Kapitalisme Memicu Generasi Rusak: Terjerat Narkoba dan Kekerasan
OPINI
Pendidikan sekuler gagal menanamkan kesadaran akan jati diri seorang Muslim.
Oleh Rati Suharjo
Pegiat Literasi
Muslimahkaffahmedia.eu.org_Kemajuan teknologi, derasnya arus informasi, dan gemerlap gaya hidup modern sering diagung-agungkan sebagai puncak keberhasilan peradaban. Namun, di balik kilau itu, kapitalisme menabur racun yang perlahan menggerogoti jiwa generasi. Hidup mereka ditekan oleh persaingan tanpa henti, diburu oleh tuntutan konsumtif, dan digiring untuk mengejar kebahagiaan palsu. Akibatnya, tak sedikit yang kehilangan arah. Sebagian memilih melarikan diri lewat narkoba, sementara yang lain terperangkap dalam lingkaran kekerasan.
Sistem yang menjadikan keuntungan sebagai “tuhan” ini tidak hanya membentuk angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga memicu krisis moral dan kehampaan spiritual. Dari rahim sistem inilah lahir generasi yang rapuh. Generasi yang seharusnya menjadi harapan, kini justru terperangkap dalam jerat kapitalisme.
Fakta di lapangan semakin menguatkan gambaran kelam ini. Misalnya, sebuah video berdurasi 19 detik yang viral di media sosial menampilkan aksi kekerasan terhadap MA (16), seorang siswa di SMK Negeri 2 Pangkep, Sulawesi Selatan. Dalam rekaman itu, MA tampak dihujani pukulan oleh F (16) di jalan raya depan sekolah. Ironisnya, sejumlah siswa lain hanya berdiri menyaksikan, bahkan merekam peristiwa tersebut dengan ponsel mereka, seolah kekerasan adalah tontonan biasa. (beritasatu.com, 4/8/2025)
Tak lama berselang, tragedi memilukan terjadi di Kabupaten Musi Rawas Utara, Sumatera Selatan. Murid kelas 4 SD berinisial JN (9) menikam leher RI (13), siswa kelas dua MTs, dengan gunting hingga korban tewas. Aksi ini dipicu oleh perkelahian sepele, namun berujung pada kematian. Luka tusuk di leher kiri RI menjadi saksi bisu betapa mudahnya nyawa melayang di tangan generasi muda. (detiknews.com, 11/8/2025)
Kekerasan tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah. Di Jakarta Utara, Unit Reskrim Polsek Metro Penjaringan menangkap lima pelajar yang terlibat aksi pembegalan terhadap sopir truk ekspedisi di lampu merah Jalan Gedong Panjang. Menurut Kanit Reskrim AKP Sampson Sosa Hutapea, para pelaku tidak hanya merampas barang korban yang sudah lanjut usia, tetapi juga memukulnya hingga menyebabkan luka di kepala dan dagu. Kaca depan truk korban pun pecah akibat serangan brutal tersebut. (beritasatu.com, 8/8/2025)
Rangkaian kejadian ini menunjukkan betapa rentannya remaja masa kini terjerumus dalam tindakan kekerasan yang bahkan bisa merenggut nyawa. Darah mudah sekali tumpah baik, di halaman sekolah, gang sempit, dan sudut taman kota. Narkoba menggerogoti akal sehat, sementara kekerasan memadamkan sisa nurani. Generasi saat ini kian rapuh menahan diri dari jerat kemaksiatan. Mereka mudah tergelincir dalam dosa, goyah menghadapi persoalan, dan menjalani hidup di bawah bayang-bayang ketakutan serta kecemasan yang menyesakkan. Batin mereka layaknya kapal tanpa kemudi, hanyut di samudra kelam tanpa secercah cahaya.
Akar persoalan ini bukanlah sekadar perilaku individu yang menyimpang, melainkan sistem yang membentuk mereka. Kerusakan remaja berawal dari pendidikan sekuler yang memisahkan kehidupan dari aturan Allah Swt. Mereka diajarkan ilmu tanpa iman, kecerdasan tanpa akhlak, dan kebebasan tanpa batas. Nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi porosq moral justru diabaikan, diganti dengan standar hidup materialistis dan pandangan dunia yang dangkal.
Pendidikan sekuler gagal menanamkan kesadaran akan jati diri seorang Muslim. Tanpa pemahaman berpikir secara Islami, generasi tumbuh tanpa arah. Padahal, pola pikir yang benar akan menuntun perilaku agar selaras dengan aturan Sang Pengatur, Allah Swt. Tanpa itu, mereka mudah tergoda arus pergaulan bebas, terseret narkoba, kekerasan, dan berbagai bentuk kemaksiatan yang merusak masa depan.
Sayangnya, dalam sistem demokrasi sekuler, dalil ini sering diabaikan. Mereka tidak memiliki rasa takut kepada Allah Swt., sementara pikirannya dipenuhi gagasan yang mengagungkan kebebasan tanpa batas. Lahirlah generasi yang pandai berdebat namun buta kebenaran, lihai berbicara tentang toleransi namun abai pada syariat, merasa merdeka padahal sejatinya terbelenggu hawa nafsu.
Lingkungan yang seharusnya menjadi benteng moral justru berubah menjadi ladang subur kemaksiatan. Sifat individualistik dan materialistik membuat masyarakat sibuk mengejar kepentingan pribadi, buta terhadap derita di sekelilingnya. Tak ada tangan yang terulur untuk menuntun pada kebaikan, tak ada suara lantang yang mengingatkan pada aturan Allah Swt.
Belum lagi media yang lepas kendali menyajikan tontonan tanpa batas dan tanpa filter, seolah menormalisasi keburukan. Generasi yang candu gawai dapat dengan mudah mengakses konten kekerasan, pornografi, dan kemaksiatan hanya dalam hitungan detik. Pintu menuju kerusakan moral terbuka lebar di ujung jari mereka, meracuni hati, merampas kesucian pikiran, dan mematikan nurani bahkan sebelum dewasa.
Pemerintah seharusnya mengambil langkah nyata untuk menghentikan semua ini. Generasi adalah estafet kemajuan bangsa. Masa depan sebuah negara bergantung pada kualitas generasinya hari ini. Ketika generasinya rusak, maka runtuhlah negara tersebut.
Solusi yang dibutuhkan harus menyentuh akar permasalahan. Diperlukan perbaikan pendidikan, pembinaan masyarakat, dan kebijakan negara yang berlandaskan Islam secara menyeluruh di bawah institusi Khilafah. Hanya negara yang menerapkan syariat yang akan melindungi rakyatnya dari perbuatan dosa.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya imam itu perisai bagi rakyatnya. " (HR. Bukhari dan Muslim)
Melalui penerapan syariat tersebut, negara akan melindungi generasi melalui pembentukan kurikulum pendidikan Islam agar tercetak generasi yang berakidah dan berkepribadian Islam. Dengan demikian, akan lahir generasi yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memahami iman dan tanggung jawab hidup sebagai seorang Muslim.
Generasi seperti ini akan memahami tujuan hidup di dunia dan akhirat, sehingga berhati-hati dalam bersikap dan bertutur kata. Mereka sadar setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Negara juga wajib mengontrol dan memfilter media agar menjadi sarana penyebaran Islam serta penguatan tsaqafah Islam, bukan penyebar keburukan.
Selain itu, negara juga akan membentuk peradilan yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunah, bukan kehendak manusia. Keadilan ini akan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan dan menjaga masyarakat.
Dalam Islam, pemakaian narkoba termasuk perbuatan haram karena masuk kategori mufattir (segala zat yang memabukkan atau menghilangkan akal). Sanksi bagi pengguna narkoba adalah ta’zir, yang bentuknya disesuaikan kebijakan penguasa. Tujuannya adalah mencegah kerusakan jiwa dan akal masyarakat.
Adapun bagi pelaku kekerasan yang menyebabkan kematian, hukumannya adalah qishash. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surat Al-Isra’ ayat 33, yang artinya:
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan alasan yang benar. Barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ia melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan." (QS. Al-Isra' [17]: 33)
Inilah solusi hakiki untuk menyelamatkan generasi dari jurang kehancuran moral. Tanpa penerapan Islam secara kafah, kerusakan akan terus merajalela dan generasi muda akan terus menjadi korban.
Wallahualam bisshawab
Komentar
Posting Komentar