Pungutan Pajak Bentuk Kezaliman


OPINI

Hidup di negara demokrasi semua dipajaki. Pajak wajib bagi yang kaya maupun miskin. Sebab, sistem keuangan 80% bertumpu pada pajak. 

Oleh Nur Fitriyah Asri

Penulis Opini Ideologis


Muslimahkaffahmedia.eu.org_Bupati Arogan. Predikat yang pantas disematkan kepada Bupati Pati, Jawa Tengah, Sudewo. Sudewo telah membuat sakit hati warganya dengan semena-mena menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen. Sontak memicu kemarahan warga Pati. Apalagi ditambah ucapannya yang menantang warganya, "Siapa yang akan melakukan penolakan? Silakan lakukan, jangankan 5.000 orang, 50.000 orang pun suruh kerahkan, saya tidak akan gentar." 


Gayung bersambut, tantangan diterima. Demo besar pun digelar oleh Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB), pada Rabu, 13 Agustus 2025. Jumlah massa sangat banyak hingga mencapai 85.000 orang dari berbagai kelompok masyarakat se-Kabupaten Pati.


Koordinator lapangan (korlap) AMPB, Teguh Istiyanto, menyatakan bahwa tujuan demo adalah untuk melengserkan Bupati Sudewo karena dinilai tidak pro rakyat dan memiliki tata kelola pemerintahan yang buruk. Unjuk rasa berakhir ricuh yang akhirnya Bupati Sudewo mencabut kenaikan pajak tersebut. Namun, tuntutan rakyat tetap berlanjut. Pada akhirnya DPR Pati menggelar hak angket menuntut pemakzulan Bupati Sudewo.


Insiden di Pati alarm bagi semua pemimpin yang sombong dan sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Kini kemarahan rakyat telah ditunjukkan oleh warga Pati dan akan menginspirasi daerah-daerah lainnya. 


Tampaknya kenaikan pajak menjadi trend hampir di seluruh daerah di Indonesia. Tidak hanya di Kabupaten Pati, di Solo dan Jombang pun PBB naik hingga 400%, bahkan di Cirebon 1000%. Muncul pertanyaan, mengapa kenaikannya setinggi itu? Hal ini terjadi karena ada pemangkasan dana transfer APBN 2025 dari pusat ke daerah. Padahal, sebagian besar daerah masih tergantung kepada transfer pusat. Ketika dana itu berkurang otomatis daerah kelimpungan. Bagaimana caranya menutupi kebutuhan dana untuk layanan publik, gaji pegawai, infrastruktur, dan lainnya? Untuk itu mereka mencari jalan pintas dengan menaikkan pajak, tanpa melihat kondisi masyarakatnya yang makin menderita.


Wajah Buruk Demokrasi


Akibat menerapkan sistem ekonomi kapitalis maka keuangan Indonesia lesu. APBN bulan Maret 2025 defisit (tekor) Rp104 triliun. Menkeu Sri Mulyani memproyeksikan defisit APBN hingga Desember sekitar Rp662 triliun (MetroTV). Untuk menutupi defisit dengan mengutang lagi, tetapi rakyat yang harus membayar. Padahal pada tahun ini jatuh tempo pembayaran utang, untuk cicilan utang saja Rp800,33 triliun dan bunganya Rp552,8 triliun.


Sementara penerimaan pendapatan APBN bersumber dari pajak 80%. Sedangkan penerimaan pajak tidak sesuai target, hingga 11 Agustus 2025 masih terkumpul Rp996 triliun atau 45,5% dari target yang ditetapkan sebesar Rp2.189,3 triliun. Dalam hal ini, Sri Mulyani menyalahkan rakyat sampai tega ngomong kasar, "Kalau tidak mau membayar pajak, ya anda gak usah tinggal di Indonesia". Benar-benar tidak punya hati, pantas jika rakyat menjulukinya vampir pengisap darah rakyat.


Bagaimana Tidak Defisit?


Pengeluaran negara lebih besar dari pendapatan. APBN digunakan untuk belanja yang kurang produktif, seperti pembangunan IKN yang menyedot APBN Rp72 triliun, bayar bunga utang, untuk foya-foya pejabat, dll. Terbaru ICW menemukan 24 dugaan korupsi di proyek IKN senilai Rp466 triliun.


Belum lagi isu bocornya APBN yang disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya KKN (suap, gratifikasi, penggelapan pajak). Adapun pelaku korupsi berasal dari berbagai kalangan, yakni pengusaha, birokrasi, legislatif, dan penegak hukum (menurut Hukumonline).


Ironis, Menkeu Sri Mulyani yang katanya terbaik dunia tiga kali, tapi realitanya baik untuk siapa? Faktanya rakyat yang selalu dikejar-kejar bayar pajak. Bahkan, berpikir pajak kurang besar sehingga setiap tahun dinaikkan. Lebih dari itu yang dipikirkan hanya mencari celah apa yang belum dipajaki. Lupa jika gaji pejabat dan DPR terlalu besar. Lupa kebijakan tax amnesty merupakan penghapusan pajak oleh pemerintah kepada konglomerat, pengusaha nakal yang ngemplang pajak, justru dapat ampunan. Sungguh tidak adil.


Lupa berapa uang yang dikorupsi oleh para pejabat bejat? Sebesar Rp984 triliun per tahun. Jika pemerintah bersikap tegas dan adil maka semua uang itu setidaknya bisa untuk menutupi defisit. Bukan mengejar dan memeras rakyatnya hingga tak berdaya. 


Kapitalis Sekuler Penyebabnya


Semua itu cermin dari kegagalan negara, akibat menganut sistem demokrasi kapitalis yang berasaskan sekularisme. Yakni sistim yang memisahkan agama dari kehidupan. Artinya agama tidak boleh mengatur urusan publik baik dalam bermasyarakat maupun bernegara. Sungguh dampaknya luar biasa, selain menjauhkan umat dari agamanya, lebih ngeri melahirkan para pemimpin dan pejabat yang akhlaknya bejat, korup, bengis, dan sadis. Tentu semua ini menyebabkan kerusakan di semua aspek kehidupan.


Pajak Menzalimi Rakyat


Hidup di negara demokrasi semua dipajaki. Pajak wajib bagi yang kaya maupun miskin. Sebab, sistem keuangan 80% bertumpu pada pajak. Padahal, SDA melimpah ruah. Karena salah kelola dan tamaknya para penguasa SDA diswastanisasi (dikelola) swasta, asing dan aseng.


Negara hanya sebagai regulator yang memihak para pemilik modal (kapital). Negara hanya menerima royalti dari pengelola. Jadi, SDA yang nilainya ribuan triliun yang masuk ke kas negara hanya sedikit. Wajar, jika APBN defisit.


Karena pilar kapitalisme adalah liberalisme (kebebasan) yang menafikan halal dan haram sehingga menghalalkan segala cara. Akibatnya kekayaan dikuasai oleh segelintir pemilik modal. Sedangkan rakyat terpinggirkan, justru dipalak melalui pajak untuk membiayai negara.


Pajak dalam Prespektif Islam


Pajak menurut pandangan Islam hukumnya haram jika tidak sesuai syarak. Allah Swt. berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil." (QS. An-Nisa [4]: 29)


Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diazab) di neraka." (HR. Ahmad dan Abu Dawud)


Dalam sistem Islam pajak (dharibah) bukan sumber utama Baitulmaal (APBN). Pajak bersifat insidental, hanya dipungut ketika penerimaan Baitulmal kosong untuk kebutuhan mendasar kaum muslim. Itupun hanya diambil dari orang-orang kaya saja. Batasan orang kaya, adalah kelebihan dari pengeluaran untuk kebutuhan primer dan sukunder (Zallum, 130: 2014).


Karena itu, orang-orang kafir dan orang-orang miskin tidak wajib pajak. Apabila kebutuhan Baitulmal telah terpenuhi penarikan pajak dihentikan. Sebab, pajak semata-mata untuk menutupi kekurangan pembiayaan pos-pos tersebut. Jika melebihi dari yang dibutuhkan merupakan bentuk kezaliman terhadap kaum muslimin, dan kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban.


Seharusnya melihat SDA yang dikaruniai Allah luar biasa banyaknya, jika pengelolaannya benar APBN tidak akan defisit, bahkan bisa menyejahterakan rakyatnya.


Sebab, Islam telah mengatur bahwa SDA merupakan kepemilikan umum, negara wajib mengelolanya dan hasilnya untuk menyejahterakan rakyat. Haram hukumnya jika dikelola oleh individu apalagi oleh swasta, asing, dan aseng.


Rasulullah saw. bersabda, "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud dan Imam Ahmad)


Hanya sistem Islam yang mendorong lahirnya ketakwaan individu. Tidak terkecuali para pemimpin dan pejabat karena negara berasaskan akidah Islam. Selain itu, Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna untuk mengatur semua aspek kehidupan, termasuk perpajakan.


Selama negara ini menganut sistem demokrasi kapitalis sekuler, pajak akan tetap ada dan menzalimi rakyatnya. Saatnya kita berjuang dengan menerapkan Islam secara sempurna. Niscaya kezaliman akan sirna dan rahmatan lil 'alamin akan terwujud.


Wallahualam bissawab

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Rela Anak Dilecehkan, Bukti Matinya Naluri Keibuan

Kapitalis Sekuler Reduksi Kesabaran, Nyawa jadi Taruhan