Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan


🖤Admin MKM



Bukankah pada diri manusia itu terdapat naluri kasih sayang? Allah Swt. menciptakan manusia sekaligus memberikan ghorizah nau kepadanya yang salah satunya untuk menyayangi anaknya. Hal ini juga terdapat pada hewan, yaitu naluri untuk melindungi anaknya dari ancaman yang membahayakan.

OPINI

Oleh Rati Suharjo 

Pegiat Literasi


Muslimahkaffahmedia.eu.org-Miris, nasib tragis dialami anak di Sumenep, Jawa Timur. Anak yang masih di bawah umur tersebut telah diperkosa oleh kepala sekolahnya sendiri, yaitu J (41) tahun. Dia merupakan pasangan selingkuh dari ibu korban yang berinisial T (13). Ibu korban E (41) merupakan seorang guru yang telah meridai, menyaksikan, dan mengantarkan anaknya untuk dicabuli selingkuhannya berulang kali. Sungguh sangat tragis. Alasannya, kepala sekolah tersebut akan memberikan vespa jika dirinya mau mengantarkan anaknya untuk diperkosa. Maka, dengan penuh kesadaran ibu korban pun mengantarnya. (detikjawatimur.com, 1/9/2024)


Hal ini tentu di luar dugaan manusia. Pasalnya, seorang ibu adalah panutan anak yang kedudukannya sebagai ummu warabatul bait. Anak bukanlah barang yang bisa dipermainkan sesuka hati. Walaupun sosok ibu yang melahirkan, tetapi ibu tidak boleh memperlakukan anak sekehendaknya sendiri. Bukankah anak adalah amanah yang harus dididik, dilindungi, dan disayangi? 


Bukankah pada diri manusia itu terdapat naluri kasih sayang? Allah Swt. menciptakan manusia  sekaligus memberikan ghorizah nau kepadanya yang salah satunya untuk menyayangi anaknya. Hal ini juga terdapat pada hewan, yaitu naluri untuk melindungi anaknya dari ancaman yang membahayakan.


Anak korban kekerasan seksual tentunya akan mengalami trauma yang sangat fatal di kehidupan mendatang, seperti kurang percaya diri, mudah emosi, dendam, dan lain-lain. Selain itu, akibat dari trauma tersebut sangat boleh jadi dia akan meluapkan emosinya dengan penyimpangan perilaku lainnya, seperti menerjunkan diri menjadi pelaku seksual, patah hati, atau bahkan bunuh diri.


Kerusakan moral seorang ibu terhadap anaknya bukan hanya tercermin kali ini. Sebelumnya, pada tanggal 9 Juni 2024 seorang ibu di Tangerang dan Bekasi juga tega mencabuli anaknya sendiri. Dengan iming-iming uang, mereka melakukannya penuh kesadaran. Setahun yang lalu di Bengkulu, seorang ibu yang terhimpit ekonomi rela menjual anaknya menjadi PSK.


Bejatnya seorang ibu tidak bisa disalahkan secara individu semata. Pasalnya, kehidupan saat ini diatur oleh kapitalisme sekular yang standar kehidupannya adalah manfaat. Halal dan haram tidak menjadi persoalan serius dalam beraktifitas, yang terpenting kesenangannya tercapai.


Sejatinya, naluri seorang ibu itu menjaga dengan sangat hati-hati anak-anaknya. Bahkan sosok ibu kerap lebih mencintai anaknya daripada dirinya sendiri. Allah Swt. telah menetapkan, bahwa selain sebagai hamba Allah, peran ibu dalam rumah tangganya adalah sebagai ummu warabatul bait, yaitu sebagai pendidik awal bagi anak-anaknya. Jika anak berakhlak buruk, maka orang lain akan melihat cerminan akhlak ibunya. Sebaliknya jika anak berakhlak baik, maka hal tersebut merupakan cerminan dari akhlak baik ibunya juga.

"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Hadis ini akan sulit dipraktikan jika negeri yang mayoritas muslim ini masih melanggengkan kapitalisme-sekularisme. Dalam penerapan sistem tersebut, Islam hanyalah dipandang sebagai agama yang mengajarkan ibadah ritual. Aspek kehidupan Islam secara keseluruhan, termasuk di dalamnya bagaimana pola mendidik anak menjadi generasi khoiru ummah yang tangguh pun ditinggalkan. Asas dalam kehidupan yang diterapkan bukanlah untuk mencari rida Allah Swt. Akan tetapi semata-mata tertuju dalam penilaian manusia atau kesenangan semata. Tidak peduli perbuatan yang dilakukan tersebut apakah melanggar hukum Sang Pencipta  Allah Swt. ataukah tidak.


Dengan demikian, rusaknya moral ibu bukanlah kesalahan individu semata. Akan tetapi negara juga ikut berperan. Penerapan sistem pendidikan berbasis kapitalisme sekularisme nyata-nyata tidak mampu mencegahnya. Demikian pula sistem pemberian sanksi atas pelanggaran semacam ini pun tidaklah menyolusi. 


Dalam pemberian sanksi, hukum di negeri ini adalah hasil dari kesepakatan manusia. Karenanya wajar jika tidak bisa menuntaskan semua masalah. Hal ini terlihat misalnya dari rumah tahanan narapidana yang saat ini overload. Makin banyak penghuninya seiring waktu. Sanksi yang dibuat manusia pun nyata-nyata tidak memberikan efek jera bagi masyarakat. 


Jika pezina tidak diberi hukuman sesuai hukum Islam, yaitu dirajam bagi seorang yang muhsan atau sudah menikah dan dicambuk bagi yang belum menikah, maka negeri yang mayoritas muslim ini niscaya dibanjiri para pezina.


Begitu juga dalam bidang pendidikan, negara harus merubah sistem pendidikan dengan penerapan sistem pendidikan Islam. Sistem yang diturunkan dari Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan akan melahirkan individu-individu  berakidah Islam. Pola pikir dan pola sikapnya yang diturunkan darinya akan menuntun pada terbentuknya jati diri seorang yang patuh dan tunduk pada-Nya. Lingkungan masyarakat pun ikut tumbuh, saling mempraktikkan amar makruf nahi mungkar, menjadi penebar-penebar kebaikan di muka bumi ini.


Kehidupan seperti ini hanya akan terwujud jika negara menerapkan Islam secara kafah. Baik dalam aspek ideologi, politik, sosial, budaya, dan ekonomi, maupun aspek pertahanan dan keamanan. Rasulullah saw. telah mencontohkannya pada saat beliau menerapkannya dalam kerangka institusi Daulah Islamiyah di Madinah. 

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan