Delapan Dekade Merdeka, Apa Kabar Kesejahteraan Para Guru Kita?
Bertepatan dengan delapan dekade kemerdekaan RI ini perasaan para guru justru terluka.
OPINI
Oleh Nur Syamsiah Tahir
Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi AMK
Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Pembangun insan cendekia
....
Empat baris lirik di atas merupakan potongan dari lirik lagu Hymne Guru yang pastinya masih terukir jelas di ingatan kita. Tentu saja karena untaian lirik lagu tersebut merupakan gambaran tentang fungsi dan tugas guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan negara. Sehingga tidak berlebihan jika Sartono, seorang guru musik yang lahir di Madiun pada tanggal 29 Mei 1938 mengukir keistimewaan dan dedikasi para guru ini dalam sebuah lagu. Lagu tersebut akhirnya menang pada ajang lomba cipta lagu bertema pendidikan yang digelar dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional di lingkup Departemen Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi).
Namun sayang seribu sayang, bertepatan dengan delapan dekade kemerdekaan RI ini perasaan para guru justru terluka. Sudah viral di media sosial tentang apa yang dilontarkan oleh Menkeu RI, Sri Mulyani. Hal ini juga dimuat oleh tempoplus.co.id “Banyak di media sosial, saya selalu mengatakan, menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya enggak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara,” ujar Sri Mulyani dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di Institut Teknologi Bandung, Jawa Barat, Kamis, 7 Agustus 2025.
Lebih lanjut Sri justru mempertanyakan tentang beban kenaikan gaji guru, apakah harus ditanggung negara atau melibatkan partisipasi masyarakat. Secara mendetail Sri menyampaikan bahwa anggaran pendidikan pada tahun 2025 mencapai Rp 724,3 triliun. Anggaran ini dipilah menjadi tiga kluster: kluster pertama digunakan untuk manfaat langsung bagi siswa dan mahasiswa, kluster kedua untuk gaji guru dan dosen, dan kluster ketiga untuk pembangunan infrastruktur pendidikan.
Adapun dana untuk guru dan dosen meliputi gaji hingga tunjangan kinerja. Tidak hanya itu, anggaran pendidikan juga digunakan untuk Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), serta beasiswa LPDP dan program digitalisasi pembelajaran.
Pembagian anggaran tersebut sebenarnya masih sangat jauh dari keterpenuhan atas kebutuhan di dunia pendidikan. Yang tampak justru kesenjangan antara pendidikan di perkotaan dan di pedesaan, terlebih lagi bagi pendidikan di daerah pelosok atau daerah tertinggal. Banyak bangunan sekolah yang tak layak ditempati, bahkan bangunannya berupa gubuk yang sudah reyot. Para pelajar juga bersekolah tanpa sepatu. Jarak perjalanan yang cukup jauh dan membahayakan diri mereka harus dijalani. Dari sisi pendidik, gaji yang diterima tak layak, bahkan ada pula yang tidak terima gaji sampai berbulan-bulan. Fakta ini tentu saja wajar bagi negeri yang menerapkan sistem kapitalis sekuler.
Jika dilihat dari definisinya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kapitalis lebih lengkapnya kapitalisme adalah sistem dan paham perekonomian yang penanaman modalnya dan kegiatan industrinya bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan. Sedangkan sekuler adalah bersifat duniawi atau kebendaan atau materi. Sekularisme juga berkaitan dengan pandangan atau paham sekuler.
Adapun dalam kitab Nidzamul Islam karya Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, aqidah sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan pada hakekatnya merupakan pengakuan secara langsung akan adanya agama. Para pengusung paham ini mengakui adanya Pencipta alam semesta, manusia, dan hidup, serta mengakui adanya hari kebangkitan. Namun pada realitanya mereka menetapkan agama harus dipisahkan dari kehidupan. Faktanya pengakuan tersebut hanyalah formalitas belaka karena pada dasarnya mereka mengagung-agungkan kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan beragama, kebebasan berekonomi, kebebasan bertingkah laku, bahkan merambah pada kebebasan membuat aturan sendiri dalam kehidupan ini, di antaranya kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan kepemilikan, dan lain-lain.
Oleh karena itu dalam sebuah negeri yang mengemban sistem kapitalis sekuler segala sesuatunya dilaksanakan atas dasar modal dan asas manfaat. Para pemilik modal bisa bebas mewujudkan apa saja yang mereka kehendaki dan yang mendatangkan kemanfaatan bagi mereka, dalam hal ini melalui para pemegang tampuk kekuasaan.
Praktik semacam ini otomatis merambah pada semua aspek kehidupan, baik aspek ekonomi, aspek sosial, aspek budaya, aspek agama, aspek politik, aspek pendidikan bahkan aspek negara. Dengan demikian permasalahan ini merupakan permasalahan yang kompleks. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan permasalahan kesejahteraan guru dibutuhkan adanya perubahan yang mendasar dan menyeluruh, tidak cukup dengan mengurangi subsidi pada pos-pos tertentu. Lebih dari itu dibutuhkan perubahan pada paradigma kehidupan yang diemban oleh negara, khususnya tentang paradigma pendidikan dan kesejahteraan guru.
Guru Sejahtera dalam Naungan Sistem Islam
Pendidikan adalah unsur yang sangat penting dalam Islam, yakni sebagai pilar peradaban. Akidah Islam adalah asas pendidikannya. Adapun tujuan pendidikannya adalah untuk membangun kepribadian Islam serta penguasaan ilmu kehidupan bagi peserta didik. Dengan demikian akan dihasilkan peserta didik yang keimanannya kuat dan mendalam pemikiran Islamnya. Inilah pemikiran (fikrah) pendidikan Islam. Adapun fikrah ini hanya akan terwujud dengan adanya Khilafah sebagai metode (thariqah)-nya. Khilafahlah yang bertanggung jawab penuh terhadap formalisasi pendidikan Islam.
Sistem pendidikan dalam naungan Islam berhasil melahirkan peradaban yang gemilang. Pada saat itu, para pengajar adalah pionir utama bagi kemaslahatan umat. Berdasarkan hal itu maka negara memberi reward berupa jaminan kesejahteraan dan penghargaan yang ideal berupa gaji, tunjangan, maupun hadiah bagi mereka.
Pada masa kekhilafahan, seorang profesor di bidang hukum yang mengajar di Madrasah Nizhamiyah menerima gaji sebesar 40 dinar (JW Draper dalam History of the Conflict). Para guru juga mendapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan dari negara, bahkan seluruh warga negara pun mendapatkan fasilitas tersebut. Negara menyediakan perumahan bagi para pengajar. Fasilitas literasi yang terbaik level dunia disediakan di dalam kampus. Para pengajar bisa mengunjungi negeri-negeri lain dalam rangka pengamatan, penelitian, mereguk ilmu baru, dan mengajarkan ilmu yang mereka miliki. Alhasil, pendidikannya adalah pendidikan yang berkualitas dan diakui dunia. Bahkan tokoh pendidikan dunia mengakui kegemilangan ini. Sebagaimana dikatakan oleh Jacques C. Reister dalam kitab Min Rawa'i Hadhratina, “Selama 500 tahun, Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan, dan peradabannya yang tinggi.”
Demikianlah ketika sistem Islam diterapkan. Untuk itu bertepatan dengan momen dekade ke-8 kemerdekaan negeri ini saatnya kita kembali pada penerapan Islam kafah. Wallahualam bissawab.

Komentar
Posting Komentar