Anak Disayang Ibu Dibuang, Buah Busuk Kapitalisme


OPINI

Pengaruh budaya kapitalis-liberalis meracuni anak-anak dan hasilnya adalah anak-anak itu memiliki jiwa yang lemah, terjangkiti oleh penyakit wahn, cinta dunia, dan takut mati.

Oleh Nur Syamsiah Tahir 

Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK 


Muslimahkaffahmedia.eu.org_Masih jelas terekam di ingatan tentang peribahasa yang menyatakan kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepenggalah. Maksud dari peribahasa tersebut adalah kasih sayang seorang ibu akan terus ditunjukkan mulai saat hamil, melahirkan, selama masa menyusui, bahkan sampai sang anak dewasa. Sebaliknya kasih sayang anak pada ibunya sebatas apa yang dia bisa dan dia mau. Apa yang digambarkan dalam peribahasa tersebut tampak pada peristiwa yang terjadi di Desa Jambangan Kecamatan Besuk Kabupaten Probolinggo.


Sebagaimana diinformasikan oleh detik.com Probolinggo pada Selasa, 29 Juli 2025, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Probolinggo telah memeriksa Musrika, anak yang diduga menganiaya dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Di hadapan penyidik Musrika mengaku bahwa dirinya kesal pada sang ibu yang seringkali marah-marah tanpa sebab dan sering buang air besar di halaman rumah tetangga. Kekesalan itu memuncak hingga Musrika tega menganiaya dan mengusir ibunya. 


Aksi ini sempat viral di media sosial dan menuai kecaman publik. Akibatnya Musrika sempat menghilang dari rumahnya. Kemudian polisi berhasil menemukan yang bersangkutan di rumah anaknya di Desa Sebaung, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. 


Musrika pun dibawa untuk menjalani pemeriksaan di Mapolres Probolinggo. Sedangkan sang ibu atau korban dirawat di Panti Jompo Griya Lansia Malang setelah sebelumnya ditemukan oleh pengurus panti. Pasca viralnya kasus ini, Musrika dan saudara-saudaranya menjemput sang ibu dari panti dan meminta maaf lalu membawanya pulang kembali ke rumah mereka.


Mengapa Sang Anak Tega Membuang Sang Ibu?


Perilaku sang ibu yang kerapkali marah-marah dan buang air besar di halaman rumah tetangga menjadi pemantik bagi sang anak hingga tega membuang sang ibu. Tidak hanya itu, nyatanya persoalan lain yang lebih beragam dan lebih besar lagi yang muncul dalam kehidupan saat inilah yang justru menjadi pemantik awal. Di antaranya PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di mana-mana, tekanan ekonomi yang tak kunjung reda, penghasilan yang tak seimbang dengan kebutuhan hidup, kesenjangan sosial, pola hidup konsumerisme, pola hidup individualistis, dan lain sebagainya.


Fakta seperti ini wajar terjadi karena pola kehidupan yang tercipta dalam kehidupan saat ini adalah pola hidup kapitalis sekuler. Pola kehidupan yang hanya menjadikan agama sebatas aktivitas ritual belaka sedangkan aspek kehidupan yang lain diatur sendiri oleh manusia. Maka dari sini lahirlah egoisme yang didorong adanya asas manfaat. 


Masing-masing individu akan menjalankan apa yang menurut dirinya bermanfaat atau mendatangkan kemanfaatan, sebaliknya jika merugikan dan mendatangkan kerugian pasti akan ditinggalkan. Dari sini pula lahir sikap individualistis, yang penting untuk diri sendiri sudah terpenuhi sedangkan orang lain terserah mereka.


Dengan demikian kondisi ibu yang sudah lemah, tidak berdaya, dan tidak berdaya guna merupakan kondisi yang tidak mendatangkan kemanfaatan bagi sang anak bahkan yang ada hanyalah kerugian semata. Kondisi inilah yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa tersebut.


Islam Mewujudkan Kasih Sayang Selamanya


Islam sebagai sebuah agama telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Termasuk mengatur keberadaan sebuah keluarga yang di dalamnya ada hubungan darah dan interaksi yang terus-menerus antara ayah, ibu, dan anak-anaknya. Di dalam keluargalah kehidupan anak dimulai. 


Hak anak mendapatkan pendidikan yang pertama dan utama dalam keluarga, di antaranya mendapatkan penanaman akidah sejak dini, pembiasaan pelaksanaan hukum Islam, keteladanan, dan penguasaan tsaqâfah dasar. Orang tualah yang berperan sebagai guru. Namun karena sosok ayah memiliki kewajiban untuk mencari nafkah, maka tugas sebagai guru lebih banyak jatuh di tangan ibu.


Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,


وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا

Seorang perempuan adalah pemelihara di rumah suaminya, ia akan dimintai pertanggung jawaban mengenai apa yang menjadi tanggung jawab pemeliharaannya.

 

Tidak hanya untuk kedua orang tua, bagi seorang anak ada hak dan kewajiban yang dibebankan kepadanya. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 83 Allah Swt. berfirman yang artinya: "Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan …"


Selain itu Allah Swt. juga berfirman dalam QS. Al-Ahqaf ayat 15 yang artinya: "Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya." 


Di samping itu masih banyak ayat yang isinya serupa yakni seruan tentang hak dan kewajiban anak kepada orang tuanya. Dengan demikian akan tercipta hubungan yang harmonis dan tumbuh kasih sayang selamanya antara orang tua dan anak serta antara anak dan orang tua.


Namun sayang, akhir-akhir ini fungsi ibu sebagai pendidik anak telah bergeser. Begitu pula dengan ketaatan anak terhadap orang tuanya pun ikut bergeser. Para ibu justru memegang kendali dalam mencari nafkah. Hal ini didorong oleh tuntutan ekonomi dan pengaruh propaganda kesetaraan gender.


Akibatnya, pendidikan anak dalam keluarga tidak berjalan sempurna. Orang tua mencukupkan pendidikan agama anak hanya dari sekolah yang jauh dari memadai. Maka tidak heran bila kemudian kerusakan anak justru dimulai dari dalam keluarga. Disadari atau pun tidak oleh para orang tua, penanaman nilai-nilai liberalisme dan sekularisme lebih banyak berasal dari televisi dan internet di rumah. Bahkan kebiasaan merokok, narkoba, dan seks bebas juga dilakukan di rumah.


Di samping itu, ibu-ibu yang tidak bekerja pun banyak yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki gambaran tentang fungsi keibuan yang mereka emban. Bagi mereka menikah dan punya anak merupakan skenario yang harus mereka jalani seperti air mengalir. Tidak ada target dalam mendidik anak. Tidak pula memahami kelak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.. 


Kita pun mendapati ibu-ibu justru menjerumuskan anaknya dalam kerusakan. Tak jarang ibu justru mengajak anak kecilnya untuk menonton sinetron, infotainment, tayangan mistik, dan sebagainya. Bahkan ibu juga mengabulkan semua permintaan anak, tidak menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, yang baik dan yang buruk. Lebih parah lagi ibu juga abai terhadap agama dan akhlak anaknya.


Di sisi lain, masih banyak di antara para ibu yang gamang dengan persoalan mendidik anak. Sosok ibu memimpikan anaknya menjadi pemimpin, pejuang, dan pengemban dakwah, tetapi ternyata tidak sungguh-sungguh meraih keinginan tersebut, atau justru tidak tahu bagaimana cara mewujudkannya. Seringkali ibu tidak menyusun target-target yang jelas dan terukur. 


Bapak dan ibu tidak merumuskan langkah-langkah yang jelas. Terhadap anak-anaknya pun orang tua tidak menilai perkembangan kemampuan berpikirnya, berakidahnya, tsaqâfah dan sebagainya. Orang tua juga tidak melibatkan mereka dalam perjuangan dakwah, bahkan tidak mengentalkan ruh perjuangan dalam jiwa mereka. Kita membiarkan anak apa adanya. Alhasil, pengaruh budaya kapitalis-liberalis meracuni anak-anak dan hasilnya adalah anak-anak itu memiliki jiwa yang lemah, terjangkiti oleh penyakit wahn, cinta dunia, dan takut mati.


Kondisi seperti saat ini adalah wajar karena kita hidup dalam genggaman kapitalis sekuler. Dari sinilah lahir generasi yang berorientasi kapitalis sekuler pula hingga tega mengusir dan membuang ibunya. Oleh karena itu, sudah tiba saatnya untuk menumbuhkan semangat perjuangan agar kehidupan ini kembali pada genggaman Islam dan menerapkan syariatnya secara kafah yakni dalam naungan Negara Islam.


Wallahua'lam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan