Dunia Maya dan Dunia Nyata Tempat yang Tidak Aman bagi Perempuan dan Anak.
Negara dalam pandangan Islam, bukan hanya sebatas tempat tinggal bagi rakyatnya semata, tetapi juga sebagai perisai, memberikan perlindungan dari tindak kejahatan baik dunia nyata maupun dunia maya.
OPINI
Oleh Ummu Qianny
Aktivis Muslimah
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI -Dalam era digital saat ini, selain adanya kemudahan dalam mengakses informasi yang sifatnya positif dan membangun, ada pula yang memanfaatkannya untuk kejahatan. Di mana pelaku memanfaatkannya untuk menambah pundi-pundi uang tanpa mengindahkan dampaknya bagi korban.
Perempuan dan anak-anak rentan dijadikan sebagai target oleh para pelaku kejahatan, baik di media sosial ataupun game online. Bagi mereka yang menggunakan gadget, terlebih berselancar di dunia maya, selalu ada kejahatan terselubung mengintai. Sangat disayangkan, anak-anak polos inipun mudah mengalami pembullyan siber, grooming, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, dan kekerasan emosional.
Beberapa waktu lalu, ada pertemuan antara Menteri Komunikasi dan Digital Meutia Hafid dengan Sekretaris Jenderal International Telecomunication Union (ITU) Doreen Bogdan-Martin, di Jenewa Swiss. Tujuan pertemuan tersebut untuk memperkenalkan Peraturan Pemerintah (PP) no 17 tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak atau PP TUNAS sebagai model regulasi yang bisa menjadi pedoman tentang perlindungan anak-anak di ruang digital. (Tempo, 10/5/2025)
PP Tunas dalam hal ini mengatur pembatasan akses konten digital, dibagi sesuai rentang usia:
-Anak di bawah 13 tahun boleh mengakses platform berisiko rendah dengan persetujuan orang tua.
-Usia 13–15 tahun, diperbolehkan mengakses platform risiko rendah hingga sedang, tapi tetap disertai pengawasan.
-Usia 16–18 tahun diperbolehkan mengakses konten berisiko tinggi, tetapi masih memerlukan izin.
-Akses penuh baru diberikan setelah 18 tahun. (digitalcitizenship.id 6/5/2025)
Setelah dibaca dan mencoba untuk memahami, ternyata ada kalimat yang cukup menggelitik, yaitu dikatakan hanya bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun yang seolah-olah boleh mengakses hal-hal negatif. Permasalahannya bukankah korban anak-anak tersebut pelaku kejahatannya rata-rata orang 'dewasa'? Mengapa diberi tanda petik, karena bukan dewasa dalam arti sesungguhnya, melainkan hanya dalam hal biologisnya saja sedangkan dari sisi pemikiran belum tentu.
Perempuan dan anak-anak dikenal sebagai mahluk lemah, sehingga secara umum rentan pula mengalami dampak trauma dibandingkan laki-laki dewasa. Menurut Menteri PPPA Arifatul Choiril Fauzi, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak sebagian besar disebabkan oleh media sosial dan gadget. (Tempo, 11/7/2025)
Dalam kurun waktu belum satu tahun, dari Januari 2025 sampai Juli 2025 saja bahkan sudah mencapai di angka 13.000 kasus. (Kompas.com 10/7/2025)
Angka yang tidak sedikit, tetapi jika dihubungkan dengan Data National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) terlihat jelas sekali banyak kasus pornografi yang melibatkan anak-anak alias menjadikan mereka sebagai korban.
Mirisnya, terdapat 5,5 juta kasus pornografi anak, hanya dalam waktu empat tahun terakhir. Tidak cukup sampai di situ rasa terkejut karena ada yang lebih menyedihkan lagi, info bahwa Indonesia masuk negara ke-4 di dunia dan ke-2 di kawasan Asia Tenggara dalam jumlah kasus pornografi anak di ruang digital. Tentunya, ini bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan justru memalukan.
Jika kita menelaah lebih dalam bagaimana Islam memuliakan wanita. Mulai dari mewajibkan menutup aurat secara sempurna dan yang boleh terlihat hanya bagian telapak tangan serta wajah saja. Sesuai dengan hadis yang diriwayatkan dari istri Rasulullah saw. Aisyah ra. menceritakan bahwa adik kandungnya Asma' binti Abu Bakar masuk ke rumah Rasulullah dengan berpakaian tipis. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun memalingkan diri darinya dan bersabda, "Wahai Asma, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haid (sudah baligh) tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini." Beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya.
Allah Swt. sudah menegaskan bagaimana busana muslimah yang seharusnya, di dalam Al Quran surat al Ahzab ayat 59, yang artinya: "Wahai Nabi (Muhammad) katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri dari orang-orang mukmin agar mereka menghulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah untuk dikenali sehingga mereka tidak akan diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Sayangnya, kita hidup di masa antara kehidupan yang dijalani, dominan bertentangan dengan perintah Allah. Di satu sisi, Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk menundukkan pandangan, misal ikhwan menerapkan menjaga pandangan, tapi ketika buka gadget, goyangan cacing kepanasan berseliweran di beranda. Di dunia nyata kanan kiri perempuan berpakaian terbuka, atas tertutup menggunakan kaos lengan panjang, tapi area bawah menggunakan hotpans. Atas menggunakan kerudung, tapi pakaian dan celana memperlihatkan lekukan tubuh.
Materi pornografi pun mudah sekali diakses sekalipun oleh anak-anak karena memang semudah itu diaksesnya. Pemerintah menuntut orangtua aktif untuk menjaga anak-anak mereka, sedangkan lingkungan, dan aturan tidak mendukung itu.
Negara dalam pandangan Islam, bukan hanya sebatas tempat tinggal bagi rakyatnya semata, tetapi juga sebagai perisai, memberikan perlindungan dari tindak kejahatan baik dunia nyata maupun dunia maya, tanpa terkecuali. Aturan yang diterapkan seiring sejalan dengan apa yang Allah perintahkan, tidak mungkin berseberangan. Berbeda dengan hari ini, pornografi dilarang tapi segala akses terbuka lebar. Belum lagi sanksi yang tidak adil.
Di dalam hukum Islam, kejahatan di dunia digital masuknya dalam kategori ta'zir, yaitu hakim yang menerapkan hukuman atau sanksi dan tentunya menimbulkan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku. Hukumannya dapat berupa penjara, diasingkan, cambuk hingga hukuman mati, semua ini disesuaikan dengan tingkat kejahatannya.
Negara sejatinya memiliki sistem teknologi digital yang mandiri tanpa ketergantungan kepada pihak lain. Dengan demikian, yang diakses oleh rakyatnya hanya hal-hal yang aman, bukan abu-abu atau yang negatif, jadi yang diarahkan adalah teknologi yang memberikan kemaslahatan bukan yang merugikan umat. Semua ini hanya akan terjadi apabila Islam diterapkan secara keseluruhan dalam berbagai aspek kehidupan, bukan hanya di dalam ibadah ritual saja. Jika Islam hanya kita pakai dalam ibadah sholat, puasa, zakat, bersedekah, maka tidak akan bisa kita lihat kesempurnaannya.
Wallahualam bishawwab.
Komentar
Posting Komentar