Mensinergikan Pajak Pusat dan Daerah, untuk Siapa?
OPINI
Sistem ekonomi Islam tidak menetapkan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara, meskipun dalam Islam pajak juga ada pengaturannya.
Penulis Ria Nurvika Ginting, SH, MH (Dosen FH)
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengoptimalkan penerimaan negara sangat diperlukan. Salah satu mekanisme yang akan memudahkan sinergi ini adalah melalui Perjanjian Kerja Sama Operasionalisasi Pemungutan Pajak Pusat dan Pajak Daerah (PKS OP4D). Hal ini disampikan oleh Kepala Kanwil Direktoral Jendral Pajak (DJP) Sumatera Utara I, Arridel Mindra. Melalui PKS OP4D ini, daerah bisa memperoleh manfaat seperti akses data perpajakan pusat dan dukungan peningkatan aparatur, tambah Arridel ketika pelatihan juru sita pajak dan penilaian pajak di Balai Diklat Keuangan Medan, Senin (19/5/25).
Pelatihan ini dihadiri 60 petugas pajak daerah Kabupaten Deli Serdang yang berlangung selama lima hari. Arridel menyampaikan jika Pemda Deli Serdang ingin mengakses data perpajakan dari DJP, maka PKS OP4D akan memberikan landasan hukum dan teknis untuk itu yang diharapkan akan mampu memperkuat basis data pajak daerah dan ekstensifikasi pajaknya. Selain itu, pendampingan secara teknis, analisis data, pengawasan, sosialisai terkait perpajakan, serta pemeriksaan dan penagihan pajak daerah pun akan dilakukan.
Dari sini diharapkan aparatur daerah di Deli Serdang bisa bekerja profesional dan efektif. Harapan lainnya adalah untuk membantu meningkatkan pendapatan asli daerah. Di kesempatan yang sama, Bupati Deli Serdang, Asri Ludin Tambunan mengatakan kegiatan dilakukan agar sumber daya aparatur pemungut pajak daerah dapat meningkatkan kualitas dan kapasitasnya. (Mistar.id, 20-05-2025)
Pajak Pilar Ekonomi Kapitalis
Penerimaan dari sektor pajak menjadi sesuatu yang dibanggakan bahkan dianggap prestasi buat suatu negara. Keadaan ini merupakan hal yang wajar karena saat inj sistem yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat bahkan di seluruh dunia adalah sistem kapitalis-sekuler (memisahkan agama dari kehidupan). Di atas sistem inilah, berdiri sistem ekonomi yang memberikan kebebasan kepada siapa saja yang memilliki modal untuk menguasai apa saja, termasuk bidang-bidang strategis. Sehingga, bidang-bidang strategis ini tidak menjadi salah satu sumber penerimaan negara. Dalam sistem ekonomi kapitalis, penerimaan negara yang utama adalah pajak. Pembangunan tidak dapat berjalan tanpa pajak.
Pajak merupakan pungutan yang diambil dari rakyat. Rakyat menjadi pihak yang terbebani dan ini merupakan bentuk kezaliman. Hal ini menjadi bukti bahwa negara dalam sistem kapitalis-sekuler hanya menjadi regulator bukan pemelihara urusan dan penjamin kesejahteraan rakyat. Mengapa demikian? Karena dalam sistem kapitalis sekuler pihak yang harus dilayani adalah pemilik modal bukan rakyat.
Mengutip pernyataan seorang pemikir dan cendekiawan muslim bernama Ibnu Khaldun yang menyatakan,
“Ciri-ciri negara akan hancur adalah banyaknya pungutan dan pajak yang memberatkan rakyatnya.”
Hal ini bertolak belakang dengan pernyataan para pakar ekonomi di atas yang mengatakan pajak menjadi tulang punggung pembangunan dan pencapaian cita-cita bangsa.
Pajak dalam Islam
Islam yang merupakan sistem yang sempurna dan paripurna merupakan sistem yang berdiri atas dasar akidah Islam dimana Allah sang Khalik yang berhak membuat hukum. Di atas dasar inilah berdiri aturan-aturan yang mengatur sistem kehidupan manusia termasuk ekonomi.
Sistem ekonomi Islam tidak menetapkan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara, meskipun dalam Islam pajak juga ada pengaturannya. Sumber penerimaan negara dalam sistem Islam banyak sekali. Sumbernya bisa berasal dari: 1. Fai’ ; 2. Jizyah; 3. Kharaj; 4. ‘Usyur; 5. Harta milik umum yang dilindungi negara; 6. Harta haram pejabat dan pegawai negara; 7. Khumus Rikaz dan tambang; 8. Harta orang yang tidak memiliki ahli waris; 9. Harta orang murtad.
Harta dari sumber penerimaan tersebut dimasukkan ke Baitul Maal. Jika suatu saat harta tersebut kosong dan tidak mencukupi untuk membiayai besaran belanja maka dalam kondisi seperti ini khalifah (kepala negara) akan mengambil beberapa kebijakan yang sesuai dengan hukum syarak. Salah satunya dengan memungut pajak. Namun, pajak yang dipungut tidak diwajibkan kepada semua kaum muslim apalagi non-muslim. Pajak hanya diambil dari kaum muslim yang mampu dengan jumlah yang proposional (makruf).
Pajak dalam sistem Islam merupakan pungutan insendental yang akan diambil jika Baitul Maal dalam kondisi kosong. Ketika baitul maal sudah berfungsi normal kembali, maka pajak tidak akan dipungut lagi. Sehingga tidak ada yang namanya wajib pajak yang harus dibayar setiap tahunnya. Apalagi sampai dikenakan denda karena tidak membayar atau tidak tepat waktu.
Pajak bukan sumber pembangunan negara. Negara dibangun dengan sumber-sumber penerimaan yang sudah jelas. Salah satunya adalah kekayaan SDA yang berlimpah yang akan dikelola oleh negara untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan negara seperti saat ini yang memalak rakyat secara tidak langsung dengan kebijakan pajak sebagai solusi semua permasalahan ekonomi. Sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam yang sesuai dengan fitrah manusia.
Wallahualam bissawab
Komentar
Posting Komentar