Bayang-Bayang Megathrust, Perlu Mitigasi Paripurna

 


Hanya saja, sekalipun terbilang fenomena yang alamiah, gempa dapat menimbulkan dampak kerusakan yang sangat besar dan berpotensi menyebabkan kerusakan parah dan korban jiwa. Di sinilah sangat penting untuk memahami dan mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi.


OPINI 


Oleh Sofie Ummu Farizahrie 

Aktivis Muslimah 


Muslimahkaffahmedia.eu.org,Myanmar diguncang gempa dahsyat dengan magnitudo 7,7 pada Rabu (09-04-2025) lalu. Sebanyak 3.649 jiwa melayang akibat peristiwa ini. Selain itu 5.018 orang mengalami luka, dan 145 lainnya dinyatakan hilang. (Antaranews.com, 10-05-2025)

Berkaca pada bencana yang dialami negara tetangga tersebut, Indonesia juga semestinya waspada terhadap kejadian serupa. Sebab gempa bumi bukanlah peristiwa asing, tetapi sering menimpa negeri ini juga. Seperti gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh (2004), Yogyakarta (2006), Lombok (2006, 2018), Palu (2018) yang disertai likuefaksi, Cianjur (2022), dan di wilayah Indonesia lainnya. 

Khusus di daerah Jawa Barat, terutama Kabupaten Bandung, merupakan wilayah yang berisiko tinggi mengalami gempa bumi dahsyat akibat pergerakan lempeng dan aktivitas sesar lokal, yaitu sesar Lembang yang membentang mulai kawasan Cimenyan, Cilengkrang, hingga Cileunyi, dan masih terkait dengan Gunung Tangkuban Parahu di wilayah Subang. 

Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Bandung, Uka Suska Puji Utama, mengatakan Jawa Barat masih memiliki potensi gempa bumi karena wilayah ini berada di zona pergerakan tiga lempeng besar, yaitu: Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Ketiga lempeng ini masih terus mengalami pergeseran dan bertumbukan yang mengakibatkan rentan terhadap gempa tektonik dan ancaman _megathrust_.

Pejabat BPBD ini juga menyampaikan bahwa mereka belum memiliki alat untuk deteksi awal _megathrust_, melainkan hanya alat yang dapat menentukan titik episentrum dan magnitudo pasca terjadinya gempa tersebut. Untuk itu kesiapsiagaan dan edukasi kepada masyarakat menjadi hal yang amat penting untuk meminimalisir dampak bencana yang bisa terjadi kapan saja. (Mata Bandung.com, 05-04- 2025)

Gempa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti guncangan atau gerakan bumi. Fenomena alam ini wajar terjadi karena pergerakan lempeng bumi memang sudah terjadi sejak jutaan tahun yang lalu. Proses inilah yang membentuk permukaan bumi. Pergerakan lempeng tektonik di dalam kerak bumi menyebabkan pelepasan energi yang besar dan menghasilkan getaran yang dapat dirasakan di permukaan bumi, itulah gempa.

Hanya saja, sekalipun terbilang fenomena yang alamiah, gempa dapat menimbulkan dampak kerusakan yang sangat besar dan berpotensi menyebabkan kerusakan parah dan korban jiwa. Di sinilah sangat penting untuk memahami dan mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi. Selain itu perlu mengembangkan strategi untuk mengurangi risiko dan dampak yang ditimbulkan pascagempa terjadi, yang disebut mitigasi bencana.

Namun sayangnya, Indonesia yang termasuk wilayah rawan gempa bumi belum memiliki prosedur mitigasi yang memadai. Padahal negeri yang terletak di jalur _Pacific Ring of Fire_ (Cincin Api Pasifik) ini juga menghadapi ancaman _megathrust_. Sementara itu bila dilihat dari beberapa peristiwa gempa besar yang terjadi di sejumlah wilayah negeri ini, terlebih bila disertai tsunami seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004 lalu, menyebabkan kerusakan bangunan dan infrastruktur yang parah serta korban jiwa sangat banyak. 

Anehnya, kejadian gempa yang berulang tidak membuat penguasa negeri ini siap siaga dalam mempersiapkan mitigasi yang memadai. Biasanya penanganan gempa yang lebih serius baru terlihat setelah kejadian. Tak heran bila akhirnya banyak yang menjadi korban, baik jiwa maupun harta benda.

Hal ini terjadi karena beberapa faktor di antaranya; kurangnya keterlibatan penguasa, minimnya koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat dan lembaga terkait (BPBD, BNPB), prioritas utama pembangunan yang lebih diarahkan kepada infrastruktur dan ekonomi, sementara mitigasi kurang menjadi preferensi bagi negara. Selain itu kurangnya sumber daya serta lemahnya kesadaran masyarakat juga menjadi instrumen penting terkait amburadulnya mitigasi bencana di negeri ini.

Padahal, kalau mau belajar dari negeri tetangga yang juga wilayahnya sangat rawan gempa, Jepang, misalnya. Mereka memiliki manajemen mitigasi yang sangat canggih, mulai teknologi pendeteksi dini gempa dan tsunami hingga edukasi dari negara ke masyarakat tentang penanganan bila bencana ini datang sewaktu-waktu. Hingga anak-anak kecil di sana pun sudah memahami apa yang harus dilakukannya jika gempa tiba-tiba datang.

Sementara negara kita jauh dari hal yang demikian. Edukasi kepada masyarakat terhadap penanganan gempa minim, dan biasanya dilakukan mandiri oleh lembaga-lembaga pendidikan, itupun tidak masif. Alat-alat pendeteksi dini gempa dan tsunami yang seadanya dipasang di wilayah rawan, sayangnya bisa hilang dicuri, serta hal-hal lain yang menjadikan mitigasi bencana makin tidak efektif di negeri ini.

Faktor-faktor di atas memperlihatkan kepada kita bahwa pemerintah sejatinya tidak serius dalam penanganan masalah bencana, terutama dalam hal ini gempa bumi. Sebenarnya kalau mau diselisik lebih lanjut, negeri yang kaya raya akan sumber daya alam ini mampu mengatasi semua faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas. 

Hanya saja, memang negeri penganut kapitalisme lebih mengutamakan kepentingan para pemilik modal yang bisa memberikan keuntungan materi sebesar besarnya, daripada kebutuhan rakyatnya sendiri, padahal rakyat mempunyai hak untuk diurus kehidupan dan dilindungi nyawanya oleh negara. Seperti yang tercantum dalam hadis, Rasulullah saw. bersabda: 

_"...Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemudian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari kiamat."_ (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)

Untuk itu sudah sewajarnya kita kembali kepada aturan Islam yang mengatur semua aspek kehidupan. Sebab, pemimpin (khalifah) dalam sistem Islam adalah sosok yang bertakwa kepada Allah Swt.. Khalifah tidak akan meninggalkan rakyatnya hanya demi keuntungan segolongan orang atau pribadi. 

Seorang khalifah amat menyadari amanah yang diembannya adalah sebagai _ra'ain_, yaitu mengurusi kehidupan umat, artinya semua keperluan umat mulai kebutuhan pokok hingga komunal, sampai urusan nyawa pun diurusi oleh negara.

Begitupun negara Islam adalah sebuah institusi besar dengan sumber dayanya yang berlimpah, baik alam maupun manusianya. Maka tidaklah sulit bagi penguasanya untuk mengatur mitigasi bencana, utamanya gempa bumi ataupun _megathrust_ dengan pengelolaan yang maksimal.

Negara bisa mengarahkan para ilmuwan untuk membuat alat deteksi dini yang super canggih dan membiayainya dari baitulmal sehingga wilayah yang rawan gempa, akan mengetahui sedari awal potensi bencana yang akan terjadi dan dapat meminimalisir dampaknya.

Masyarakat juga diberikan edukasi rutin mengenai apa yang harus mereka lakukan saat gempa terjadi, hingga memahami jalur-jalur evakuasi yang sudah dibuat oleh pemerintah. Selain itu negara juga menyiapkan bahan kebutuhan pokok memadai serta perlengkapan yang cukup jika harus mengungsi.

Negara juga mengatur tata ruang dengan apik, memetakan wilayah-wilayah mana yang rawan bencana alam dan sebisa mungkin tidak mendirikan pemukiman penduduk di sana. Di samping itu juga pemerintah mengatur spesifikasi bangunan tahan gempa untuk pemukiman, industri, dan perkantoran dengan rancang bangun yang disesuaikan dengan kontur dan kondisi wilayah setempat.

Yang terpenting adalah keterlibatan penguasa dalam memprioritaskan keselamatan rakyatnya dengan kerjasama yang apik antara pemerintah, rakyat, dan lembaga yang ditunjuk untuk mengurusi kebencanaan. Dengan demikian, akan dapat terwujud jika Islam dijadikan aturan dalam bernegara.

Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan