Kemerdekaan yang Semu: Beban Hidup Rakyat di Tengah Sekularisme


OPINI

Jika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh dalam aspek ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya barulah rakyat akan merasakan kemerdekaan yang hakiki. 

Oleh Rati Suharjo

Pegiat Literasi


Muslimahkaffahmedia.eu.org_Delapan puluh tahun kita mengibarkan bendera, melantunkan lagu kebangsaan, dan meneriakkan “Merdeka!” sekuat dada. Namun, di balik riuh pesta kemerdekaan, terselip belenggu yang tak kasat mata. Bukan lagi rantai besi penjajah asing, melainkan ikatan ketergantungan, kerakusan koruptor, dan ketidakadilan. Pertanyaannya: sudahkah kita benar-benar merdeka?


Banyak masyarakat pontang-panting menghadapi kondisi perekonomian. Pendapatan mereka habis hanya untuk kebutuhan harian seperti makan, bahkan sering kali uang sudah menipis padahal gajian masih jauh. Hal inilah yang dialami Aris (31), warga Kota Bandung, setelah pandemi Covid-19. Pendapatan riil tak sebanding dengan lonjakan biaya hidup, sehingga untuk memperbaiki taraf hidup terasa nyaris mustahil. Kondisi ini membuat mereka rawan terperosok menjadi miskin (tirto.id, 7/8/2025)


Dalam bidang ekonomi, negeri ini sebenarnya kaya akan sumber daya alam, seperti nikel, emas, hutan, minyak, dan lainnya. Namun, masyarakatnya tetap terjebak dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Banyak masyarakat menengah ke bawah kini menjadi “miskin baru”. Pemutusan hubungan kerja kian marak, sedangkan harga kebutuhan pokok terus meroket. Mayoritas korban PHK menguras tabungan atau pesangon, yang pada akhirnya menambah angka kemiskinan. Janji kampanye Wakil Presiden Gibran untuk menyediakan lapangan pekerjaan pun, nyatanya tak kunjung terwujud.


Dalam bidang kesehatan, beban rakyat semakin berat. Iuran BPJS Kesehatan yang awalnya dijanjikan sebagai solusi pemerataan layanan, justru terus naik. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2020, iuran kelas I menjadi Rp150 ribu per bulan, kelas II Rp100 ribu, dan kelas III Rp35 ribu (sebagian masih disubsidi). Ironisnya, lonjakan ini tidak selalu disertai dengan perbaikan mutu layanan. Banyak pasien mengeluh antrean panjang, kamar rawat penuh, hingga lambatnya penanganan medis. Akibatnya, masyarakat merasa membayar mahal tanpa mendapatkan pelayanan yang layak.


Dalam bidang pendidikan, negara tampak lepas tangan. Biaya sekolah dan kuliah terus melambung, menjadikan pendidikan berkualitas hanya mimpi bagi sebagian besar keluarga. Menurut BPS (2024), rata-rata pengeluaran pendidikan per rumah tangga meningkat hingga 12% dibanding tahun sebelumnya. Beban pendidikan tak hanya datang dari uang pangkal dan SPP, tetapi juga dari biaya buku, seragam, transportasi, serta berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Ironisnya, kualitas pengajaran tidak selalu sebanding dengan mahalnya biaya. Anak-anak dari keluarga miskin kian tersisih, memperlebar jurang kesenjangan pendidikan.


Masalah lain yang mengkhawatirkan adalah pergaulan generasi muda yang semakin bebas. Budaya luar diserap tanpa filter, memicu tren pergaulan yang merusak: meningkatnya seks bebas, penyalahgunaan narkoba, hingga kekerasan antar-remaja. Data BNN (Badan Narkotika Nasional) (2023) mencatat, pengguna narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa mencapai lebih dari 2 juta orang. Fenomena ini mengikis identitas budaya asli dan mengancam masa depan generasi bangsa.


Sementara itu, program deradikalisasi, kampanye “Islam moderat”, dan dialog antar-agama terus digencarkan. Narasi ini secara halus menjauhkan umat dari pemahaman Islam yang kafah. Akibatnya, meski bangsa ini merdeka secara fisik, hakikatnya rakyat masih terjajah, baik secara pemikiran, ekonomi, maupun budaya.


Semua ini merupakan buah dari penerapan sekularisme. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan, yang nyatanya lebih berpihak pada kepentingan kapitalis daripada kesejahteraan rakyat. Kemerdekaan hakiki hanya akan terwujud jika negeri ini kembali menerapkan aturan Islam sebagai konstitusi negara.


Islam memiliki solusi yang menyeluruh. Salah satunya adalah kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah) yang mencakup sumber daya alam seperti emas, minyak, gas, nikel, batu bara, hutan, laut, dan sumber energi lainnya. Rasulullah saw. bersabda:


"Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)


Hadis ini menegaskan bahwa sumber daya alam tidak boleh dimonopoli individu atau korporasi. Namun, saat ini mayoritas aset tersebut dikuasai segelintir pihak melalui privatisasi dan investasi asing. Dalam Islam, negara wajib mengelola langsung sumber daya ini dan menggunakan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, mulai dari pendidikan, kesehatan, perumahan, hingga kebutuhan pokok lainnya.


Dengan pengelolaan yang benar, lapangan kerja akan terbuka luas karena industri berbasis sumber daya alam akan digerakkan demi kemaslahatan rakyat, bukan keuntungan segelintir orang. Setiap laki-laki yang mampu diwajibkan bekerja, sementara fakir miskin dan yang tidak mampu akan dijamin kebutuhan pangan, sandang, papan, dan pendidikannya melalui baitulmal.


Selain kesejahteraan fisik, Islam juga mengatur pembinaan akidah dan akhlak, baik di sekolah maupun di masyarakat. Dengan demikian, rakyat memahami bahwa budaya yang patut dijunjung adalah budaya Islam, bukan budaya Barat yang merusak.


Jika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh dalam aspek ekonomi, politik, pendidikan, dan budaya barulah rakyat akan merasakan kemerdekaan yang hakiki. Sebuah kemerdekaan yang memerdekakan fisik sekaligus pemikiran.


Wallahualam bisshawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan