Perundungan Anak Menjamak, Siapa yang Bertanggung Jawab?


OPINI

Bertambahnya kasus perundungan, menunjukkan bukti lemahnya sistem sanksi dan gagalnya regulasi yang dijalankan. 

Oleh Luluk Kiftiyah 

Pegiat Literasi


Muslimahkaffahmedia.eu.org_Allah Swt. berfirman;


كُلُّ نَفْسٍۭ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌۭ 


"Setiap manusia bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan". (QS. Al-Muddassir [74]: 38)


Ayat ini menjelaskan bahwa setiap manusia akan dihisab atas perbuatan yang ia lakukan selama di dunia, baik perbuatan baik ataupun buruk. Jika ia melakukan kebaikan maka pahala baginya. Sebaliknya, jika ia melakukan keburukan, maka dosa baginya. 


Namun kini, pahala dan dosa tidak lagi dijadikan sebagai standar perbuatan, karena perihal surga dan neraka dianggap urusan nanti. Mereka tidak takut dengan murka Allah dan tidak peduli apakah perbuatannya mendatangkan rida atau murka-Nya. Dalam jiwanya, yang terpikirkan hanyalah untuk mendapatkan kepuasan sesuai dengan yang ia harapkan. Seperti halnya kasus perundungan yang dilakukan oleh anak SMP kepada teman sebayanya. 


Kasus perundungan ini terjadi tepatnya di kampung Sadang Sukaasih, Desa Bumiwangi, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung. Kasus ini sudah mengarah pada tindakan kriminal, karena setelah korban dipaksa meneguk tuak dan merokok, korban ditendang hingga kepalanya terbentur bata sampai berdarah. Tak puas sampai di situ, kemudian korban diceburkan ke dalam sumur dengan kedalaman kurang lebih 3 meter. (cnnindonesia.com, 26/6/2025)


Kasus perundungan yang terjadi pada pelajar SMP ini hanyalah contoh kecil yang terlihat di permukaan. Di luar sana jauh lebih banyak dan tak kalah sadisnya. Sebagaimana kasus perundungan yang terjadi pada siswa kelas II SD, berusia 8 tahun, berinisial (KB) di Indragiri Hulu, Riau. Korban meninggal dunia karena mengalami kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelasnya. Korban sempat dirawat di Rumah Sakit karena sempat mengeluhkan sakit pada bagian perut. Namun naas, nyawa korban tak tertolong. (antaranews.com, 5/6/2025)


Bertambahnya kasus perundungan, menunjukkan bukti lemahnya sistem sanksi dan gagalnya regulasi yang dijalankan. Adanya hukuman pidana berupa penjara atau denda yang diberlakukan pada pelaku pembuli seolah hanya sebatas administratif. 


Sebab nyatanya, hukum yang diterapkan tidak memberikan efek jera pada pelaku. Buktinya kasus perundungan di setiap tahunnya semakin meningkat. Ditambah lagi, lemahnya hukum saat ini dijadikan dalih untuk lepas dari jeratan sanksi pidana karena "Masih di bawah umur". Jika pelaku perundungan belum berusia 18 tahun, maka mereka tidak dapat tersentuh hukum.


Kebijakan sanksi inilah yang membuat meningkatnya kasus perundungan. Apalagi didukung dengan kegagalan sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang diajarkan seharusnya dapat membentuk generasi yang beradab, berilmu, dan beriman. Namun sebaliknya, generasi hari ini banyak yang terlibat kasus kriminal. Sebagaimana contoh kasus perundungan di atas, memaksa temannya meminum tuak yang jelas-jelas minuman haram.


Banyaknya kasus perundungan merupakan buah dari penerapan sistem kehidupan yang sekuler kapitalistik (memisahkan agama dari kehidupan) dalam segala aspek. Sehingga tidak heran, jika manusianya tidak takut akan dosa dan menyepelekan akhirat yang nanti ada pertanggungjawaban atas segala perbuatan yang dilakukan selama di dunia. Dengan demikian, dibutuhkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh, bukan sekadar regulasi atau sistem sanksi yang tidak memberikan efek jera. Melainkan butuh paradigma kehidupan yang harus diemban oleh negara.


Islam sebagai sistem kehidupan yang sahih (aturan Allah), mampu menyelesaikan secara tuntas kasus perundungan. Secara konsep, Islam jelas mengharamkan perundungan, baik verbal apalagi fisik. 


Abu Hurairah ra. mengatakan, bahwa Rasulullah saw. bersabda: 

"Sesama muslim adalah saudara, tidak boleh saling menzalimi, mencibir, atau merendahkan. Sebab ketakwaan itu sesungguhnya di sini", sambil menunjuk dada dan diucapkan tiga kali. Lalu Rasulullah saw. melanjutkan, "Seseorang sudah cukup jahat ketika ia sudah menghina sesama saudara muslim. Setiap muslim adalah haram dinodai jiwa, harta, dan kehormatannya." (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad)


Jika dalam sistem demokrasi, seseorang dianggap dewasa ketika berusia 18 tahun ke atas, tetapi tidak dengan Islam. Islam memiliki konsep yang jelas. Seseorang baru terbebani hukum ketika ia sudah akil balig. Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Diangkat pena (taklif syariah) dari tiga golongan; anak kecil hingga ihtilaam (mimpi basah), orang yang tidur hingga ia bangun, dan orang gila hingga sehat akalnya". (HR. Bukhari dan Muslim)


Dari sini jelas, seharusnya akidah Islam dijadikan konsep dalam mendidik anak dan sebagai asas kurikulum tujuan pendidikan. Sehingga anak-anak paham akan posisi dirinya sebagai makhluk Allah dan sudah siap menjadi mukallaf ketika balig. Kesiapan ini harus diatur dalam pendidikan yang syar'i, yaitu adanya kolaborasi antara keluarga, masyarakat, dan negara. 


Pendidikan dalam keluarga, orang tua berkewajiban mendidik anak-anaknya dengan akidah Islam dan syariatNya. Sedangkan masyarakat melakukan perannya dengan wajib menjadikan mafahim (pemahaman), maqayis (standar), dan qanaat (penerimaan) serta interaksi yang sesuai dengan syariat Islam. Dengan begitu mereka akan mendapatkan contoh langsung penerapan syariat. 


Sedangkan negara melakukan perannya dengan menyusun kurikulum pendidikan yang berbasis akidah Islam, yang wajib diterapkan di setiap level jenjang pendidikan. Dengan begitu siswa akan mampu berpikir dengan benar, karena mereka sudah dibekali dengan tsaqofah Islam (ilmu tauhid, syariah, dan lainnya), sehingga terbentuklah seorang muslim yang berkepribadian (syakhsiyah) Islam. 


Alhasil di lingkungan manapun mereka hidup akan terkondisikan dengan akidah Islam dan syariatNya. Dari sinilah pintu perundungan akan tertutup, karena mereka sudah terpahamkan bahwa perundungan adalah perbuatan haram dan segala perbuatan yang mereka lakukan akan dipertanggungjawabkan di akhirat.


Selain itu sebagai sistem support yang lebih, negara juga menyiapkan tambahan sistem informasi dan sistem sanksi. Sistem informasi bertujuan untuk memberikan sarana pada anak agar mendapatkan edukasi Islam seperti, ilmu pengetahuan, kondisi politik dan sejenisnya. Negara juga berkewajiban menyaring tayangan yang merusak akidah dan moral. 


Sedangkan sistem sanksi akan diterapkan secara serius. Apabila ada yang masih melakukan perundungan di usia balig maka akan ditindak secara tegas. Dengan sanksi yang tegas, insyaallah pelaku akan jera. Anak-anak akan terbebas dari kasus perundungan dan dapat tumbuh menjadi generasi yang berkepribadian (syakhsiyah) Islam. Inilah solusi perundungan di dalam Islam. Semua ini niscaya akan terwujud apabila negara menerapkan sistem Islam secara Kaffah. 


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan