Syukur Nikmat
Semua kembali kepada rasa syukur, Fa. Jika kita bersyukur, bentuk mana pun yang menjadi bagian kita, akan terasa cukup.
CERPEN
Oleh Eni Suswandari
Pendidik Generasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org-"Motor kamu baru, Fa? Bagus banget, Masya Allah," ungkap Rania tulus sambil mengamati Safa memarkirkan motor barunya. Yang diajak bicara hanya mengangguk dan tersenyum manis. Safa dan Rania beberapa waktu belakangan sering terlibat bincang berdua. Keduanya sering datang awal di sekolah. Sehingga mereka sering memanfaatkan waktu dengan obrolan ringan dan saling bertukar pikiran. Seperti pagi ini, saat Rania melewati area parkir yang masih sepi kendaraan, ada Safa yang sedang memarkir kendaraannya. Tentu kesempatan itu mereka manfaatkan untuk bercengkrama.
Safa merupakan siswa dengan latar belakang ekonomi yang sangat mapan. Tak hanya motor, ia juga kadang ke sekolah dengan mengendarai mobil. Ayahnya yang pengusaha dan ibunya yang seorang pemilik _wedding organizer_ menjadikan kehidupan Safa terfasilitasi dengan baik. Berbanding terbalik dengan Rania. Namun begitu, akhir-akhir ini Safa justru merasa nyaman berteman dengan Rania yang sederhana itu.
"Iya, Ra," jawab Safa singkat. Bagi Safa kendaraan baru, berbagai fasilitas baru merupakan hal yang biasa saja.
"Orang tua kamu pasti sayang banget ke kamu, Fa. dan yang pastinya kaya raya, kan? Motor yang kemarin saja masih bagus, sudah ganti motor baru lagi. Malah sering bawa mobil, kan?" Puji Rania menghangatkan suasana.
"Untuk urusan harta benda memang begitu, Ra. Tapi kalau kehangatan dan kasih sayang, orang tuaku miskin. Aku saja sering menatap iri melihat keluarga lain yang penuh kehangatan, Ra." Terangnya panjang lebar dengan mata menerawang hampa, lurus ke depan. Ia menghembuskan napas kasar mengurai sesak di dadanya jika membahas tentang keluarga.
"Begitulah, Fa? Mungkin ini perihal penerimaan pemberian hidup, Fa." Lirih Rania hati-hati takut menyinggung Safa. Rania sejujurnya belum paham sifat asli Safa. Karena itu, ia juga belum berani blak-blakan.
"Maksudnya?" tanya Safa penasaran, seraya mengarahkan pandangan pada Rania. Mereka masih berjalan beriringan menuju ruang kelas.
"Hidup ini kalau kata orang Jawa, sawang-sinawang. Sawang sinawang itu, bisa dikatakan saling melihat yang ada pada orang lain. Kalau kata pepatah, rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau. Yang ada pada kita terasa biasa banget. Sebaliknya, yang ada pada orang terasa sangat menarik bagi kita. Kecukupan yang Safa punya bisa jadi merupakan perkara yang diimpikan dan diidamkan oleh orang lain. Begitu juga hal yang Safa dambakan ada pada orang lain. Semua kembali kepada rasa syukur, Fa. Jika kita bersyukur, bentuk mana pun yang menjadi bagian kita, akan terasa cukup." Terang Rania.
Seperti ada rasa yang merambat masuk ke dalam hati Safa. Ingin mencurahkan lebih banyak lagi uneg-uneg yang selama ini ia pendam. Bagi Safa, Rania merupakan pendengar yang baik. Selain itu, kalimatnya sederhana tapi penuh hikmah. Baru kali ini Safa merasakan memiliki teman yang tak hanya bicara hura-hura. Selalu ada nasihat baik yang menentramkan hati saat diskusi dengannya. Akhirnya mereka tiba di kelas. Niat untuk bincang lebih banyak terpaksa harus urung sebab siswa lain mulai berdatangan. Suasana kelas mulai ramai.
"Eh, Safa, sejak kapan nyaman jalan bareng sama SSK ini? Lo, nyambung Fa, bincang ama dia? Coba, Fa deket ama orang tuh, lihat-lihat levelnya. Jangan asal. Dan kamu SSK mau manfaatin Safa buat upgrade level hidup, lo?" Celetuk Selvi melihat Safa dan Rania memasuki kelas berdua. Selvi adalah salah satu sahabat dekat Safa sejak SMP.
Demi menghindari perdebatan yang lebih panjang, Safa mendekat ke arah Selvi agar tak melanjutkan kalimat hinaan pada orang lain. Begitulah selama ini lingkungan pergaulan Safa. Sirkel pergaulan yang selalu memandang segala hal dari sisi materi dan kemewahan. Baru kali ini Safa bisa dekat dengan Rania yang justru menghadirkan kesan istimewa di hatinya.
"SSK apaan sih, Sel? Kamu gelari Rania SSK," bisik Safa penasaran.
"Si Serba Kurang," jawab Selvi dengan nada mengejek.
"Astaghfirullah. Jangan suka merendahkan orang seperti itu, Sel. Itu juga kan teman kita," ungkap Safa mengingatkan.
"Apa? Sejak kapan kamu belain anak kasta bawah itu, Fa? Kamu sudah kesihir ama mantra kampungan dia? Pakai istighfar segala. Jangan jadi golongan rendahan sih, Fa," protes Selvi tak terima. Safa hanya menggeleng pelan. Percuma dilanjutkan. Dia paham betul sifat sahabatnya itu. Makin dilanjutkan akan makin panjang lebar umpatan pedas keluar dari lisannya.
Begitulah manusia. Kadang kekayaan yang sebenarnya hanya titipan Tuhan justru menjadi jalan kesombongan. Padahal, sewaktu-waktu kekayaan itu bisa saja Allah renggut. Kekayaan hanyalah ujian apakah yang bersangkutan akan bersyukur atau justru kufur. Manusia sering lupa bahwa Yang Maha Kaya hanyalah Tuhan. Manusia hanya dititipi saja, angkuhnya bukan kepalang.
Jam pelajaran telah berlalu sehari itu. Seperti biasa, Rania tidak bergegas pulang. Dia memang selalu hadir lebih awal dan pulang paling akhir setelah seluruh siswa di kelas tak bersisa selain dirinya.
Safa yang semula telah menuju parkir kendaraan, kembali ke kelas. Ada rasa penasaran yang terpendam dalam hatinya akan kebiasaan Rania. Ia sengaja ingin mencari tahu.
"Rania, kok belum pulang?" Telisik Safa ingin tahu.
"Ini juga mau pulang, Fa. Nunggu sepi aja. Ayok kita pulang!" Rania bangkit menggandeng tangan Safa.
"Kamu naik apa, Ran?" tanya Safa masih mencari tahu.
"Aku jalan, Fa. Selama ini aku sampai di sekolah paling awal, pulang paling akhir karena aku jalan kaki." Terang Rania sambil tersenyum.
"Aku tak ingin jadi pusat perhatian. Bukan karena malu aku ini orang miskin, tapi demi menjaga rasa nyaman saja, Fa. Kamu tahu kan tidak semua orang bisa empati dengan keadaan kita. Yang ada zaman sekarang malah perundungan terhadap orang yang terlihat lemah. " Lanjutnya sambil terus melangkah di samping Safa.
"Aku antar ya? Biar aku tahu rumah kamu," tawar Safa tulus.
"Boleh. Tapi jangan kaget lihat rumah aku ya? Sederhana banget," ucap Rania sambil mengatupkan ibu jari dan telunjuk menganalogikan keadaan rumahnya. Rania sengaja bersedia diantar oleh Safa. Ia berharap hal itu bisa memberikan pelajaran pada Safa bahwa hidupnya jauh lebih beruntung saat ini.
"Apa sih, Ra? Biasa aja. Kata kamu, yang terpenting dalam hidup kita adalah rasa syukur. Ayolah keburu sore!" Safa bergegas mempercepat langkahnya begitu pula Rania yang ada di sisinya.
Perjalanan dari sekolah menuju rumah Rania cukup ditempuh hanya lima menit saja. Tidak terlalu jauh memang. Tidak sampai 1 km. Tapi kalau berjalan kaki lumayan juga. Apalagi bagi Safa yang selalu terfasilitasi dengan keberlimangan selama hidupnya. Mana kenal ia jalan kaki. Malah hatinya merasa prihatin kepada Rania, sahabatnya.
Deg.
Ada getar yang menjalar di dada Safa setibanya di halaman rumah Rania. Ditatapnya bangunan sederhana di hadapannya itu. Sebuah rumah kecil dengan dinding papan yang sebagian telah lapuk. Ukuran rumah yang sekitar 6x5 m itu mengundang haru di dada Safa. Halaman tak terlalu luas tapi tampak bersih dan dikelilingi pohon yang menjadikan suasana tampak asri. Beraneka jenis bunga tampak indah menghiasi halaman rumah Rania. Pasti pemiliknya rajin, batinnya.
"Ayo, masuk! Jangan bengong di sini. Inilah gubuk tempatku bernaung bersama Bapak."
Panggilan Rania menyadarkan lamunan Safa. Tanpa penolakan Safa mengekori langkah Rania ke dalam rumah.
Dipandangi bangunan super sederhana di hadapannya. Netranya mengedar meski dengan sikap yang tidak terlalu mencolok. Sebuah ruangan sederhana. Hanya ada ruang tamu, dua kamar, dan satu lagi ruangan dapur. Lantainya semen, tapi masih kasar. Tak ada perabotan mahal atau pajangan apapun di semua ruangan. Entah kalau di kamarnya. Hanya satu kamar yang ada daun pintunya. Itu lah kamar Rania. Kamar bapaknya hanya ditutup kain panjang yang diikat ujungnya dengan tali rapia. Warnanya juga sudah usang. Kamar mandinya ada di luar rumah. Sebuah dinding dari papan dan plastik berwarna biru mengitari agar tak tembus pandang dari luar. Sumurnya masih menggunakan tali timba.
Safa duduk di sebuah bangku panjang berbahan bambu. Tak ada sofa empuk seperti di rumah Safa. Apalagi kursi goyang dan ayunan untuk bersantai. Hatinya tersentuh melihat pemandangan di depannya.
"Fa, aku ga punya hidangan apa-apa. Tapi ini ada agar-agar rumput laut. Ini rumput laut asli, aku yang masak. Bapak yang dapat rumput laut mentahnya. Nah, setelah dikeringkan, dicuci bersih, diolah sedemikian rupa, jadilah hidangan yang sehat. Coba deh, enak versi aku, hehe." Celoteh Rania membuyarkan pikiran Safa. Safa yang hatinya telah tersentuh dengan segala pemandangan yang ada di hadapannya, tanpa ragu segera mencicipi suguhan dari Rania.
"Enak," ungkap Safa jujur. "Ini kamu yang bikin, Ra?" Lanjutnya penasaran seraya mengambil potongan kedua. Ternyata makanan sederhana itu, pas rasanya di lidah Safa.
"Iya. Aku belajar dari tetangga yang memang mahir urusan masakan," jelas Rania.
"Ibuku sudah lama tiada, Fa. Aku hanya tinggal dengan Bapak. Jadi, soal masakan aku sering belajar dari ibu-ibu di sekitar sini. Bapak sendiri karena sibuk mencari sesuap nasi untuk kami melangsungkan hidup, beliau berangkat pagi pulangnya petang. Bapak nelayan kecil, Fa. Jadi kadang dapat ikan, kadang rumput laut, kadang juga dapat udang. Apa saja. Kadang Bapak juga upahan kerja harian jika sedang tidak melaut." Tanpa Safa tanya cerita itu meluncur dari lisan Rania. Ia tak pernah malu dengan keadaan keluarganya. Sebab bagi Rania, hidup hanya tentang sikap syukur terhadap apa yang telah digariskan oleh Pencipta. Safa hanya bisa menelan salivanya. Ia tertegun dengan kisah temannya itu.
Di mata Safa, Rania adalah gadis mandiri, baik, sederhana, dan yang pasti pemikirannya dewasa. Prestasi di sekolah juga bukan main-main. Gadis berkulit sawo matang itu sudah dua tahun berturut-turut meraih juara umum untuk prestasi hasil belajar. Safa kira, prestasi itu diraih karena Rania dari keluarga berada. Jadi, selain belajar di sekolah, ada kelas tambahan berupa bimbel atau lainnya. Ternyata justru sebaliknya. Ia bahkan hidup dalam keterbatasan. Hanya saja Rania itu gadis yang tekun, rajin, dan pastinya dekat dengan pencipta. Jalur langit tak main-main memang.
"Kamu hebat, Ra. Kamu bisa sekuat ini menjalani hidup. Aku jadi malu. Mengeluh saja kerjaanku. Aku selalu menatap kebahagiaan orang lain tanpa menyukuri apa yang telah Tuhan beri," ungkap Safa lemah. Pandangannya terhadap hidup mulai berubah.
"Aku udah bilang kan, Fa. Hidup ini tentang penerimaan kita terhadap apa yang kita punya. Apa yang ada pada kita, kadang itulah yang didambakan oleh orang di luar sana. Tapi kita kadang tak menghargainya. Safa, bersyukurlah karena Allah memilih Safa hidup dalam kecukupan. Jadikan itu sebagai sarana untuk terus bersyukur dan dekat kepada Tuhan. Jangan sampai kemewahan yang Allah beri justru menjadi jalan keburukan." Rania berpesan pada Safa dengan hati yang tulus.
"Maaf, Fa. Aku seperti menggurui. Bukan maksudku begitu. Sekali lagi maaf," ucap Rania tak enak hati. Rania takut kalimatnya menyinggung Safa.
Yang diajak bicara justru matanya sudah mengembun. Mengenang betapa ia termasuk orang yang kufur akan nikmat Allah selama ini. Tanpa ragu ia peluk Rania dengan hangat.
"Terimakasih Rania. Aku belajar banyak darimu. Aku jadi tahu arti hidup yang sesungguhnya. Selama ini aku egois, hanya memikirkan diri sendiri. Hingga lupa bahwa banyak hal yang bisa kupelajari dari kehidupan di sekitarku. Tetaplah jadi temanku, Rania," ujar Safa penuh haru.
Rania yang mendapat pelukan dan ungkapan perasaan dari Safa hanya bisa membatu. Tak percaya jika hati temannya itu semudah itu menerima kebenaran hidup. Ia makin bersyukur atas karunia yang didapatkan ini. Rania selalu ingat firman Allah:
"Sungguh jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat." (TQS. Ibrahim :7).
Selesai
Komentar
Posting Komentar