Ketika Tamu Allah Diperlakukan seperti Konsumen

 


Dalam sistem sekuler kapitalisme, ibadah haji tidak lagi dikelola sepenuhnya sebagai bentuk pelayanan tulus terhadap tamu-tamu Allah.

OPINI

Oleh Kokom Qodariyah

Aktivis Muslimah


Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-Ketika jutaan umat Islam mendambakan momen suci menuju Baitullah, kenyataan pahit justru menampar sebagian dari mereka. Ada yang dipulangkan hanya berbalut ihram karena visa dibatalkan sepihak. (Republika.co.id, 2-6-2025)


Dikutip dari beritasatu.com (7-6-2025), ada pula yang ditangkap karena terpaksa memilih jalur ilegal demi bisa berhaji. Laporan Tim Pengawas (Timwas) DPR telah mengungkapkan temuan yang memprihatinkan, termasuk jadwal yang kacau balau, pelayanan yang tidak layak, dan dugaan adanya praktik mark-up yang memanfaatkan ibadah. (tempo.co, 8-6-2025)


Ini bukan sekadar soal manajemen yang buruk. Ini cermin nyata kegagalan sistem sekuler dalam mengurus urusan umat. Pelaksanaan ibadah haji terjebak dalam tata kelola kapitalistik dan birokrasi nasionalistik. Ketika haji dikelola seperti proyek, jemaah pun tak lebih dari objek dagang.


Kisruh Haji Bukan Sekadar Masalah Teknis


Penyelenggaraan ibadah haji tahun ini kembali menuai sorotan. Kekacauan terutama terjadi saat puncak ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina yang biasa disebut dengan istilah Armuzna. Jemaah mengeluhkan tenda yang sempit, kepadatan luar biasa, distribusi makanan yang bermasalah, hingga layanan transportasi yang tidak memadai.


Pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa kebijakan baru dari otoritas Saudi menjadi salah satu penyebab munculnya persoalan-persoalan teknis ini. Namun, jika kita hanya menyalahkan pihak lain atau menganggap ini sebagai kekeliruan administratif semata, kita justru melewatkan akar persoalan yang sesungguhnya. Sebab, pada dasarnya ini bukan hanya persoalan teknis. Ini persoalan paradigma cara pandang dalam mengelola ibadah.


Saat ini dalam sistem sekuler kapitalisme, ibadah haji tidak lagi dikelola sepenuhnya sebagai bentuk pelayanan tulus terhadap tamu-tamu Allah. Justru yang terasa dominan adalah aroma kapitalisasi. Setiap layanan dikalkulasi, setiap fasilitas dinilai dalam angka. Jemaah haji, yang seharusnya mendapatkan kemudahan karena menunaikan kewajiban agama, justru diperlakukan seperti konsumen layanan eksklusif yang harus membayar mahal. Mereka harus merogoh kocek dalam-dalam untuk mendapatkan fasilitas yang layak. Sayangnya fasilitas tersebut tak selalu sebanding dengan harga yang dibayar.


Kondisi ini menyedihkan, mengingat haji bukan sekadar wisata spiritual. Haji adalah rukun Islam kelima, sebuah ibadah agung yang diwajibkan bagi umat Islam yang mampu. Maka, sudah semestinya penyelenggaran haji dikelola oleh negara sebagai bagian dari tanggung jawab melayani umat, bukan dijadikan pasar atau swastanisasi yang berorientasi profit.


Negara Seharusnya Menjadi Pelayan Jemaah


Dalam pandangan Islam, negara tidak boleh abai terhadap urusan ibadah warganya. Pemimpin dalam Islam adalah ra’in, yaitu pelayan rakyat yang mengurus seluruh kebutuhan mereka, termasuk dalam hal menunaikan ibadah haji. Negara bukan sekadar pengatur kuota atau penerbit visa. Ia seharusnya terlibat aktif dalam memfasilitasi jamaah secara menyeluruh mulai dari edukasi manasik, transportasi, akomodasi, konsumsi, hingga layanan kesehatan.


Bayangkan, jika negara mengurus haji dengan sungguh-sungguh, maka segala kebutuhan jemaah akan terjamin. Tenda tidak akan kekurangan tempat, makanan akan tersaji dengan layak, dan transportasi akan terkoordinasi baik. Semua dilakukan bukan karena jemaah membayar mahal, tetapi karena negara merasa bertanggung jawab sebagai pelayan umat.


Islam Punya Solusi Terbaik


Pertanyaannya, mungkinkah negara mampu memberikan pelayanan sebaik itu?. Jawabannya, bisa, jika negara menerapkan sistem Islam secara menyeluruh. Dalam sistem pemerintahan Islam yang dikenal sebagai khilafah, penguasa tidak hanya berperan sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai pelayan rakyat dan penjaga agama. Penyelenggaraan ibadah haji menjadi bagian dari urusan yang diatur dengan serius, bukan sekadar rutinitas administratif.


Bahkan jika pelaksanaan teknisnya tetap berada di bawah otoritas Haramain (wilayah Makkah dan Madinah), arah dan kebijakan strategisnya tetap berada dalam kontrol khilafah sebagai negara Islam global yang menyatukan seluruh negeri-negeri muslim. Khilafah tidak akan membiarkan umat Islam dari penjuru dunia terbebani dalam menunaikan ibadah. Bahkan akan disiapkan mekanisme agar yang belum mampu secara finansial pun bisa dibantu agar tetap bisa berangkat haji, karena haji adalah ibadah, bukan kemewahan.


Pelayanan optimal tentu membutuhkan dukungan keuangan yang kuat. Dalam sistem ekonomi Islam mampu mewujudkan itu semua. Khilafah memiliki sumber pendapatan yang besar dan beragam, seperti hasil pengelolaan sumber daya alam, kharaj, jizyah, ghanimah, dan lainnya. Semua harta itu masuk ke dalam baitulmal dan dikelola untuk kepentingan umat, termasuk ibadah haji. Tidak perlu utang luar negeri, tidak perlu subsidi silang, dan tidak perlu menyerahkan ke swasta.


Haji akan dikelola dengan paradigma pelayanan, bukan keuntungan. Bahkan negara bisa menyediakan layanan gratis atau sangat murah, karena memang itu bagian dari kewajiban syar’i negara terhadap rakyatnya.


Saatnya Berbenah, Saatnya Berubah


Apa yang terjadi saat ini menjadi tamparan keras bagi kita. Kekacauan dalam haji bukan semata karena ketidaksiapan teknis, tetapi karena kita telah jauh dari sistem yang benar dalam mengatur kehidupan. Kita butuh sistem yang berpihak pada umat. Bukan sistem kapitalis yang mengejar untung, tetapi sistem Islam yang berpijak pada amanah dan tanggung jawab. Sudah saatnya kita menoleh kembali pada ajaran Islam sebagai solusi nyata. Islam bukan hanya mengatur soal ibadah pribadi, tetapi juga sistem pemerintahan, ekonomi, dan pelayanan masyarakat. Termasuk mengurus ibadah haji yang agung ini.


Mari kita renungkan sampai kapan kita akan terus berharap pada sistem yang terbukti gagal memuliakan tamu-tamu Allah?. Saatnya kembali pada sistem Islam yang menyatukan umat, menjaga amanah, dan melayani dengan penuh tanggung jawab dalam naungan Khilafah Islamiyah.


Wallahualam bissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan