Menyoal Buruknya Perlindungan Terhadap Pekerja Migran
Perlindungan terhadap PMI, khususnya yang berstatus non-prosedural, masih jauh dari optimal.
OPINI
Oleh Kokom Qodariyah
Pegiat Literasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-Kasus penembakan yang menewaskan seorang pekerja migran Indonesia (PMI) di Malaysia baru-baru ini menyentak publik. (Cna.id, 27/1/2025)
Seorang WNI tewas dan empat luka-luka akibat ditembak oleh Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) di perairan Tanjung Rhu, Selangor, pada 24 Januari 2025. Kekerasan yang dialami oleh PMI bukan hanya kali ini terjadi. LSM Migrant Care mencatat 75 kasus serupa terjadi dalam 20 tahun tanpa penyelesaian. (Bbc.com,29/1/2025)
Dari data yang dikutip dari Bp2mi.go.id, jumlah PMI non-prosedural mencapai 5 ,4 juta orang, dengan 1.300 kematian dalam tiga tahun terakhir. Ini mengindikasikan bahwa mayoritas PMI yang tidak melalui jalur resmi menghadapi resiko besar. Tidak hanya eksploitasi kerja, tetapi juga ancaman kekerasan fisik bahkan kematian.
Namun sayangnya, respon pemerintah Indonesia maupun Malaysia masih cenderung minim dan normatif. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap PMI, khususnya yang berstatus non-prosedural, masih jauh dari optimal.
Faktor-Faktor Penyebab Lemahnya Perlindungan PMI
Lemahnya perlindungan terhadap PMI disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Tata kelola yang lemah.
Regulasi tenaga kerja yang ada belum efektif dalam melindungi PMI, terutama mereka yang berangkat secara non-prosedural. Regulasi yang mengatur tentang PMI, baik di tingkat pusat maupun daerah, seringkali menimbulkan tumpang tindih dan ketidakjelasan. Sosialisasi mengenai regulasi ini pun kurang memadai, sehingga banyak PMI yang tidak mengetahui hak-hak mereka.
2. Pengangguran dalam negeri.
Keterbatasan lapangan kerja di Indonesia memaksa banyak orang mencari penghidupan di luar negeri, meskipun resikonya tinggi.
3. Sindikat perdagangan global.
Karena desakan ekonomi dan tidak pahamnya regulasi mendorong banyaknya PMI non-prosedural direkrut oleh sindikat perdagangan manusia, yang sering kali beroperasi dengan melibatkan oknum dari berbagai institusi.
4. Liberalisasi ketenagakerjaan.
Sstem kerja global yang berorientasi pada keuntungan semata sering kali mengabaikan hak-hak pekerja, termasuk pekerja migran.
5. Penegakan hukum yang lemah.
Baik di Indonesia maupun di negara tujuan, lemahnya hukum sering membuat pelaku kekerasan terhadap PMI tidak mendapatkan hukuman yang setimpal. Pemerintah selama ini hanya berfokus pada upaya diplomasi dan penyelidikan pasca-kejadian, tanpa langkah konkrit untuk mengurangi jumlah PMI non-prosedural atau meningkatkan kesejahteraan mereka di luar negeri.
Kesalahan Paradigma Negara dalam Melihat Pekerja Migran
Akar masalah lemahnya perlindungan terhadap PMI tidak bisa dilepaskan dari paradigma kapitalisme. Dalam sistem kapitalis, negara memandang warga negara sebagai tenaga kerja dan sumber devisa. Dalam sistem kapitalisme, negara cenderung membiarkan warga mencari nafkah sendiri, termasuk menjadi PMI, selama mereka dapat mengirim remitansi yang menguntungkan ekonomi nasional.
Alih-alih melindungi warganya, pemerintah lebih sibuk mencari cara untuk mengoptimalkan pemasukan dari remitansi. Hal ini tampak dari kebijakan yang lebih menekankan pada proseduralisasi migrasi tenaga kerja daripada memastikan bahwa warga negara memiliki peluang kerja yang layak di dalam negeri.
Solusi Islam dalam Melindungi Pekerja Migran
Islam menawarkan paradigma berbeda dalam melihat warga negara. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin kesejahteraan individu melalui:
1. Penyediaan lapangan kerja.
Negara sebagai pemegang amanah harus memastikan warganya memiliki akses terhadap pekerjaan yang layak, sehingga mereka tidak harus bekerja di luar negeri dalam kondisi yang tidak aman. Pemimpin harus memastikan kesejahteraan rakyatnya, termasuk memberikan lapangan kerja yang layak di dalam negeri, agar mereka tidak perlu mencari nafkah dengan resiko besar di luar negeri.
Rasulullah Saw. bersabda:
"Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Pengelolaan sumber daya alam.
Sumber daya alam harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat, bukan diserahkan kepada segelintir kapitalis atau oligarki. Sumber daya alam adalah milik bersama yang harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Jika sumber daya ini dikelola dengan baik, negara bisa menciptakan banyak lapangan kerja sehingga rakyat tidak perlu menjadi pekerja migran dalam kondisi rentan.
3. Sistem ekonomi yang berbasis pemenuhan kebutuhan rakyat.
Dalam Islam, kebijakan ekonomi harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat, bukan hanya pertumbuhan ekonomi atau keuntungan segelintir orang. Distribusi kekayaan harus merata, bukan hanya berputar di tangan kelompok tertentu.
4. Perlindungan hukum yang tegas.
Islam menegaskan bahwa negara wajib melindungi warganya di manapun mereka berada. Negara Islam harus aktif dalam melindungi warganya, termasuk di luar negeri. Ini bisa dilakukan dengan menekan negara-negara tujuan pekerja migran agar memberikan perlindungan yang layak atau memperkuat diplomasi untuk melindungi hak-hak pekerja.
Demikianlah, Islam menawarkan konsep negara yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan dan melindungi seluruh warganya. Hal tersebut dapat dicapai dengan menerapkan Islam kafah dalam institusi Khilafah Islamiyah.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar