Media Sosial Marak, Gen Z Terancam Rusak?
OPINI
Sudah saatnya pemuda-pemuda yang tergabung dalam gen Z mengubah paradigma berfikir mereka, berhenti melabeli diri sendiri dengan hal negatif termasuk kesepian.
Oleh Ummu Qianny
Aktivis Muslimah
Muslimahkaffahmedia.eu.org-Media sosial sudah berkembang sejak awal 2000-an. Beberapa contoh platform media sosial yang dikenal seperti Friendster (2002), MySpace (2003), Facebook (2004), Twitter (2006), Instagram (2010), dan TikTok (2016).
Media sosial terus berkembang dan berubah seiring waktu, yang semula lima media sosial di atas dan kini yang paling banyak di sorot adalah yang ke enam atau TikTok. Indonesia merupakan negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia, sampai dengan bulan Juli 2025 saja mencapai 194,37 juta orang. (rri.co.id, 9/8/2025)
Angka yang fantastis inilah yang membuat Indonesia melampaui negara-negara besar lainnya seperti Amerika Serikat dan Brazil. Apakah ini sebuah prestasi? Sayangnya tidak, karena seiring berjalannya waktu penggunaan media sosial ini memiliki dampak negatif, antara lain:
1. Ketergantungan, media sosial dapat menyebabkan ketergantungan dan mempengaruhi produktivitas.
2. Cyberbullying, media sosial dapat menjadi tempat untuk melakukan intimidasi dan pelecehan online.
3. Perbandingan sosial, media sosial dapat memicu perbandingan sosial yang tidak sehat dan mempengaruhi kepercayaan diri.
4. Penyebaran informasi palsu, media sosial dapat menjadi sarana penyebaran informasi palsu atau hoaks.
5. Privasi, media sosial dapat mengancam privasi pengguna jika tidak diatur dengan baik.
6. Dampak pada kesehatan mental, media sosial dapat mempengaruhi kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, dan stres.
7. Adiksi, media sosial dapat menyebabkan adiksi dan mempengaruhi hubungan sosial di dunia nyata.
Kali ini yang paling terasa dampaknya, dialami oleh gen Z di mana mereka rentan merasa kesepian di dunia nyata dan merasa berwarna saat di dunia maya. Penyebabnya karena mereka merasa nyaman untuk berinteraksi secara tidak langsung, dan yang paling khas dari penggunaan media sosial adalah menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh. Dalam hal ini terkait dengan posisi, tidak jarang kita melihat di acara keluarga namun masing-masing sibuk dengan hp nya terutama remaja yang asik berbincang dengan teman-teman onlinenya ketimbang mengobrol langsung dengan saudara atau kerabatnya yang posisinya di sebelah mereka.
Mereka pun sering menuangkan dalam status "Merasa sepi dalam keramaian". Terlebih jika hp tidak ada sinyal, tidak ada wifi. Hidup pun rasa hampa, miris. Melihat perilaku para pemuda ini, membuat beberapa mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melakukan riset terkait gen Z dan media sosial ini, di mana mereka rata-rata aktif di dunia maya tapi minim interaksi sosial di dunia langsung. Dari riset ini ditemukan penggunaan media sosial yang berlebihan menyebabkan kesepian, insecure bahkan kesehatan mental. (detik.com, 18/09/2025)
Hasil pengamatan menunjukkan, bahwa banyak akun TikTok memproduksi ulang narasi kesepian dengan sentuhan estetik dan emosional, seperti kutipan tentang hubungan, kehilangan, atau rasa keterasingan. Konten ini sering dibagikan ulang sebagai bentuk coping stress yakni cara menyalurkan perasaan melalui media sosial.
Kebiasaan membagikan konten kesepian, semakin banyak pula konten serupa yang muncul di linimasa akibat algoritma TikTok. Penelitian menunjukkan bahwa semakin sering terpapar konten kesepian, semakin tinggi pula risiko mengalami gangguan kesehatan mental.
Fenomena terkait kesepian ini sebenarnya bukan permasalahan perseorangan saja melainkan ini adalah hasil dari dunia serba digital masa kini, yang dibawa oleh ideologi kapitalisme. Seharusnya teknologi itu diciptakan untuk membantu atau pelengkap manusia dalam menjalankan kehidupannya, tapi nyata nya keberadaan teknologi ini justru disalahgunakan bahkan berpotensi merusak diri mereka yang berawal dari pengganti interaksi dengan sesama manusia.
Hal ini membuktikan kegagalan pada sistem yang ada saat ini, yaitu adanya konflik akibat anti sosial tadi. Ketika negara tidak turut serta mengurus generasi maka yang ada, generasi yang seharusnya dipersiapkan membangun peradaban justru malah tenggelam dalam perasaan kesepian, ataupun dalam masalah gangguan mental lainnya karena seringnya terpapar media. Tentu ini merugikan umat, jumlah pemuda banyak tapi tidak berbanding lurus dengan kualitasnya.
Padahal Allah sudah menegaskan dalam Al Quran surat Ar-Rum ayat 54:
ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ
مَا يَشَآءُ ۖ وَهُوَ ٱلْعَلِيمُ ٱلْقَدِيرُ
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.
Pada ayat ini Allah menggambarkan bahwa pemuda itu posisi nya kuat di antara dua kelemahan. Pertama, ketika mereka masih bayi, anak-anak atau sebelum balig mereka lemah dan serba bergantung. Mereka akan kembali lemah ketika sudah tua, dan ada fase yang terkuat yaitu saat menjadi pemuda. Maka pemuda inilah harus siap menjalankan peran dan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah dalam mendedikasikan hidupnya, semata mata hanya untuk Allah.
Maka ketika negara berideologi Islam, tentu hanya akan menjadikan Islam sebagai satu-satunya asas. Termasuk menjalankan perannya dalam menjaga kualitas para pemuda di dalamnya. Salah satunya dalam pemerintahan ada Departemen penerangan dalam negeri yang tugasnya mempersiapkan masyarakat yang memiliki kekuatan fisik dan kekuatan akal (mencerdaskan).
Misalnya dengan memberikan edukasi bagaimana gambaran pemuda yang seharusnya yang dibutuhkan dan visi misinya disesuaikan dalam Islam. Selanjutnya membentuk media-media yang tidak bertentangan dengan Islam. Selain itu, negara mampu mengontrol media mana yang diperlukan dan media mana yang berbahaya bagi warganya khususnya bagi pemuda.
Hal di atas tidak mungkin kita temui dalam pemerintahan yang berasaskan sekuler, karena negara dalam sistem kapitalis pasti akan memperbolehkan apa-apa saja yang memberikan keuntungan, terlepas itu justru membahayakan atau menghancurkan negerinya sendiri.
Sudah saatnya pemuda-pemuda yang tergabung dalam gen Z mengubah paradigma berfikir mereka, berhenti melabeli diri sendiri dengan hal negatif termasuk kesepian tadi. Sebab pemuda begitu berharga, maka gunakan potensi yang dimiliki untuk menggali lebih banyak tentang Islam. Cerdaskan diri dengan pemikiran Islam agar tidak tergelincir semakin jauh.
Semoga segera terwujud generasi hebat yang lahir di masa digital ini, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Khalid bin Walid, Sa’ad bin Abi Waqash, Salahuddin Al Ayyubi, Muhammad Al-Qasim, Muhammad Al Fatih di mana segala potensi yang mereka miliki dan perjuangan yang mereka lakukan semata-mata untuk Allah. Waalahu alam bissawab.

Komentar
Posting Komentar