Kasus Kekerasan pada Perempuan dan Anak Terus Mengintai, di Mana Peran Negara?
OPINI
Beragamnya kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, tentu ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem sekuler-kapitalis.
Oleh Mania
Aktivis Muslimah
Muslimahkaffahmedia.eu.org_Bahtera rumah tangga terbentuk seyogianya saling menjaga rasa kasih dan sayang serta melindungi. Ayah sebagai sang nahkoda mengendalikan agar bahtera tidak karam. Sementara ibu mengikuti alur laju ke mana bahtera akan berlayar.
Demikianlah seharusnya hubungan di dalam rumah tangga. Namun, apa jadinya bahtera rumah tangga bukan lagi sesuatu yang membahagiakan, melainkan nestapa. Itulah yang menimpa perempuan hari ini di tanah air tak terkecuali di Sulawesi Tenggara. Rumah tangga bahagia yang diimpikan kini telah sirna sebab hanya kekerasan yang didapatkan. Yah, kini konflik rumah tangga menjadi salah satu penyebab yang memicu tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Seperti baru-baru ini terjadi di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Dilansir dari sultra.tribunnews.com (30-6-2025), berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Konawe Utara, selama tahun 2024 tercatat ada 38 kasus. Kemudian sepanjang tahun 2025 berjalan, antara Januari hingga Juni telah terhitung ada 16 kasus kekerasan.
Di antara bentuk kekerasan tersebut yang menimpa perempuan dan anak beragam mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran keluarga. Bahkan sangat disayangkan kebanyakan para pelaku adalah orang terdekat korban.
Data tersebut boleh jadi hanyalah sebagian data dari banyaknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia yang belum terungkap. Adanya berbagai regulasi yang telah diupayakan seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Perlindungan Anak untuk mencegah kasus kekerasan, namun faktanya masih tak bertaji menumpas kasus kekerasan yang ada. Lantas apa yang memicu kasus kekerasan tumbuh subur? Padahal berbagai regulasi telah dilakukan?
Beragamnya kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak, tentu ini tidak bisa dilepaskan dari penerapan sistem sekuler-kapitalis. Pada dasarnya ide ini memisahkan agama dari kehidupan, menyebabkan lemahnya kontrol pada pelaku kekerasan. Dengan mudah melampiaskan emosi menyakiti orang terdekatnya.
Regulasi yang ditetapkan nyatanya masih memiliki kelemahan. Isi pasal dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dinilai masih terdapat masalah. Undang-undang ini tak bisa sepenuhnya dipakai untuk menghentikan kekerasan pada perempuan.
Sementara itu, sifat individualisme telah menjangkiti masyarakat. Sehingga cenderung abai dan enggan untuk mencampuri urusan orang lain apabila melihat tindakan kekerasan. Inilah yang membuat amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat menjadi mandul. Di sisi lain, regulasi hukum yang diterapkan terhadap pelaku tindakan kekerasan masih lemah dan tak memberikan efek jera.
Oleh karena itu, berharap pada regulasi hukum yang diterapkan saat ini nyatanya hanya menjadi tumpuan harapan semata. Sebab, hukum tidak menunjukkan taringnya yang bisa membuat efek jera. Itulah mengapa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu mendapat perhatian dan fokus utama dalam agenda kerja pihak pemerintah terutama lembaga penegak hukum.
Sebab, ini berhubungan dengan hajat hidup seorang perempuan dan anak dalam hal menjaga kehormatan, kemuliaan, dan keamanan mereka. Terlebih perempuan kerap kali mendapat perlakuan tidak nyaman (kekerasan, gangguan, intimidasi) di kehidupan publik. Baik itu di tempat kerja, sekolah, kereta, dan tempat publik lainnya. Di samping itu, masyarakat seyogianya menyadari bahwa masalah kekerasan pada perempuan dan anak bersumber dari lemahnya fungsi riayah negara akibat paradigma kapitalisme neoliberal.
Menelisik meningkatnya kasus kekerasan pada perempuan dan anak tersebut dilatarbelakangi oleh tiga hal. Pertama, tidak hadirnya fungsi qawwam pada seorang bapak. Ini menyebabkan bimbingan dan pengajaran kepada istri tidak dijalankan sebab tidak memahami tugasnya sebagai pengendali rumah tangga. Ini terjadi karena kurangnya aspek ilmu keagamaan. Sehingga, aspek ketakwaannya pada penciptanya untuk memperlakukan pasangannya secara makruf tidak hadir.
Kedua, media hari ini turut menyumbang dan menginspirasi seseorang berperilaku dan melakukan tindakan kekerasan. Tayangan dan tontonan mengandung aksi kekerasan dengan mudahnya diakses. Film, sosial media, hingga games banyak dijumpai menampilkan aksi-aksi kekerasan. Ini terjadi seolah masyarakat menormalisasi tayangan tersebut dan merasa biasa saja dengan konten-konten yang tak mendidik tersebut.
Ketiga, penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih setengah hati. Tidak benar-benar menyelesaikan persoalannya secara tuntas. Ini karena penerapan sanksi hukum yang tidak tegas. Kadang kala terpengaruh kapital. Sehingga, hukum dipermainkan.
Selain itu, orang yang memiliki duit dapat membeli hukum. Tak jarang dihukum dengan masa tahanan sebentar dan mendapat remisi. Pada akhirnya hukuman tak membuat efek jera. Faktanya, setelah habis masa tahanannya pelaku boleh jadi berulah kembali. Siklusnya terus begitu.
Di sisi lain, banyak pula korban yang mengalami kekerasan enggan melapor. Biaya untuk berurusan dengan pengadilan juga tak sedikit. Tak jarang akhirnya proses hukum kandas di tengah jalan. Demikianlah penanganan kasus kekerasan pada perempuan dan anak di sistem sekuler-kapitalis.
Berbeda dengan penanganan dalam sistem Islam. Dalam Islam perempuan dimuliakan dengan posisi yang terhormat dan anak dijaga sebagai penerus peradaban. Solusi untuk menyelesaikan berbagai problematika yang dialami perempuan dan anak adalah dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh. Dengan tiga pilar utama yang berperan aktif untuk menjaga dan mencegah kasus kekerasan dengan sejumlah mekanisme aturan yang komprehensif.
Pertama, pembentukan pribadi yang beriman dan bertakwa sehingga muncul rasa takut kepada Allah Ta'ala dalam diri seseorang. Rasa takut akan dosa menjadi kontrol diri yang dapat mencegah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang dalam Islam.
Kedua, masyarakat berperan sebagai kontrol sosial yang menerapkan amar makruf nahi mungkar. Ketika melihat ada kemaksiatan masyarakat tidak ragu untuk menasehati dan mencegahnya.
Ketiga, peran negara sebagai pengurus dan perisai umat. Negara bertanggung jawab menjaga moral dan mengatur berbagai tayangan publik, membasmi pornografi, miras, pelacuran, serta memberikan sistem sanksi yang tegas apabila ada yang melanggar. Sanksi hukum yang diberikan memberikan efek jera.
Alhasil, apabila ketiga pilar tersebut dijalankan maka kehidupan perempuan dan anak dapat terjaga kemuliaannya. Sebagaimana dulu ketika Islam memimpin dunia benar-benar menjaga muruah seorang perempuan. Sebab, Islam tegak di tengah-tengah kehidupan masyarakat dengan menerapkan seluruh hukum-hukum Islam.
Di samping itu, potret pemimpin hadir sebagai perisai untuk umatnya. Sebagaimana sosok Khalifah Mu'tashim Billah yang menjaga kehormatan seorang perempuan. Tatkala perempuan tersebut dilecehkan oleh seorang pemuda Romawi, sang khalifah menurunkan tujuh puluh ribu pasukannya dan mengepung kota Amuriyah hingga takluk di tangan kaum muslimin.
Sangat kontradiktif dengan kondisi perempuan di masa kini. Di mana perempuan kerap kali mendapat kekerasan dan tak terjaga kehormatannya. Oleh karenanya, menjadi perkara urgen mengambil syariat Islam sebagai solusi menuntaskan kekerasan terhadap perempuan saat ini. Wallahualam bissawab
Komentar
Posting Komentar