Perundungan Anak Terus Terjadi, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Gagalnya regulasi dan lemahnya sistem sanksi menjadi sebab fenomena perundungan terus terjadi.
OPINI
Oleh Riani Andriyantih, A.Md.
Ibu dan Pemerhati Generasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI -Rasa tak percaya dan sedih menyergap saat melihat banyak anak yang terlibat dalam kasus perundungan. Dalam hati bertanya, apakah mungkin mereka yang berstatus anak-anak, berusia belasan tahun, dan masih sangat muda, tega melakukan kekerasan terhadap teman mereka sendiri?
Sayang, pada kenyataannya di Garut seorang siswa SMA berinisial P ditemukan tak bernyawa di rumahnya. Ia diduga mengalami depresi berat akibat menjadi korban perundungan di sekolah. Kasus ini viral di media sosial setelah orang tua korban menceritakan kisah anaknya tersebut. Sang anak kerap kali mengalami kekerasan fisik dan pengucilan sosial di sekolah. (Inilah.com, 15-7-2025)
Bahkan, ditemukan kasus perundungan yang lebih ironis, yaitu sampai mengarah pada tindakan kriminal, seperti yang dilakukan oleh beberapa siswa SMP di Bandung yang menganiaya temannya. Hanya karena menolak meminum tuak dan merokok, korban harus membayar dengan diperlakukan tidak manusiawi. Ia ditendang hingga membentur bata, yang menyebabkan kepalanya mengucurkan darah. Tidak berhenti di situ, korban lalu diangkat dan diceburkan ke dalam sumur. (Cnnindonesia.com, 26-6-2025)
Secuil fakta kasus perundungan anak tersebut menunjukkan bahwa ini merupakan fenomena gunung es. Bukan hanya sekali dua kali terjadi, melainkan terus berulang, bahkan terus meningkat dari tahun ke tahun. Tidak sedikit kasus perundungan yang tidak terungkap. Terlebih, kondisi hari ini memperlihatkan bahwa keadilan sulit ditegakkan. Istilah “no viral no justice” nyata adanya. Hanya sedikit kasus perundungan yang terungkap dan memperoleh keadilan. Rasa aman dan nyaman terasa sulit diperoleh, baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
Sistem hari menimbulkan kekhawatiran bahwa sangat sulit menjaga anak-anak kita dari berbagai macam keburukan. Rasa aman tergerus oleh pengaruh media sosial yang menyuguhkan adegan-adegan kriminalitas. Belum lagi ruang terbuka yang tersedia untuk melakukan kejahatan seperti cyberbullying.
Pola asuh yang keliru dalam keluarga, seperti kurangnya keteladanan serta kasih sayang, mengakibatkan anak mencari perhatian di luar dengan cara yang salah. Sistem pendidikan saat ini turut andil memperburuk kondisi generasi, karena hanya mengedepankan prestasi akademik dan kurang menekankan pada aspek moral dan kepribadian. Sehingga, minim rasa untuk saling menghormati dan menyayangi pada diri anak-anak.
Seolah tidak memberi efek jera bagi pelaku dari penerapan sistem sanksi yang berlaku dalam sistem hari ini. Maka sangat mungkin jika kasus-kasus perundungan yang melibatkan anak akan terus meningkat. Padahal dampak negatif dari perundungan sangat besar, dari mulai gangguan kesehatan, gangguan sosial hingga gangguan mental.
Gagalnya regulasi dan lemahnya sistem sanksi menjadi sebab fenomena perundungan terus terjadi. Banyak yang tidak menyadari dan menganggap bahwa perundungan adalah hal yang wajar atau normal.
Sistem sanksi yang berlaku dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini secara nyata tidak mampu menindak dan menghukum pelaku perundungan secara tegas, terutama jika pelakunya adalah anak-anak. Meski adanya Undang-Undang Perlindungan Anak, namun pelaksanaannya tidak memberikan rasa keadilan, justru kasus perundungan oleh anak-anak makin marak karena tidak menimbulkan efek jera dan berpotensi terulang kembali.
Sistem pendidikan yang berasaskan sekularisme, juga menunjukan kegagalannya. Sistem pendidikan dijauhkan dari nilai-nilai agama sebagai fondasi kehidupan individu. Kasus perundungan pun muncul dalam berbagai bentuk mulai verbal (menghina secara lisan), fisik (kekerasan), sosial (pengucilan dan isolasi), emosional (pengabaian dan penghinaan), seksual (pelecehan), hingga cyberbullying (menghina, mengancam, atau menyebarkan hal yang tidak pantas melalui media sosial). Ironis memang.
Semua ini merupakan buah busuk dari penerapan sistem kehidupan yang berasaskan sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Setiap diri dibiarkan bebas bertindak dan bersikap tanpa memedulikan halal dan haram. Kesenangan dan hawa nafsu dijadikan tuan, tanpa peduli akibat.
Tentu saja kita tidak menginginkan anak-anak kita menjadi korban ataupun pelaku perundungan di kemudian hari. Maka harus ada upaya serius dan perubahan yang mendasar.
Dengan berbagai macam kasus perundungan yang mengiris hati, sudah seharusnya dilakukan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Tidak cukup hanya menyusun regulasi atau sanksi berat, tetapi juga perlu mengubah paradigma kehidupan yang dianut oleh negara.
Islam memandang bahwa perundungan adalah perbuatan haram, baik secara verbal maupun fisik, terlebih jika melibatkan barang-barang haram. Karena sejatinya, setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban. Balig di dalam Islam, merupakan titik awal seseorang bertanggung jawab kepada dirinya. Saat seseorang balig berarti sudah memikul beban hukum, memahami konsekuensi atas perbuatannya, dan mengetahui mana yang baik dan buruk. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Anak-anak tidak akan dibebani tanggung jawab sampai mereka mencapai usia balig.” (HR. Muslim)
Islam menjadikan sistem pendidikan berlandaskan Al-Qur'an dan As-sunah, serta berbasis akidah Islam sebagai bekal untuk menyiapkan anak menjadi mukalaf saat balig. Pihak-pihak yang berperan adalah keluarga, masyarakat dan negara, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menyusun kurikulum pendidikan di semua tingkatan. Bahkan dalam pendidikan keluarga, negara memiliki kurikulumnya. Semua itu demi mewujudkan generasi yang berkepribadian islami, yakni generasi yang menjadikan aturan Islam sebagai landasan dalam berpikir dan bersikap.
Sistem informasi dan sistem sanksi juga dibuat oleh negara demi memperkuat arah pendidikan. Dengan demikian, akan lahir generasi yang memiliki kepribadian Islam, generasi yang bertakwa, tunduk pada syariat, dan tumbuh menjadi pribadi yang saleh, cerdas, serta bermanfaat bagi banyak orang.
Wallahualam bissawab.
Komentar
Posting Komentar