir dan gubernur di Kufah untuk mengirim bantuan.


Stabilitas ketahanan pangan dalam Daulah Islam umumnya terjaga pada beberapa periode penting dalam sejarahnya, terutama di bawah khalifah-khalifah tertentu. Berikut adalah beberapa periode di mana ketahanan pangan dianggap relatif stabil:


Pertama, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab (634-644 M).

Pemerintahannya dikenal dengan kebijakan agraria yang efisien dan reformasi sistematis. Umar memperkenalkan berbagai kebijakan yang meningkatkan produksi pertanian dan memperkuat infrastruktur irigasi. Dia juga mendirikan gudang-gudang pangan di berbagai wilayah untuk menghadapi kemungkinan krisis pangan. Khalifah Umar bin Khahthab ra. pernah memberikan harta dari baitulmal kepada para petani di Irak untuk membantu mereka menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka, tanpa meminta imbalan dari mereka.


Kedua, pada masa Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M).

Masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah juga dikenal dengan stabilitas ketahanan pangan yang baik. Harun al-Rasyid dikenal karena kebijakan agrarisnya yang mendukung pertanian dan perdagangan. Dia juga mengelola distribusi pangan dengan baik melalui baitulmal dan gudang-gudang penyimpanan pangan, serta memantau harga pangan untuk menjaga kestabilan pasar.


Ketiga, Khalifah al-Ma'mun (813-833 M).

Di bawah Khalifah al-Ma'mun, yang juga dari Dinasti Abbasiyah, terdapat peningkatan dalam administrasi dan sistem pengelolaan pangan. Al-Ma'mun memperkenalkan reformasi yang lebih lanjut dalam sistem pertanian dan distribusi pangan, yang membantu menjaga kestabilan dan ketersediaan pangan.


Inilah gambaran upaya optimal negara untuk menjaga ketahanan pangan yang dilakukan oleh Islam. Islam betul-betul berupaya agar rakyatnya sejahtera dan terpenuhi kebutuhan primernya.


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan