Kasus Pencabulan Bikin Resah, di Mana Peran Negara?


OPINI

Pengatur kehidupan telah menyebabkan seluruh komponen yang seharusnya melindungi anak, justru mencederai anak dan menimbulkan trauma. 

Oleh Nur Khavidzah 

Aktivis Muslimah


Muslimahkaffahmedia.eu.org_Tindak pencabulan pada anak untuk kesekian kali kembali mengejutkan ruang publik. Kali ini di kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Pada Jumat (29/8/2025), sekitar pukul 13.00 Wita, polisi menangkap pria berinisial MRR (48) atas dugaan tindak pidana pencabulan terhadap anak berusia 6 tahun. Penangkapan MMR dilakukan di Pelabuhan Nusantara Kendari, Kelurahan Kandai, Kecamatan Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). (KendariInfo.com, 05/09/25) 


Sangat disayangkan, kasus pencabulan anak sudah menjadi hal yang biasa terjadi di Indonesia. Anak-anak menjadi sasaran empuk bagi orang dewasa, baik itu di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kondisi ini menjadi gambaran makin berkurangnya ruang aman untuk perempuan terutama anak-anak. Orang-orang yang seharusnya melindungi, justru menjadi penyebab trauma mendalam yang merusak mental dan psikologis anak.


Indonesia sebenarnya sudah memiliki undang-undang dan regulasi yang dirancang untuk melindungi anak-anak dari kejahatan seksual, namun maraknya kasus pencabulan yang terus berulang setiap tahunnya menimbulkan pertanyaan. Apakah regulasi yang ada sudah efektif dalam menyelesaikan masalah ini? dan apakah undang-undang tersebut sudah menyentuh masalah fundamental dari kejahatan seksual yang terus mengancam anak-anak?


Jika kita lihat, meskipun Indonesia sudah memiliki payung hukum untuk mengatasi permasalahan ini, yakni UU No. 35 Tahun 2014 perubahan dari UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada pasal 76E UU No. 35 Tahun 2014. Namun kehadiran UU tersebut nampaknya belum mampu memberikan efek jera kepada pelaku predator anak atau pedofilia. Para pelaku cenderung hanya mendapat sanksi ringan bahkan kerap diselesaikan dengan jalan damai. 


Lemahnya kontrol diri individu serta penerapan sistem kehidupan sekuler liberal yang diterapkan negeri ini memungkinkan mudah memudarnya keimanan seseorang. Agama (Islam) telah dijauhkan dari kehidupan. Alhasil, para pelaku tidak lagi merasa takut dan terikat dengan konsep hari penghakiman dan hukuman yang berat. 


Di sisi lain penyalahgunaan teknologi turut andil dalam kerusakan moral. Kehidupan negeri ini yang serba bebas tanpa batas mengakibatkan peran negara tidak berdaya sebagai penyaring dan pengontrol informasi, sehingga memberikan dampak negatif. 


Saat ini tontonan konten pornografi mudah di akses oleh berbagai kalangan. Imbasnya terbukti hasrat seksual memuncak yang berujung perilaku buruk. Pelecehan seksual, pencabulan, dan kekerasan pada anak tumbuh subur.


Inilah cerminan dari kegagalan negara dalam melindungi anak. Kegagalan karena telah mengadopsi sistem sekuler kapitalis. Pengingkaran agama sebagai sistem pengatur kehidupan telah menyebabkan seluruh komponen yang seharusnya melindungi anak, justru mencederai anak dan menimbulkan trauma. 


Tidak beroperasinya regulasi secara optimal dalam memberikan hak perlindungan pada wanita, menyebabkan hukum bisa disiasati bahkan bisa dibeli. Maka wajar bila menimbulkan permasalahan, sebab hukum yang timbul berasal dari buatan manusia yang terbatas.


Alhasil inilah wajah asli sistem yang berlaku hari ini, di mana hukum bersifat fleksibel. Hukuman kepada para pelaku kejahatan seksual kadang kala tumpul. Sementara di satu sisi ia bisa begitu tajam menghukum pelaku tindak pidana ringan.


Namun sangat kontras dengan penerapan hukum di dalam Islam. Islam sebagai agama yang sempurna, memiliki seperangkat aturan yang mampu memecahkan seluruh persoalan hidup dari berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam menanggulangi kejahatan seksual. Di dalam Islam negara bertanggung jawab menjamin hak-hak anak. Salah satunya adalah menyediakan lingkungan yang baik bagi tumbuh kembang anak. 


Jika menilik kasus pencabulan yang terjadi di dalam transportasi umum, Islam telah mengatur dengan memberikan beberapa ketentuan di antaranya kewajiban menutup aurat untuk laki-laki dan perempuan, menjaga pandangan terhadap aurat lawan jenis yang dapat memicu gejolak syahwat. Selain itu juga larangan berkhalwat (berduaan dengan non mahram), ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan), serta larangan melakukan safar lebih dari sehari semalam tanpa mahram. 


Negara juga akan mengeluarkan undang-undang yang mengatur beragam informasi agar tetap berada pada koridor hukum-hukum syariat alias jauh dari konten-konten negatif yang menjadi pemicu kebengisan nafsu seksual. Hal ini merupakan cara agar masyarakat selalu berpegang teguh dan terikat dengan tali agama Sang Pencipta. 


Namun, apabila tahapan pencegahan tersebut sudah dijalankan, tetapi masih ada manusia yang berbuat kemaksiatan, termasuk pencabulan pada anak, maka pelaku akan diberikan sanksi yang tegas yakni dengan menghukum para pelaku sesuai dengan tingkat kejahatannya. Dengan berkiblat pada ketentuan hukum Allah dan kebijakan Khalifah selaku pemegang kewenangan. 


Fungsi sanksi tersebut bukan hanya sekedar memberikan hukum yang adil tetapi juga sebagai penebus dosa (jawabir) dan memberi efek jera (zawajir) kepada semua manusia yang melakukan kemaksiatan. Terbukti, tidak ada jalan keluar terbaik selain mengimplementasikan hukum-hukum Allah yang mulia di dalam institusi pemerintahan, yakni Khilafah Islamiah. 


Di dalam sistem Islam, anak akan menemukan ruang aman. Seluruh unsur pelindung anak, baik keluarga, masyarakat, maupun negara akan menjalankan fungsinya berdasarkan tuntunan Allah Swt. sebagai sang pencipta dengan berlandaskan ketakwaan. 


Wallahu a'lam bisawwab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Oligarki Rudapaksa Ibu Pertiwi, Kok Bisa?

Retak yang Masih Mengikat

Akhir Jeda Sebuah Keteguhan