Normalisasi Sungai Tanggung Jawab Penguasa, Bukan Gotong Royong Rakyat


OPINI

Islam juga memiliki mekanisme yang khas dalam penanggulangan bencana, dalam hal ini banjir.

Oleh Sofie Ummu Farizahrie

Aktivis Dakwah Muslimah 


Muslimahkaffahmedia.eu.org_Musim penghujan belum usai. Banjir masih mengintai di beberapa wilayah terutama yang posisinya dekat dengan aliran sungai. Ancaman air bah kerap menjadi persoalan. Bahkan saat ini tidak pilih-pilih tempat, semakin meluas dan sulit diprediksi. Daerah yang dulunya bebas banjir, sekarang malah terkena banjir. 


Indonesia memang terkenal dengan negeri yang dikelilingi banyak sungai. Namun, karena pembangunan yang serampangan dan gaya hidup warganya terbilang konsumtif, menyebabkan keberadaan sungai yang semestinya dapat menampung dan mengalirkan air hujan ke laut justru mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan sampah. Untuk itulah pemerintah selalu melakukan upaya normalisasi aliran sungai untuk menghilangkan hambatan dan mengembalikan fungsi sungai. 


Begitu pula yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dadang Supriatna, selaku bupati memimpin langsung pelaksanaan program pentahelix normalisasi sungai guna penanggulangan banjir di wilayah Cidawolong Desa Biru Kecamatan Majalaya Kabupaten Bandung, pada hari Senin (12/5/2025). 


Program pentahelix ini mengikutsertakan para Kepala OPD, camat, kepala desa, relawan, pengusaha, akademisi, dan warga Kabupaten Bandung, khususnya masyarakat Kecamatan Majalaya dan sekitarnya. Rencananya normalisasi sungai sepanjang 1 kilometer ini akan menggandeng sebanyak 200 perusahaan di Majalaya, termasuk Forum HRD Kabupaten Bandung. (Ketik.co.id, 13 Mei 2025)


Normalisasi sungai adalah proses untuk mengembalikan kondisi sungai ke keadaan alaminya atau meningkatkan fungsi sungai secara optimal. Upaya pencegahan banjir melalui normalisasi sungai adalah hal yang sangat urgen dilakukan. Mengingat sungai-sungai besar yang melewati pemukiman warga terutama di perkotaan kondisinya amat memprihatinkan. Sampah dan sedimentasi dasar sungai yang terus menumpuk meningkatkan risiko terjadinya banjir.


Adapun normalisasi dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya: pengerukan sedimen, pembuangan sampah dan limbah, penanaman vegetasi, pembangunan struktur pengendali, pemantauan kualitas air, dan pengelolaan daerah aliran sungai. Pekerjaan ini memerlukan perencanaan yang matang, pelaksanaan yang tepat, dan pemeliharaan yang berkelanjutan untuk mencapai hasil yang optimal.


Tahapan pelaksanaan yang harus dilakukan terbilang kompleks dan tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi sumber daya manusia yang akan terlibat dalam proses ini, pastilah sangat banyak. Di sanalah peran pemerintah dibutuhkan , karena merekalah yang memiliki regulasi, dana, serta kemampuan menggerakkan sumber daya yang dimiliki. 


Namun, alih-alih mengurus sendiri kepentingan rakyatnya, penguasa malah akan menggandeng berbagai elemen masyarakat dengan program pentahelix. Para pengusaha dilibatkan tak lain bertujuan agar mereka ikut menggelontorkan sejumlah dana untuk menyukseskan program ini. Lantas di mana peran pemerintah? Bukankah mengurus kepentingan rakyat adalah tugas utama mereka?


Di sinilah letak salah satu sisi keburukan wajah kapitalisme yang dianut negeri ini. Sistem ini meniscayakan lahirnya para penguasa yang kerap mengabaikan urusan rakyatnya. Seringkali tanggung jawab pemerintah dalam me _ri'ayah_ (mengurusi) umat dialihkan kepada rakyat itu sendiri. Masyarakat tanpa sadar telah dibodohi dengan dalih pemberdayaan, gotong royong, dan sebagainya. Padahal sejatinya, hal tersebut adalah bentuk lepas tangan penguasa terhadap urusan mereka. 


Pemerintah acapkali memosisikan dirinya sebagai regulator dan fasilitator semata, bukan sebagai operator yang turun langsung memperbaiki kondisi umat di bawah tanggung jawabnya. Contohnya adalah bencana banjir. Dari sekian banyak penyebab banjir, harusnya penguasa tanggap terhadap pencegahannya dengan cara edukasi, dan menerapkan hukuman yang menjerakan bagi warga atau elemen masyarakat lainnya yang merusak lingkungan.


Akan tetapi hal ini masih jauh dari kenyataan. Edukasi seringkali dilakukan secara mandiri oleh masyarakat dan pegiat lingkungan. Misalnya imbauan untuk tidak membuang sampah sembarangan serta mendaur ulang limbah plastik dan rumah tangga. 


Begitupun dengan para korporat yang kerap kali menguasai tanah dan lahan ruang terbuka hijau untuk kepentingan mereka, membangun pabrik dan properti, dibiarkan dan tidak ada hukuman bagi orang-orang tersebut padahal sudah merusak lingkungan. Sebabnya tak lain karena para pemodal ini memberikan keuntungan tertentu untuk penguasa yang rakus.


Padahal Allah Swt. telah meletakkan di pundak para pemimpin tanggung jawab yang besar untuk mengurus seluruh kebutuhan hamba-Nya. Maka penghianatan terbesar seorang penguasa adalah mengabaikan kebutuhan rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda: 

"Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim)


Oleh karena itu, jalan keluar terbaik bagi semua persoalan umat adalah kembali pada aturan Islam. Bukan hanya sekadar agama, Islam merupakan sebuah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Contoh pemimpin terbaik adalah Rasulullah saw., kemudian diikuti oleh para sahabat Nabi saw. yang menjadi Khalifah setelahnya sebagai pengganti Beliau saw. dalam memimpin dan mengurusi umat.


Pemimpin dalam Islam sangat menyadari tanggung jawabnya dalam menjaga kehidupan umat. Oleh karena itu dia tidak akan menyerahkan kewajibannya kepada pihak lain untuk mengerjakannya. Seperti yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. saat memanggul sendiri karung gandum untuk diberikan kepada rakyatnya yang tengah kelaparan. Yang demikian itu karena beliau menyadari betul tindakannya itu yang akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah Swt..


Islam juga memiliki mekanisme yang khas dalam penanggulangan bencana, dalam hal ini banjir. Negara akan membangun bendungan yang dapat menampung kelebihan air saat terjadi hujan. Di samping itu negara akan mendirikan tanggul-tanggul yang kokoh, memetakan daerah dataran rendah dan menciptakan kanalisasi di sana, sehingga meminimalisir genangan air yang akan menyebabkan banjir.


Selain itu, pemerintah tidak akan memberi izin pendirian bangunan apa pun di daerah resapan air dan dataran rendah, serta akan menertibkan dan menghukum siapa saja tanpa pandang bulu orang/pihak yang melanggar ketentuan tersebut. Sebagai gantinya negara akan merelokasi bangunan/perumahan yang sudah telanjur berdiri di wilayah rawan banjir.


Dalam hal penanganan sampah, negara akan mengedukasi masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan dan menghindari perilaku boros/konsumtif. Di samping itu pemerintah akan menyediakan fasilitas pembuangan dan pengelolaan sampah serta limbah yang mumpuni dan canggih.


Semua langkah di atas tidak akan sulit dilakukan dalam sebuah negara yang diatur dengan Islam. Sebab negeri-negeri Islam adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan tersebut akan dikelola secara langsung oleh negara sehingga hasilnya dapat dikembalikan kepada rakyat untuk kemakmuran mereka. Maka, tidakkah kita rindu diterapkannya aturan Islam dalam kehidupan seluruh umat manusia?


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan