Ironi, Wakil Rakyat Hidup Mewah di Tengah Nestapa Bangsa


 

Sungguh ironi, rakyat hidup dalam penderitaan sementara wakil rakyat hidup dalam kemewahan.

OPINI

Oleh Purwanti
Aktivis dakwah


Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI-Berita mengenai kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menimbulkan gelombang kritik di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, di saat rakyat masih berjibaku menghadapi harga sembako yang terus melambung, biaya pendidikan yang kian mahal, hingga layanan kesehatan yang tak merata, PHK di mana-mana, para wakil rakyat justru menambah fasilitas demi kenyamanan hidup mereka. Sungguh ironi, rakyat hidup dalam penderitaan sementara wakil rakyat hidup dalam kemewahan.


Wakil ketua DPR, Adies Kadir mengumumkan bahwa pemerintah akan menaikkan tunjangan beras dan bensin untuk anggota DPR periode 2024-2029. Sebagai berikut rincian tunjangan tersebut,  beras naik dari 10 juta rupiah menjadi 12 juta rupiah. Sementara itu, tunjangan bensin di naikkan menjadi 7 juta perbulan dari sebelumnya 4 sampai 5 juta rupiah. Kenaikan tersebut diberikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati karena merasa iba terhadap para legislator. Selain tunjangan yang naik, anggota DPR juga menerima tunjangan rumah sebesar 50 juta perbulan sebagai kompensasi tidak lagi mendapat rumah dinas.(Tempo.co, 22 Agustus 2025)



Rakyat Menderita



Kenyataan pahit harus dirasakan oleh masyarakat saat ini. Di mana kenaikan harga pangan membuat masyarakat kecil kesulitan membeli beras. Upah pekerja yang rendah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ditambah lagi, PHK terus meningkat sehingga membuat kepala keluarga harus kehilangan mata pencarian. 


Belum lagi masyarakat harus berjuang dalam menghadapi kesulitan akibat pajak yang ditetapkan pemerintah. Parahnya, masyarakat diwajibkan untuk membayar pajak, sedangkan pejabat dibebaskan dari pajak. Oleh karena itu, masyarakat makin banyak yang jatuh ke jurang kemiskinan


Inilah wajah nyata rakyat Indonesia hari ini. Perjuangan hidup serba sulit dan penuh keterbatasan.



Hilang Empati



Pemerintah melakukan pemotongan anggaran pada sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan layanan umum yang berdampak menurunnya kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, pemerintah malah melakukan pemborosan anggaran dengan menaikkan tunjangan bagi wakil rakyat. Ini berarti, wakil rakyat justru menari-nari di atas derita rakyat.


Kenaikan tunjangan DPR menandakan hilangnya empati dalam politik. Wakil rakyat seolah lupa pada realitas hidup konstituen yang memilih mereka. Mereka memikirkan kepentingan internal ketimbang memikirkan kebutuhan masyarakat luas.


Padahal, politik seharusnya lahir dari kepedulian. Seorang legislator yang benar-benar memahami penderitaan rakyat akan merasa malu menikmati fasilitas berlebihan ketika rakyatnya masih kelaparan. Namun, kenyataan menunjukkan hal sebaliknya, makin tinggi kursi kekuasaan, makin jauh jarak empati dengan rakyat.



Akar Masalah Politik Demokrasi



Akar permasalahan yang terjadi di negeri ini adalah diembannya sistem demokrasi. Dalam sistem ini, politik dipandang sebagai jalan mendapatkan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Sistem ini telah menjauhkan dari hakikat sebagai amanah dan pengabdian.


Sistem demokrasi lahir dari ideologi sekuler kapitalis. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan sehingga mereka hanya fokus untuk meraih kepuasaan materi. Karena itu, wajar pejabat dan penguasa merasa tidak berdosa ketika mereka menggunakan uang rakyat untuk kehidupan mewah di saat rakyat mati kelaparan.


Begitu besar biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi anggota dewan. Mulai dari kampanye, logistik, hingga serangan fajar. Setelah terpilih, logika kapitalisme mendorongnya untuk balik modal melalui gaji, tunjangan, proyek, atau bahkan praktik korupsi. Politik menjadi investasi, bukan amanah.


Maka wajar bila perhatian lebih banyak tertuju pada bagaimana menambah fasilitas dan tunjangan, bukan bagaimana menurunkan harga beras atau membuka lapangan kerja untuk rakyat. Sistem demokrasi telah mencetak politisi yang jauh dari jiwa pengabdian.


Pandangan Islam Politik Adalah Amanah


Dalam Islam, politik (siyasah) dipahami sebagai aktivitas untuk mengurus urusan umat dengan hukum-hukum syariat. Seorang pemimpin adalah pelayan rakyat, bukanlah tuan. Rasulullah saw. menegaskan bahwa pemimpin adalah ra‘in (penggembala) yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.


Sejarah Islam mencatat teladan luar biasa dari para khalifah. Umar bin Khattab, misalnya, memilih hidup sederhana, bahkan lebih miskin daripada sebagian rakyatnya. Ia menunda makan hanya karena khawatir ada rakyat yang masih lapar. Ia berjalan malam hari untuk memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi. Inilah standar kepemimpinan dalam Islam, adanya empati, kesederhanaan, dan pelayanan tulus.


Dalam sistem pemerintahan Islam, pejabat publik tidak dibenarkan menerima fasilitas berlebihan. Mereka hanya mendapatkan gaji secukupnya untuk memenuhi kebutuhan, bukan untuk hidup bermewah-mewahan. Bahkan, ada aturan ketat agar pejabat tidak menyalahgunakan jabatan demi keuntungan pribadi. Negara Islam pun berkewajiban menjamin kebutuhan pokok rakyat sehingga tidak ada kesenjangan ekstrem antara elit politik dan rakyat jelata.


Kenaikan tunjangan DPR di tengah penderitaan rakyat adalah potret nyata ironi politik di negeri ini. Wakil rakyat hidup mewah, sementara rakyat yang diwakilinya menderita. Fenomena ini lahir dari sistem politik demokrasi yang menjadikan jabatan sebagai jalan memperkaya diri, bukan sebagai amanah untuk melayani.


Sudah saatnya rakyat sadar bahwa persoalan ini tidak bisa selesai dengan sekadar mengganti wajah-wajah politisi. Yang harus diubah adalah sistemnya. Islam menawarkan sistem politik yang berorientasi pada pelayanan, bukan keuntungan. Dalam sistem Islam, seorang wakil rakyat akan merasa berat menikmati kemewahan ketika rakyatnya masih kesulitan.


Penutup


Kondisi seperti ini tidak boleh dibiarkan terus berulang. Harapan akan hadirnya kepemimpinan yang adil dan empatik hanya bisa terwujud dalam sistem Islam, sebab politik dipahami sebagai amanah, bukan sebagai ajang kemewahan. Bukan seperti saat ini, rakyat hanya bisa mengelus dada melihat para wakilnya hidup mewah di tengah nestapa.


Wallahualam bissawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan