Bangun Rumah di Sistem Kapitalis Sungguh Ironis



 Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara.

OPINI 

Oleh Isti Khomah

Ibu Rumah Tangga


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Rumah adalah bangunan yang dirancang untuk menjadi tempat tinggal bagi individu atau keluarga yang memberikan perlindungan serta kenyamanan bagi penghuninya. Rumah sudah menjadi kebutuhan pokok untuk dipenuhi secara esensial.


Di dalam penerapan sistem kapitalis yang lebih mengedepankan kepemilikan individu, sering kali membawa dampak signifikan terhadap masyarakat.


Keterbatasan akses pekerjaan yang layak tidak bisa memberikan imbalan dalam memenuhi kebutuhan pokok, termasuk memiliki rumah. Sebagian besar pekerjaan yang berkembang adalah pekerjaan dengan upah rendah dan tidak menentu, seperti pekerjaan paruh waktu atau kontrak. Ini menyulitkan masyarakat untuk mengumpulkan dana yang diperlukan untuk membeli atau membangun rumah yang memadai. Akibatnya, banyak orang terpaksa tinggal di tempat yang tidak layak atau bahkan harus menyewa dalam jangka panjang. 


Bagi mereka yang berhasil membangun rumah, kenyataan pahit lainnya adalah tingginya pajak yang harus dibayar. Sistem perpajakan yang semakin meningkat justru menambah beban finansial bagi pemilik rumah. Pajak rumah yang tinggi menjadi beban tambahan yang sering kali tidak sebanding dengan penghasilan mereka. Kurangnya upaya pemerintah untuk meringankan beban rakyat, membuat rakyat kecil terjebak dalam kemiskinan dan ketidakmampuan untuk memiliki rumah.


Pajak Pertambahan Nilai (PPN) membangun rumah sendiri atau tanpa kontraktor akan naik dari 2,2 persen akan menjadi 2,4 persen mulai tahun depan.

Kenaikan itu sejalan dengan rencana kenaikan PPN secara umum dari 11 persen menjadi 12 persen. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

"Tarif PPN sebesar 12 persen yang mulai berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025," tulis Pasal 7 UU HPP. Kegiatan membangun sendiri yang dimaksud di aturan ini turut mencakup perluasan bangunan lama, bukan hanya pendirian bangunan baru. (CNNIndonesia.Com,15/09/2024)


Pengenaan pajak ini mencerminkan sebuah kenyataan bahwa negara, melepas tanggung jawabnya untuk menjamin kebutuhan papan masyarakat. Besaran pajak ini dihitung berdasarkan nilai tertentu, yang mencakup total biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan tersebut dalam setiap masa pajak hingga bangunan selesai. 


Dalam sistem ekonomi kapitalis, pajak menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara. Jika negara lebih mengutamakan pengumpulan pajak tanpa memperhatikan penyediaan infrastruktur perumahan yang memadai, maka masyarakat dapat terbebani. Masyarakat juga merasa frustrasi dan tidak puas dengan layanan publik jika pajak tinggi tidak diimbangi dengan kualitas layanan yang baik. Tingginya pajak akan mengurangi minat daya beli masyarakat sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Bagi investor domestik maupun asing mungkin juga akan mencari tempat yang beban pajaknya lebih rendah.


Islam menjamin kebutuhan bagi masyarakat termasuk tempat tinggal dan juga kemudahan akses pekerjaan. Islam juga mengatur pengelolaan tanah dengan berbagai hukum yang bertujuan untuk mencegah penelantaran dan memastikan penggunaan yang produktif. Seperti larangan penelantaran tanah selama lebih dari tiga tahun berturut-turut maka tanah tersebut akan diambil dan diserahkan ke pihak yang mampu mengelolanya. Selanjutnya Ihya al-Mawat yaitu dengan menghidupkan tanah yang mati. Jika seseorang berhasil mengolah tanah yang kosong, mereka akan berhak atas kepemilikannya. Rasulullah saw. bersabda, "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu (menjadi) miliknya. Dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim dengan menanaminya." (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)


Tanah dapat dimiliki dengan 6 cara menurut hukum Islam, yaitu melalui: jual beli, waris, hibah, ihya`ul mawat, tahjir (membuat batas pada tanah mati), iqtha` (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 51)


Salah satu prinsip penting dalam ekonomi Islam adalah bahwa negara memiliki sumber pendapatan yang berasal dari kepemilikan umum, sehingga tidak selalu bergantung pada pajak. Kepemilikan umum mencakup sumber daya alam dan aset-aset yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Dalam pandangan Islam, kekayaan ini harus dikelola untuk kepentingan umum, termasuk dalam pembiayaan berbagai kebutuhan masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Oleh karena itu, negara dapat menghasilkan pendapatan dari sumber daya alam, baitulmal dan hasil investasi.


Islam mengajarkan agar negara tidak membebani rakyat dengan pajak yang berlebihan. Konsep ini untuk menjaga kesejahteraan masyarakat dan mencegah ketidakadilan. Pajak hanya diperbolehkan dalam kondisi tertentu, terutama untuk mendukung kepentingan umum atau ketika terdapat kebutuhan mendesak. Pajak hanya dikenakan kepada kelompok tertentu, seperti orang-orang kaya (aghnia), yang memiliki kemampuan untuk membayar tanpa merugikan kehidupan sehari-hari mereka. Pajak diambil dalam keadaan darurat, seperti perang atau bencana, di mana pendapatan negara dari sumber lain tidak mencukupi. Maka dalam hal ini Islam tidak membebani rakyatnya dengan pungutan pajak.


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan