Filisida Maternal, Rapuhnya Ibu dalam Sistem Toxic


Sejatinya persoalan filisida maternal, tidak hanya merupakan persoalan sebuah keluarga semata. 

 .

OPINI

Oleh Elfia Prihastuti, S.Pd.

Praktisi Pendidikan 


Muslimahkaffahmedia.eu.org, OPINI_Filisida maternal, istilah yang menggambarkan kenyataan mengerikan bagi kehidupan manusia. Ini kisah seorang ibu bersama anaknya. "Sebuas-buasnya harimau ia tidak akan memangsa anaknya sendiri". Peribahasa tersebut seringkali terdengar untuk menggambarkan kasih sayang seorang ibu. Begitulah tabiat ibu seharusnya. Penuh kasih sayang terhadap anaknya. Perlindungan yang diberikan berlimpah-ruah.


Namun, baru-baru ini di Banjaran, Bandung, Jawa Barat ditemukan fakta memprihatinkan yang bertentangan dengan naluri keibuan. Seorang ibu berinisial EN (34) sampai hati membunuh dua buah hatinya yang berusia 11 bulan dan 9 tahun. Diduga ia menghabisi hidup kedua anaknya dengan cara diracun. Setelah itu sang ibu pun mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. (Metrotv, 09/09/2025)


Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), menyebut peristiwa ibu bunuh diri seusai meracuni anaknya di Banjaran, Bandung Jawa Barat, dengan istilah 'filisida maternal'. Istilah filisida mempunyai makna orang tua yang membunuh anaknya sendiri dalam kondisi sadar. (Antara, 08/09/2025)


Fenomena Gunung Es


Peristiwa serupa juga terjadi sebulan lalu di pantai Sigandu, Desa Depok, Kecamatan Kandeman, Batang. Seorang ibu mengajak kedua putranya bunuh diri dengan menantang ombak laut. Namun naas, ternyata sang ibu masih hidup, sementara kedua putranya tewas ditelan ombak. Sang ibu bersembunyi di toilet. Ia tidak menyangka akan melihat kenyataan yang begitu memilukan. Kasus filisida marternal juga mewarnai tahun 2024 tepatnya di bulan September. Sebut saja kasus seorang ibu yang membunuh anaknya di Bekasi.


Kasus-kasus yang ada hanya sebagian kecil yang diketahui publik karena beritanya banyak diliput media massa. Sementara peristiwa-peristiwa senada yang tidak tersentuh media bisa jadi lebih banyak lagi. Hal ini tentu memberikan luka yang mendalam. Belum usai kesedihan dan keprihatinan atas satu tragedi, muncul tragedi yang baru. Mungkinkah ini hanya kebetulan, ataukah perputaran sistem yang membuat cara pandang salah arah.


Faktor Ekonomi Menggerus Kesehatan Mental Ibu


Ibu, sangat identik dengan sosok tempat sandaran kasih sayang. Secara naluriah kasih sayang memang sengaja dititipkan Allah Swt. kepada seorang ibu. Ketika ditemui kenyataan sebaliknya, seorang ibu yang tega merenggut nyawa buah hatinya, tentu ada sesuatu yang mengusik keseimbangan nalurinya. Ada beban berat yang tak lagi mampu dipikulnya. Sementara pondasi untuk menahan beban terlalu rapuh.


Filisida martenal sejatinya tidaklah sederhana. Faktor yang berkelindan amatlah kompleks,  merupakan kombinasi antara faktor biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Tentu bukan hal yang bijak ketika hanya menimpakan kesalahan dari sisi individu seorang ibu semata, tanpa menelusuri akarnya.


Dalam kasus ini, sang ibu pelaku bunuh diri dan pembunuhan terhadap kedua anaknya menuliskan surat wasiat yang isinya keluhan tentang utang yang tak kunjung terselesaikan. Juga penyesalan kepada suaminya yang selalu mengatasi masalah keuangan keluarga dengan berutang, sehingga utang menumpuk. Dengan demikian, pemicu utamanya adalah faktor ekonomi.


Sejauh ini, faktor ekonomi kerap menjadi pemicu dalam berbagai persoalan yang mencuat ke permukaan termasuk masalah filisida maternal. Seorang ibu yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anaknya, justru menyeret buah hatinya ke jurang maut. Impitan ekonomi yang kian berat, pemasukan merosot bahkan menghilang, sedangkan tuntutan pemenuhan kebutuhan harus terus berjalan. 


Faktor ekonomi seperti ini kian menggerus kesehatan mental ibu. Hal ini terus terjadi dan terus mengalami eskalasi. Fenomena yang terjadi mengkonfirmasi bahwa kehidupan di negeri ini makin toxic. Jika ditelusuri hingga ke akarnya ada lubang sosial hitam yang datang dari sebuah peradaban yang kini eksis di tanah air. Lubang gelap ini akan terus menggerogoti kesehatan mental warga, termasuk para ibu.


Menanti Peran Negara


Menko PMK, Praktikno menyampaikan belasungkawa mendalam atas peristiwa yang menimpa ibu dan anak di Bandung ini. Ia mengungkapkan, deteksi dini, intervensi dini, perlindungan keluarga, dan akses konseling akan terus diperkuat pemerintah bersama Kemenkes, BPJS, dan pemerintah daerah. 


Sejatinya persoalan filisida maternal, tidak hanya merupakan persoalan sebuah keluarga semata. Lebih dari itu, problem yang terjadi merupakan problem sistemik. Di bawah naungan sistem kapitalis, banyak keluarga yang menjalaninya dengan tekanan berat. Banyak istri yang terpaksa harus bekerja, karena pendapatan suami yang tidak cukup. Sementara harga kebutuhan terus melambung, biaya pendidikan, kesehatan juga ikut-ikutan mahal. Semuanya harus menjadi beban keluarga tanpa ada jaminan memadai dari negara.


Seorang ibu yang seharusnya fokus mengurus anaknya dengan mencurahkan segala kasih sayang, justru terjebak dalam rasa putus asa. Raga dan jiwanya lelah, pada akhirnya mengalami depresi serta mengambil jalan tragis. Maka jelaslah, filisida maternal tidak bisa dihindarkan dari konteks sosial dan sistem yang menaungi kehidupan masyarakat. 


Dosa besar negara dalam hal ini adalah abainya negara terhadap kebutuhan vital dan penjagaan kesehatan mental rakyatnya. Jika pemangku kekuasaan menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat, tentu hal semacam ini tidak akan terjadi. Misalnya, memberi jalan kemudahan bagi pemenuhan kebutuhan dengan menyediakan lapangan pekerjaan, kemudahan akses kesehatan dan pendidikan, bantuan modal, dan lainnya.


Namun sayang, sifat itu tidak dimiliki pemimpin negeri ini tetapi mereka justru memilih untuk menerapkan sistem beracun (toxic) -kapitalisme-. Karena merasa tidak perlu mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di hadapan Tuhannya. Sebab pondasi yang digunakan adalah sekularisme. Agama ditanggalkan, hanya berfungsi spiritualitas semata. 


Sekularisme pula yang membuat mental para ibu rapuh. Karena pilar yang digunakan untuk mengarungi kehidupan mudah roboh. Apatah lagi, lingkungan sekitar merupakan masyarakat yang minim empati. Hal ini  sesuai dengan bentukan sistem yang individualis.


Negara juga lalai dalam memberi kemudahan bagi akses kesehatan mental. Justru akses kesehatan yang berhubungan dengan penyakit mental, harga  yang ditawarkan sangat mahal. Hanya orang-orang ber-uang yang bisa sembuh dari penyakit jiwa ini. Konseling untuk kesehatan mental kaum papa, sungguh hanya mimpi belaka.


Islam Memiliki Jalan Keluar


Hidup ini bukan kebetulan, begitulah Islam mengajarkan. Terdapat tujuan mulia atas penciptaan manusia. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku." (QS. adz-Dzariyat: 56)


Itulah sebabnya manusia harus membangun hubungan spiritual dengan Penciptanya. Apapun peran manusia, sebagai ayah, ibu, anak, penguasa, dan lainnya, seharusnya berjalan dalam koridor langit.


Islam memandang seorang ibu sebagai sosok yang penuh kemuliaan. Dari rahimnyalah setiap generasi dilahirkan, lewat kasihnya karakter dibentuk. Perannya sebagai pendidik utama dan pertama takkan bisa tergantikan. Dalam naungan sistem Islam ibu terlindungi sehingga perannya bisa dijalankan secara sempurna.


Sementara ayah, berperan mencari nafkah untuk keluarganya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :

"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya."


Dengan demikian, ibu tidak boleh dipaksa untuk menanggung beban ekonomi di luar batas kemampuannya.   Peran ibu sudah terlalu berat, bahkan syariat pun berkenan memberi keringanan. Seperti, untuk menjaga kesehatan fisik dan mentalnya seorang ibu boleh meninggalkan puasa saat hamil dan menyusui.


Lebih dari itu, Islam memposisikan negara sebagai penjamin kesejahteraan bagi rakyatnya. Terpenuhinya kebutuhan dasar, perlindungan sosial, layanan kesehatan termasuk kesehatan mental menjadi kewajiban negara untuk menjaminnya.


Namun, semua itu tidak akan mampu diwujudkan tanpa ditopang oleh sistem kehidupan yang berlandaskan syariat Islam. Dalam pandangan Islam negara harus memastikan ayah atau suami memperoleh kemudahan mengakses pekerjaan secara layak, layanan pendidikan dan kesehatan berkualitas dan gratis bagi seluruh warga negara. Dengan begitu ibu dengan tenang akan menjalankan peran pengasuhan anaknya tanpa rasa khawatir kebutuhan dasar keluarga tidak terpenuhi.


Wallahu'alam bissawab

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan