Korupsi Tak Kunjung Usai, Sistem Islam Jawabannya
Korupsi justru makin menggila, merambah hampir semua sektor, dan tak kunjung bisa diberantas tuntas.
OPINI
Oleh Rati Suharjo
Pegiat Literasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-"Siapa saja di antara kalian yang kami angkat menjadi pejabat atas suatu pekerjaan, lalu dia menyembunyikan sebatang jarum atau lebih, maka itu adalah ghulul (penggelapan), dan dia akan datang membawa apa yang disembunyikannya itu pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Hadis ini merupakan peringatan keras dari Rasulullah saw. agar siapa pun yang mengemban amanah tidak menyalahgunakannya, bahkan dalam perkara sekecil sebatang jarum. Sayangnya, realitas di negeri ini jauh dari nilai-nilai amanah tersebut. Korupsi justru makin menggila, merambah hampir semua sektor, dan tak kunjung bisa diberantas tuntas.
Setiap tahun, jumlah kasus korupsi terus meningkat, dan para pelakunya sering kali lolos atau hanya mendapat hukuman ringan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum yang diterapkan saat ini gagal memberi efek jera dan keadilan sejati. Maka, pertanyaannya: apakah solusi tuntas masih mungkin dicapai dalam sistem sekuler demokratis ini?
Saat ini, masyarakat kembali dikejutkan dengan kasus korupsi terbaru, yaitu:
Sebanyak lima individu telah ditetapkan sebagai tersangka dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada Kamis (26/6). Penangkapan ini terkait dengan dua kasus berbeda. Kasus pertama berkaitan dengan proyek pembangunan jalan yang ditangani oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumatera Utara. Sementara, kasus kedua menyangkut proyek di Satuan Kerja Pelaksana Jalan Nasional (Satker PJN) Wilayah 1 Sumatera Utara. Adapun total nilai kedua proyek tersebut mencapai Rp231,8 miliar.
Dalam kasus lain, KPK tengah menyelidiki dugaan korupsi dalam proyek pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) senilai Rp2,1 triliun di salah satu bank BUMN pada periode 2020–2024. Sejumlah dokumen, buku tabungan, dan bukti elektronik telah disita dari dua kantor pusat bank untuk dianalisis. Dalam kasus terpisah di Sumatera Utara, KPK menyatakan akan memeriksa siapa pun yang relevan, termasuk Gubernur Bobby Nasution (beritasatu.com, 30-06-2025).
Untuk mendukung proses penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan mesin EDC di salah satu bank milik negara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerbitkan larangan bepergian ke luar negeri bagi 13 orang. Kebijakan ini diambil guna menjamin kelancaran serta efektivitas jalannya proses penegakan hukum.
Melarikan diri ke luar negeri bukanlah hal yang aneh bagi para pelaku korupsi. Metode sederhana ini sering digunakan untuk memperoleh hasil kejahatan. Selanjutnya, dana hasil korupsi tersebut dialihkan ke berbagai aset, yang disamarkan secara legal di luar negeri sehingga menyulitkan negara dalam upaya pelacakan dan pengembaliannya.
Seperti yang disampaikan Wakil Ketua KPK Alex (beritasatu.com, 02-12-2025), upaya lembaganya untuk menangkap tersangka korupsi yang melarikan diri ke luar negeri masih menghadapi berbagai kendala, terutama akibat perbedaan sistem hukum antarnegara di kawasan ASEAN. Ia menjelaskan bahwa tidak semua negara ASEAN memiliki perjanjian kerja sama bilateral dengan Indonesia dalam hal ekstradisi atau penindakan hukum terhadap tersangka korupsi, terlebih apabila kasus tersebut turut melibatkan warga negara asing. Banyak pelaku korupsi yang diduga melarikan diri ke luar negeri bahkan hingga saat ini sulit dilacak, seperti Harun Masiku, Djoko Tjandra, Nunun Nurbaeti, Eddy Tansil, dan masih banyak lagi.
Para pelaku kasus korupsi yang tertangkap di negeri ini pun sulit memberikan efek jera. Jika dihitung setiap tahunnya, kasus korupsi selalu bertambah.
Hal ini disebabkan karena keadilan di negeri ini terlalu lunak. Bahkan, bisa dikatakan hukum di negeri ini tumpul ke atas, tajam ke bawah. Hukum untuk korupsi yang merugikan negara hingga ratusan triliun hanya diberi denda dan kurungan penjara 20 tahun. Bandingkan dengan masyarakat kecil yang mencuri semangka, ketela, dan sebagainya—mereka langsung dijebloskan ke penjara.
Bobroknya keadilan ini menjadi bukti bahwa demokrasi sekularisme telah gagal menghentikan tingkat kejahatan di negeri ini. Mirisnya, terkadang dijumpai bahwa penegak hukum bukannya memberikan keadilan yang adil, tetapi justru menerima suap agar hukum tidak dijatuhkan pada pelaku kejahatan.
Hal ini tidak akan dijumpai dalam sistem Islam, ketika Islam ditegakkan dalam konstitusi negara. Sebagaimana pernah diberlakukan selama ratusan tahun, bahkan hingga 1300 tahun. Sejarah mencatat selama itu hanya ada sekitar 200 kasus kriminalitas. Hal ini membuktikan bahwa Islam berhasil meminimalisir kejahatan dan memberikan efek jera bagi para pelaku maupun masyarakat.
Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini, di mana kasus demi kasus terus bermunculan dalam hitungan menit dan makin merusak tatanan kehidupan, seharusnya hal ini menyadarkan kita bahwa, berdasarkan fakta sejarah telah terbukti, hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan rasa aman, kesejahteraan, dan ketenteraman. Korupsi terjadi karena manusia kurang beriman terhadap sanksi akhirat kelak.
Dalam menangani kasus kriminalitas, Islam menerapkan sistem sanksi yang tegas sekaligus adil. Hukuman dalam sistem ini memiliki dua fungsi utama: sebagai jawabir (penebus dosa bagi pelaku) dan zawajir (pencegah agar orang lain tidak melakukan pelanggaran serupa).
Islam mengenal empat jenis sanksi pidana, yaitu hudud, jinayah, takzir, dan mukhalafat.
Hudud merupakan sanksi atas perbuatan maksiat yang kadar hukumannya telah ditentukan oleh syariat dan menjadi hak Allah Taala.
Jinayah adalah sanksi atas tindakan penganiayaan terhadap tubuh seseorang, yang mewajibkan pelaksanaan kisas.
Takzir adalah hukuman untuk maksiat yang tidak memiliki ketentuan hudud dan kafarat secara spesifik.
Mukhalafat merupakan bentuk sanksi yang dikenakan atas pelanggaran terhadap ketentuan administratif yang telah ditetapkan oleh otoritas negara.
Berbeda dari sistem hukum sekuler yang umumnya mengandalkan hukuman penjara, Islam menetapkan sanksi sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan. Misalnya, kasus pembunuhan disengaja dikenai hukuman kisas.
Dalam sistem Khilafah, penjara tetap ada, tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Selain sebagai sarana hukuman untuk memberikan efek jera, penjara juga menjadi tempat pembinaan kepribadian berbasis pemahaman Islam. Dengan demikian, para pelaku terdorong untuk bertobat secara sungguh-sungguh (tobat nasuha) dan tidak mengulangi perbuatannya. Melalui sistem sanksi yang adil dan tegas ini, tingkat kriminalitas dapat ditekan dan rasa aman di tengah masyarakat dapat terwujud.
Allah Swt. pun akan memberikan keberkahan, baik dari langit maupun bumi. Sebagaimana dijelaskan dalam Surah Al-A'raf ayat 96:
"Jika sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Sudah saatnya umat Islam sadar bahwa kasus kriminalitas seperti korupsi lahir dari sistem sekuler. Maka, dibutuhkan pergantian sistem menuju kebaikan, yaitu Islam. Hanya dengan penerapan Islam kafah dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem hukum dan pemerintahan, keadilan dan keberkahan dapat benar-benar terwujud.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar