Ketika Rumah Tak Lagi Aman: Inses di Tengah Krisis Keluarga Sekuler

 


Rumah, yang seharusnya menjadi zona aman dari segala bentuk hasrat dan kekerasan, tak lagi mampu menjalankan fungsinya. 

OPINI

Oleh Risabella N. Burhani, S. Pd.

Aktivis Muslimah 


Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-Beberapa tahun terakhir, Indonesia diguncang oleh maraknya pemberitaan tentang kasus inses (hubungan sedarah) yang melibatkan pelaku dan korban dari keluarga inti.


Kasus-kasus ini, yang memperlihatkan ayah merudapaksa anak kandung, kakak mencabuli adiknya, bahkan relasi terlarang antara ibu dan anak, telah menampar wajah nurani kita bersama. Bahkan sebuah grup daring yang berisikan fantasi hubungan sedarah memiliki ribuan pengikut setia, sungguh biadab. (news.republika.co.id, 17-05-2025)


Bagaimana mungkin anggota keluarga yang memiliki ikatan darah dan hidup bersama sejak awal kelahirannya, bisa mengembangkan perasaan cinta seperti halnya pada lawan jenis yang dijumpai di sekolah ataupun dunia kerja?


Matinya akidah dan moral ini, sudah menjalar di tengah masyarakat dan kegelapan pemikiran ini mengundang azab Allah.


Data dari Komnas Perempuan mengungkapkan bahwa mayoritas kekerasan seksual terhadap anak, justru terjadi di lingkungan terdekat, terutama keluarga. (beritasatu.com,17/5/2025)


Ironisnya, tidak sedikit pelaku yang beralasan bahwa tindakan mereka terjadi karena "tidak ada yang melarang" atau "rasa malu yang tak pernah hinggap". Fenomena ini, menjadi gambaran betapa rentannya institusi keluarga dalam lanskap masyarakat yang makin sekuler dan individualistik.


Keluarga yang Kehilangan Arah Nilai


Di tengah kehidupan modern yang makin menonjolkan individualisme, konsep keluarga perlahan bergeser. Fungsi sakral keluarga sebagai tempat tumbuhnya nilai, spiritualitas, dan pengasuhan mulai luntur.


Ayah dan ibu yang sibuk berjibaku karena sulitnya ekonomi, seolah telah kehilangan peran mendasarnya sebagai pendidik akidah dan moral. Anak-anak tumbuh dalam suasana bebas, minim kontrol sosial, dan kian terpapar hiburan serta media yang miskin nilai.


Rumah, yang seharusnya menjadi zona aman dari segala bentuk hasrat dan kekerasan, tak lagi mampu menjalankan fungsinya. Ketika nilai spiritual tak lagi menjadi panduan, maka sekat antara kasih dan syahwat pun menjadi kabur.


Mengapa Hal Ini Terjadi?


Beberapa faktor yang mendorong kerentanan ini, antara lain: pertama, hilangnya rasa malu (hayaa’). Budaya sekuler yang terlalu memuja kebebasan ekspresi, ketelanjangan, dan sensualitas sering dianggap bentuk seni.


Ironisnya, anak-anak terpapar hal ini sejak usia dini. Tak sedikit orang tua yang merasa bangga tatkala putra/putrinya mampu mengikuti tren di suatu media sosial. Ironisnya, itu terjadi bahkan pada anak balita.


Kedua, minimnya batasan di dalam rumah. Tidak sedikit keluarga yang masih membiarkan anak-anak tidur sekamar, meski sudah beranjak remaja tanpa edukasi tentang batas interaksi antaranggota keluarga. Kondisi ekonomi yang menghimpit membuat mereka tetap tidur di kasur/selembar alas tidur yang sama. 


Ketiga, pendidikan seksual yang salah arah. Pendidikan seksual yang berkembang saat ini berfokus pada aspek teknis dan keamanan, bukan pada nilai, pemahaman terhadap halal-haram, dan tanggung jawab spiritual. 


Seharusnya kedua sisi ini, dikombinasikan agar tercipta pendidikan seksual dini sesuai kebutuhan anak dalam ranah syariat Islam.


Keempat, ketiadaan figur teladan di rumah. Ketika orang tua hanya hadir secara fisik, namun absen secara emosional dan spiritual, anak-anak akan mencari afeksi di tempat dan cara yang keliru.


Islam Menawarkan Fondasi Perlindungan Sejak Dini


Islam memberikan panduan inklusif yang dapat diterapkan ketika membentuk dan menjaga keutuhan keluarga, yaitu: pertama, pengenalan konsep mahram dan aurat. Sejak dini, anak diajarkan siapa yang mahram dan bagaimana menjaga aurat, serta adab pergaulan dalam rumah tangga.


Kedua, pemisahan tempat tidur usia 10 tahun. Rasulullah saw. bersabda, "Agar anak-anak dipisahkan tempat tidurnya sejak usia 10 tahun." (HR. Abu Dawud). Ini bukan hanya soal privasi, melainkan pembiasaan menjaga batas dan kesadaran diri.


Ketiga, batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Islam mengatur interaksi, termasuk dalam keluarga besar, dengan prinsip kehormatan dan adab. Tidak ada ruang untuk candaan fisik atau berpakaian serampangan di rumah.


Pendidikan tentang batasan aurat dan anggota tubuh mana yang boleh disentuh menjadi bagian penting yang harus diketahui anak sejak dini.


Keempat, pendidikan ruhani dan akhlak di rumah. Orang tua diibaratkan sebagai madrasah pertama. Anak perlu dibina dengan nilai-nilai malu, adab, penghormatan terhadap lawan jenis, dan kesadaran spiritual yang membumi.


Menata Ulang Arah Keluarga di Era Modern


Kita perlu jujur bahwa sistem sekuler yang menekankan kebebasan individu tanpa fondasi nilai ilahiah telah menimbulkan celah besar dalam bangunan keluarga.


Sekarang saatnya kita kembali menata arah keluarga, tidak semata berdasarkan cinta duniawi, tetapi cinta yang dibingkai aturan Tuhan.


Keluarga bukan hanya kumpulan individu yang hidup bersama, melainkan institusi peradaban. Rumah seharusnya menjadi tempat pertama anak mengenal Rabb-nya, sebelum mengenal dunia. 


Membangun keluarga bukan hanya soal memenuhi kebutuhan lahir, tetapi juga memastikan nilai dan martabat anak manusia tetap terjaga. Sehingga dalam hal ini, Islam tidak hanya menawarkan solusi spiritual, tetapi juga sistem preventif yang telah teruji sepanjang zaman.


Wallahualam bissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan