Penghasilan Pajak Naik, Apakah Kesejahteraan Rakyat Naik
![]() |
🖤Admin MKM |
Di dalam penerapan sistem Islam, pajak bukanlah pendapatan utama bagi negara, bahkan pajak adalah pilihan terakhir yang akan diterapkan negara saat kas Baitulmal benar-benar kosong. Dengan demikian rakyat tidak akan dibebani dengan banyaknya pungutan pajak.
OPINI
Oleh Ummu Saibah
Sahabat Muslimah Kaffah Media
MKM, OPINI_Menteri keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan untuk membangun negara yang sejahtera dan adil dibutuhkan dukungan penerimaan pajak yang baik. Beliau juga menyampaikan terkait perkembangan penerimaan pajak negara yang terus meningkat dari masa ke masa. Terlihat dari pencapaian pajak tahun 1983 sekitar Rp13 triliun, memasuki era reformasi tahun 1999 meningkat menjadi Rp400 triliun dan tahun 2024 pencapaian pajak ditargetkan mencapai Rp1.988,9 triliun. Bahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia juga melakukan kerja sama dengan Kantor Pajak Australia (ATO) untuk meningkatkan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan. (liputan6.com 04-07-2024)
Sungguh ironis kehidupan di dalam sistem kapitalisme. Meningkatnya jumlah penerimaan pajak menjadi sebuah kebanggaan, walaupun fakta menunjukkan peningkatan penerimaan pajak tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya pungutan pajak sangat membebani kehidupan rakyat, terutama rakyat dengan perekonomian menengah ke bawah.
Banyaknya penerimaan pendapatan pajak tidak bisa menjadi tolok ukur kesejahteraan rakyat, yang terjadi rakyat bekerja keras lalu menyetorkan pendapatan mereka untuk membiayai penyelenggaraan negara.
Pajak dalam Sistem Kapitalisme
Kehidupan rakyat di dalam sistem kapitalisme sangat memprihatinkan, selain memenuhi kebutuhan pokok, rakyat juga terbebani dengan pajak yang bersifat wajib bagi seluruh rakyat tanpa memandang tingkat perekonomian. Peningkatan penerimaan pajak sejatinya menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyat.Tidak tanggung-tanggung, dari penghasilan, kepemilikan tanah dan bangunan, pertambahan nilai, penjualan atas barang mewah, bea meterai, kepemilikan kendaraan bermotor, usaha seperti hotel dan restoran, bahkan air dan hiburan semua dikenai pajak. Bagaimana kehidupan rakyat tidak makin berat dengan banyaknya pungutan pajak tersebut. Sementara sumber pendapatan dihargai dengan upah minimum dan masih harus dikeluarkan untuk biaya pendidikan, kesehatan juga perumahan yang relatif mahal.
Begitulah buruknya penerapan sistem kapitalisme, rakyat dipaksa untuk membayar pajak. Hal itu karena pajak dipergunakan untuk berbagai pengeluaran negara, seperti pembangunan fasilitas umum, membayar gaji para pegawai, dan untuk membayar utang luar negeri. Tak heran pajak menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar bagi negara, bahkan tarif pajak negeri ini cukup tinggi dari Malaysia dan Singapura mencapai 30% untuk perusahaan dan 20% untuk individu. Penerimaan pajaknya mencapai 78,57% dari pendapatan negara, sisanya 6.71% adalah penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA).
Dengan kata lain, di dalam sistem kapitalisme jelas sekali bahwa negara tidak berperan sebagai pengurus urusan rakyat dan tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyat, tetapi rakyatlah yang membayar untuk mendapatkan kesejahteraan mereka sendiri. Negara hanya berfungsi sebagai fasilitator dan regulator yang dibayar oleh rakyat untuk membuat kebijakan-kebijakan yang mengatur tata kelola urusan rakyat dan membangun fasilitas yang diperlukan oleh rakyat. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan fungsi negara di dalam sistem islam.
Walaupun kita temukan di negara-negara maju seperti Jerman, Amerika, dan Swiss, rakyat mendapatkan pelayanan yang baik dari negara karena nilai pungutan pajak yang tinggi. Hal itu tidak bisa dikatakan bahwa negara telah melaksanakan kewajibannya dengan baik dan bersikap adil kepada rakyat. Pasalnya, tugas negara adalah mengurus urusan rakyat dan menjamin kesejahteraan rakyat, bukan hanya sebagai fasilitator dan membebani rakyat dengan tingginya pungutan pajak. Sebuah bentuk kezaliman apabila negara mewajibkan rakyatnya untuk membayar pajak, apalagi dengan nilai yang tinggi, sehingga membebani kehidupan rakyatnya.
Adakah Pajak dalam Sistem Islam?
Di dalam penerapan sistem Islam, pajak bukanlah pendapatan utama bagi negara, bahkan pajak adalah pilihan terakhir yang akan diterapkan negara saat kas Baitulmal benar-benar kosong. Dengan demikian rakyat tidak akan dibebani dengan banyaknya pungutan pajak.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena pendapatan negara diperoleh dari banyak sumber, seperti hasil pengelolaan sumber daya aalam (SDA), kharaj, fai, jizyah, zakat, dan masih banyak lagi. Dengan demikian, negara memiliki cukup dana, bahkan lebih untuk membiayai penyelenggaraan negara maupun menjamin kesejahteraan rakyat. Itulah keadilan yang ditawarkan oleh sistem Islam. Negara akan digiring untuk melaksanakan kewajibannya, yaitu mengurusi urusan rakyat karena Islam menetapkan negara sebagai pengurus urusan rakyat, sesuai dengan sabda Rasulullah saw:
"Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Selain itu, Islam pun menjamin agar rakyat mendapatkan keadilan dan terpenuhi hak-haknya secara merata. Oleh karena itu, Islam memiliki sistem kepemilikan yang jelas.
Sistem ini mengatur harta yang boleh dimiliki oleh individu, seperti harta yang didapatkan dari bekerja, hibah, waris, dan hadiah. Juga mengatur harta yang boleh dimiliki oleh negara, seperti tanah, bangunan, dan lainnya serta harta yang merupakan milik bersama, dalam arti boleh diambil manfaatnya untuk kepentingan umum, seperti sumber daya alam baik migas maupun nonmigas, laut, mata air, padang rumput, hutan, dan lainnya. Seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw :
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dengan demikian, tidak akan terjadi monopoli SDA oleh Individu ataupun korporasi.
Harta milik negara dan milik umum akan dikelola oleh negara dan hasilnya menjadi pendapatan negara yang akan didistribusikan kepada rakyat. Hasil-hasil tersebut berupa pembangunan fasilitas-fasilitas umum ataupun pelayanan lainnya, seperti pembiayaan pendidikan maupun kesehatan bagi rakyat, bahkan untuk membayar gaji pegawai negeri dan keperluan penyelenggaraan negara lainnya. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa di dalam sistem Islam negara benar-benar menjalankan fungsinya sebagai pengurus urusan rakyat, bukan hanya sebagai fasilitator dan regulator saja. Rakyat dilayani dengan sebaik-baiknya, tidak dibebani dengan pungutan pajak yang menyusahkan. Sayangnya semua itu hanya akan terwujud bila sistem Islam diterapkan secara kafah di dalam seluruh sendi kehidupan. Oleh karena itu, dibutuhkan keberanian dan persatuan umat Islam untuk mewujudkannya, mengganti penerapan sistem kapitalisme dengan penerapan sistem Islam. Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar